Pembubaran Ibadah Tidak Terus Berulang, ISKA: Negara Harus Ambil Tindakan Tegas

oleh -
MM Restu Hapsari, Presidium Dialog dan Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA). (Foto: JPNN.COM)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Presidium Dialog dan Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) MM Restu Hapsari mengatakan tindakan oknum yang melakukan pembubaran ibadah Jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Rajabasa, Bandar Lampung sangat disesalkan.

Dia menegaskan bahwa semua pihak harus mengetahui bahwa negara telah menjamin dan melindungi hak setiap warga untuk melaksanakan ibadah sesuai agama dan kepercayaan. Bahkan hak tersebut dilindungi oleh Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Pembubaran ibadah terhadap agama dan keyakinan tertentu merupakan pengingkaran terhadap Pancasila dan UUD 1945 dan menjadi catatan hitam di Indonesia. Karena itu, perbuatan melarang umat tertentu untuk beribadah adalah tindakan keji karena menghalangi komunikasi dan relasi antara manusia dan Tuhan,” ujar Restu dalam pernyataannya di Jakarta, Sabtu (25/2/2023).

Agar tindakan serupa tidak terus berulang, Restu meminta pemerintah/negara untuk mengambil tindakan tegas kepada pelaku.

“Negara harus turun tangan secara tegas dengan mengedepankan proses hukum. Juga kepala daerah harus tegak lurus menjalankan arahan presiden untuk menjamin aktivitas beribadah setiap warga negara,” tegasnya.

Restu mengatakan, DPP ISKA yang saat ini dipimpin oleh Ketua Umum Luky Yusgiantoro dan Sekjen Arie Sulistyono akan selalu mengawal praktik toleransi antaragama dan kepercayaan, baik di Indonesia maupun di level internasional.

Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyesalkan kembali munculnya polemik kegiatan ibadah umat beragama dan penghentian ibadah di Bandar Lampung, Lampung.

Menurut Yaqut, persoalan seperti itu seharusnya bisa diselesaikan dengan musyawarah. Apalagi, sudah ada regulasi yang mengatur dan bisa dijadikan pedoman bersama.

“Semua pihak bertanggung jawab pada terciptanya kerukunan. Jika ada permasalahan, semestinya diselesaikan secara musyawarah dengan melibatkan para pihak yang bertanggung jawab dalam memelihara kerukunan. Tidak perlu ada aksi pembubaran atau pelarangan,” terang Yaqut dalam keterangan yang diterima Selasa (21/2/2023).

“Polemik izin rumah ibadah harus dilaporkan ke Pemerintah Daerah, FKUB, Kepolisian, dan Kemenag setempat agar dapat diambil langkah penyelesaiannya sesuai hukum dan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

 

Presidium Pusat ISKA. (Foto: Ist)

Izin Mendirikan Rumah Ibadah Harus Jadi Kewenangan Pusat

SETARA Institute mengatakan bahwa peristiwa menyedihkan itu menandai berlanjutnya eskalasi gangguan dan penolakan terhadap peribadatan dan pendirian rumah ibadah.

Karena itu SETARA mendesak Pemerintah untuk segera menarik perizinan pendirian tempat ibadah atau rumah ibadah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dengan mekanisme yang dipermudah dan disederhanakan, di Kementerian Agama.

“Sebab urusan agama merupakan kewenangan absolut pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan sebagai urusan pemerintahan daerah,” ujar Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (22/2).

Berkaitan dengan dinamika terbaru pelanggaran atas kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB), khususnya kasus GKKD tersebut, SETARA Institute mengecam keras terjadinya kasus pembubaran peribadatan di GKKD Bandar Lampung. “Gangguan dan pembubaran atas peribadatan, yang dijamin oleh konstitusi, tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun,” ujar Halili.

Dalam konteks kasus GKKD, SETARA Institute mengapresiasi pihak kepolisian, khususnya Polresta Bandar Lampung, yang telah memberikan jaminan keamanan. Juga kepada Pemda yang memberikan izin sementara selama 2 (dua) tahun kepada GKKD Bandar Lampung, sambil mengurus perizinan pendirian rumah ibadah.

“Langkah akomodatif dan fasilitatif semacam itu perlu direplikasi di berbagai kasus penolakan rumah ibadah, peribadatan, dan sarana peribadatan di daerah lain, seperti di Kabupaten Bogor, Kota Cilegon, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sintang, Kota Depok, dan lain sebagainya,” katanya.

Pemerintah Pusat dihimbau untuk segera melakukan langkah progresif untuk membuktikan bahwa mereka memiliki komitmen dan kewibawaan dalam menegakkan jaminan hak konstitusional warga negara atas kebebasan beragama/berkeyakinan dan kebebasan untuk beribadah.

Hal itu antara lain dilakukan dengan pertama, merevisi PBM 2 Menteri, khususnya dengan mencabut syarat administratif dukungan 90 orang Jemaat dan 60 orang di luar Jemaat.

Kedua, mengubah paradigma pengaturan peribadatan dan pendirian rumah ibadah dari pembatasan ke fasilitasi, dan pergeseran peran FKUB ke perwujudan dan pemeliharaan kerukunan dengan memperluas fungsi-fungsi kampanye toleransi, penyediaan ruang-ruang perjumpaan lintas agama, serta memitigasi dan resolusi konflik yang mengganggu kerukunan antar agama, termasuk mediasi dan resolusi jika terjadi kasus penolakan peribadatan dan pendirian tempat dan rumah ibadah.

Sebelumnya, di awal tahun ini, terjadi beberapa gangguan, penolakan, pembubaran peribadatan di sejumlah daerah antara lain yaitu, pertama, penyesatan dan pelarangan aktivitas keagamaan Ahmadiyah oleh Forkopimda Sintang, Kalimantan Barat (26/1).

Selain itu, penolakan dan pembubaran ibadah dialami Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Metland Cilengsi, Bogor (5/2); pelarangan beribadah Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Filadelfia Bandar Lampung (5/2), dan terakhir pelarangan pembangunan sarana peribadatan Ahmadiyah di Parakansalak berdasarkan kesepakatan Bupati dan Forkopimda Sukabumi (2/2).

Padahal, belum lama ini, dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda, pada 17 Januari 2023, Di Kabupaten Bogor, Presiden Jokowi sudah mewanti-wanti peserta Rakornas untuk menjamin kebebasan beribadah dan beragama warganya.

Presiden Jokowi menegaskan bahwa kebebasan tersebut dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 29 ayat (2).

“Terjadinya eskalasi di beberapa daerah tersebut merupakan bentuk pembangkangan atas arahan Presiden,” ujarnya. ***