Pemerintah Terlihat Tidak Satu Suara dalam Pembuatan Kebijakan PTN

oleh -
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D. (Foto; Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Staf Khusus Presiden, Adita Irawati, menyampaikan ide Presiden untuk mengundang rektor berasal dari luar negeri dengan mencontohkan Singapura.

“Ini menujukkan bahwa yang bersangkutan tidak memahami masalah mendasar yang dihadapi oleh PTN di Indonesia,” ujar Guru Besar Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (1/8).

Menurut Hikmahanto, universitas di Singapura bisa meleset dengan rektor berasal dari asing karena proses belajar-mengajar dilakukan dalam bahasa Inggris.

Dosen pun tidak sulit dalam membuat penelitian dan artikel dalam bahasa Inggris. Belum lagi dana yang dianggarkan oleh pemerintah sangat luar biasa, baik untuk perpustakaan maupun laboratorium.

Belum lagi, menurut Hikmahanto, pemerintah Singapura telah berkomitmen untuk menjadikan universitasnya hub pendidikan tinggi bagi para mahasiswa di kawasan. Untuk itu pemerintah Singapura melakukan investasi besar-besaran.

Hal ini semua bisa dilakukan oleh pemerintah Singapura karena jumlah universitas di Singapura jauh lebih sedikit dari jumlah PTN di Indonesia.

“Bila rektor asal asing memimpin PTN di Indonesia alangkah sulitnya bagi rektor tersebut untuk memastikan proses belajar-mengajar dalam bahasa Inggris. Bahkan sulit untuk membetuk budaya meneliti bagi para dosennya dan memastikan hasilnya masuk dalam jurnal,” ujarnya.

Hikmahanto menambahkan, belum lagi rektor asal luar negeri akan merasa tidak dapat berbuat banyak bila anggaran yang dialokasikan terlalu minim.

“Seharusnya Stafsus tahu bahwa rektor hanyalah salah satu komponen di perguruan tinggi. Banyak komponen lain yang harus diperhatikan. Mulai dari kualitas mahsiswa, dosen hingga anggaran dan infrstruktur pendukung. Terlebih lagi PTN di Indonesia sangat minim otonominya meski dalam berbagai peraturan perundang-undangan dijamin. Intervensi dari Kemenristekdikti masih terlalu kuat,” ujar Hikmahanto.

Menurutnya, masalah terbesar bagi PTN untuk maju dan masuk peringkat 50 besar dunia adalah belenggu kentalnya nuansa politik. Di setiap lini kegiatan mulai dari kemahasiwaan hingga para pengajar nuansa politik masih sangat kental.

Jabatan-jabatan di universitas dipolitisasi. Tidak saja yang berasal di dalam universitas, tetapi dari luar universitas.

Selain itu, banyak pejabat yang ingin memiliki jabatan guru besar meski tidak pernah mengajar. Demikian pula pengaruh para pejabat dan politisi dalam proses pemilihan jabatan dilingkungan universitas masih ada. Demikian pula dalam penerimaan dosen dan mahasiswa baru, juga para tenaga pendidikan universitas tidak mendapatkan the best form the best.

Demikian pula regulasi dari Kemenristekdikit yang kerap berubah dalam penerimaan mahsiswa.

Tambahan pula, kata Hikmahanto, belum lagi uang yang berasal dari APBN dan APBD bagi PTN yang mudah dikatakan adanya kerugian yang berujung pada tindak pidana korupsi meski tidak ada niat jahat dari pengambil keputusan.

Karena itu, bila wacana rektor asing ini semangatnya untuk mendorong perguruan tinggi Indonesia agar memiliki kualitas yang tidak kalah dengan perguruan tinggi dunia lalu mengapa Menristekdikti sudah mencanangkan untuk mendatangkan rektor asal dari luar negeri tahun 2020?

“Disini terlihat bahwa pemerintah tidak satu suara ketika ingin membuat kebijakan baru,” pungkasnya. (Ryman)