Pemilu 2019 Telan Banyak Korban, Indonesia Harus Terapkan e-Voting

oleh -
Koordinator Komunitas Masyarakat Digital Indonesia (KMDI) Abadi Ika Setiawan.(Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Sudah saatnya proses pemungutan suara di Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia menerapkan sistem e-Voting. Pengalaman Pemilu 2019 yang baru saja digelar menelan banyak korban jiwa dan sakit dari pihak penyelenggara Pemilu, menjadi pelajaran berharga untuk memberlakukan sistem e-Voting.

Koordinator Komunitas Masyarakat Digital Indonesia (KMDI) Abadi Ika Setiawan mengatakan, penerapan sistem e-Voting pada Pemilu akan membuat proses pemungutan suara hingga penghitungan suara lebih cepat, real time, sederhana dan hasilnya sangat bisa dipertanggungjawabkan (akuntabel).

“Saya berharap DPR periode yang akan datang bisa merevisi UU Pemilu dengan memasukkan pasal penyelenggaraan pemilihan secara e-Voting, pasal ini bisa menjadi payung hukum awal bagi penyelenggaraan Pemilu secara modern dan memasuki revolusi digital 4.0,” ujarnya disela-sela diskusi “Penerapan Sistem E-Voting Pada Pemilu 2024” yang digelar di Kampus STIE Mulia Pratama, Bekasi, Jawa Barat.

Wacana ini mengemuka setelah melihat pelaksanaan Pemilu 2019 diwarnai banyaknya penyelenggara Pemilu yang meninggal dan sebagian sakit karena kelelahan.

Menurut Abadi, Pemilu 2019 merupakan pemilu paling kompleks dan terbesar di dunia. Penyelenggaraan serentak mulai dari Pilpres, Pemilihan DPD. Kemudian pemilihan DPR RI, DPRD Propinsi, DPRD Kota/Kabupaten. Petugas KPPS harus menghitung lebih dari 17 parpol peserta Pemilu dan lebih dari 100 juta pemilik suara.

“Saking banyaknya surat suara yang harus dihitung akibatnya penghitungan suara berlangsung hingga dinihari bahkan ada yang menghitung suara selesai baru besok harinya,” katanya seperti dikutip dari siaran pers, di Jakarta, Selasa (7/5).

Menurut Abadi, penyelenggaraan Pemilu 2019 menjadi pengalaman berharga untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemungutan suara.

“Pemilu dengan sistem manual akan menimbulkan potensi human error karena petugas PPS (Panitia Pemungutan Suara) di TPS kelelahan, sejak pagi harus melayani para calon pemilih,” ujar Abadi.

Dampaknya, menurut catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ada lebih dari 300 orang petugas KPPS yang meninggal dunia dan sebanyak 374 petugas KPPS sakit karena kelelahan.

Oleh karena itu, lanjut Abadi, KMDI mendesak kepada pemerintah dan KPU sebagai penyelenggara Pemilu untuk segera menerapkan sistem e-Voting.

Alasannya, penggunaan sistem Pemilu manual telah menunjukkan bukti banyak kelemahan. Di antaranya, karena proses pemungutan suara hingga penghitungan suara membutuhkan waktu panjang hingga dinihari banyak petugas meninggal dan sakit karena kelelahan.

Selain itu dalam evaluasi pelaksanaan sistem Pemilu manual, sering terjadi kesalahan penghitungan suara akibat human error. Kemudian juga salah dalam menginput data hasil perolehan suara, berpotensi penggelembungan dan penyusutan suara serta banyaknya kertas surat suara rusak.

Namun dengan sistem pemungutan suara berbasis e-Voting, menurut Abadi akan membuat cara memilih lebih efisien, efektif, cepat dan akuntabel.

“Penyelenggara Pemilu di tingkat kecamatan cukup mencocokkan data e-KTP calon pemilih dengan basis data Kependudukan di Kelurahan dan Kecamatan. Calon pemilih cukup datang ke TPS online, dia menunjukkan e-KTP nya dan dicek dalam basis data di komputer, jika nama dia tertera dalam database maka otomatis akan keluar hak pilihnya kemudian dia tinggal sekali meng-klik nama partai dan calon yang dipilih,” ujar Abadi Ika Setiawan.

Paslon Capres Cawapres, Partai dan Calon Legislatif yang sudah dipilih datanya akan langsung terkirim ke pusat data untuk diolah. “Data ini bisa diakses oleh semua partai politik dan peserta pemilu untuk melihat hasilnya secara real time,” kata Abadi.

Menurut Abadi, hasil penghitungan suaranya pun akan lebih akurat karena yang menghitung bukan manusia yang berpotensi human error. “Namun yang menghitung sistem mesin yang serba otomatis dan canggih,” paparnya.

Dengan penerapan e-Voting maka tidak akan lagi ada pemilihan umum yang hingga dinihari hanya karena petugas PPS menghitung satu persatu suara secara tradisional dan manual yang sangat melelahkan.

Hanya saja penerapan Pemilu dengan sistem e-Voting membutuhkan pijakan atau payung hukum. “Jadi pemerintah dan DPR harus punya niat untuk melakukan perubahan dengan segera merevisi undang-undang Pemilu dengan memasukkan pasal penerapan e-Voting,” katanya.

Menurut Abadi, penerapan sistem e-Voting bisa dimulai dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebagai pilot project menuju Pemilu 2024. “Sistem e-Voting sudah bisa diawali dari penyelenggaraan Pilkada sebagai uji coba dan kita lihat tingkat akurasi dan kecepatannya tentu lebih baik dari cara manual,” katanya.

 

Tekan Banyak Biaya

Gagasan Abadi Ika Setiawan senada dengan Ketua DPR RI Bambang Soesatyo. Politisi Partai Golkar ini mengusulkan Pemilu diubah dengan menggunakan cara e-voting. Yakni pencoblosan dilakukan lewat elektronik dan meninggalkan model lama dengan datang ke Tempat Pemilihan Suara (TPS).

“Sehingga tidak diperlukan lagi kotak suara, tidak diperlukan lagi tinta, tidak diperlukan lagi nanti bilik suara yang begitu complicated. Cukup dengan memasukan nomor KTP maka bisa dihindarkan juga pendouble-an KTP,” kata Bamsoet sapaan akrabnya beberapa saat lalu.

“Seringkali praktek itu di mana pendouble-an KTP identitas dan kemudian ada juga identitas palsu kita tolak. Kalau tidak terdaftar langsung ditolak, tidak bisa mengakses termasuk sistem suara,” sambung Bamsoet.

Selain itu, kata dia, bakal ada pemilihan 415 kepala daerah Bupati dan Wali kota, serta 34 gubernur yang akan dilakukan secara serentak sesuai dengan rencana pemerintah pada tahun 2024. Jika sistem pemilihan masih pakai gaya lama, kata Bamsoet, biaya yang dikeluarkan negara terhadap penyelenggaraan Pilkada serentak akan sangat besar.

“Karena sekarang saja sudah melibatkan begitu banyak orang, begitu banyak biaya yang besar tapi masih menimbulkan konflik dan gugatan gugatan sengketa pilkada,” ucapnya.

Tak hanya itu, Pemilu 2019 pun melibatkan jutaan saksi yang terdaftar dalam Bawaslu. Kemudian ribuan tenaga KPUD sampai ke TPS-TPS. Pemilu tersebut akan memakan biaya yang sangat luar biasa besar. Para calon juga harus mengeluarkan biaya sehingga terpaksa untuk melakukan politik uang.

“Mau tidak mau dia harus bertahan untuk memenangi pertarungan menggunakan strategi cara-cara yang tidak bagus sebetulnya yaitu money politics,” ucapnya.

Lebih lanjut, Bamsoet mengaku dilema membedakan antara biaya politik dan politik uang. Dia menjelaskan, misalnya ketika paslon mengundang rakyat kecil untuk sosialisasi dalam satu acara. Warga tersebut otomatis bakal melepas pekerjaan hariannya yang biasa menghasilkan 100 ribu per hari.

“Kalau ikut acara kita, apakah itu sosialisasi apakah itu rapat akbar dia akan kehilangan pendapatan hariannya 100 ribu. Nah kita dengan kesadaran dan tanggung jawab memberikan uang 100 ribu kepada mereka, tapi bahwa Bawaslu bilang itu pelanggaran pemilu. Itu juga sebab confused juga. Jadi karena tidak bisa dibedakan mana cost politic dan mana money politic,” paparnya.

“Kalau menurut saya kalau begitu adalah cost politik yang dibenarkan oleh UU. Dibenarkan oleh UU, sementara kalau money politic itu yang tidak boleh,” sambungnya.

Politikus Golkar ini beranggapan, negara harus berani mengubah pemilu tanpa kertas suara, tanpa tinta dan dimulai dari handphone atau media elektronik. Bamsoet melihat, masyarakat Indonesia rata-rata sudah mempunyai handphone dan melek teknologi.

Sebelumnya Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy juga sudah pernah melakukan studi banding ke India dalam rangka pelaksanaan pemungutan suara dengan cara e-Voting berbasis data kependudukan.

“Kami meminta para calon anggota DPR yang nantinya akan duduk di legislatif untuk melakukan revisi UU Pemilu dengan memasukkan pasal penerapan sistem e-Voting dalam proses penyelenggaraan Pemilu,” pungkasnya. (Ryman)