Peran Milenial di Masa Pandemi COVID-19

oleh -
Diskusi “FOKUS” (Forum Diskusi) bertajuk “Peran Milenial di Masa Pandemi COVID-19” yang diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA). Diskusi webinar ini disiarkan langsung oleh ISKA Channel. Selain Margaretha Astaman, pembicara lainnya yaitu Nini Marniasti Hia, relawan Covid-19 dan dipandu oleh Longginus Hadi P. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID –Kehidupan terus berubah. Sejatinya segala sesuatu di dunia ini terus bergerak berubah, dan hanya perubahan itulah yang tetap, tidak berubah. Siap atau tidak, semuanya terus mengalir dan berubah. Dan hanya mereka yang siap menghadapi perubahan akan selamat. Sedangkan mereka yang tidak melakukan adaptasi akan tergilas oleh perubahan.

Ketua Presidium ISKA Pusat Hargo Mandirahardjo. (Foto: Ist)

Saat ini, salah satu perubahan itu disebabkan oleh pandemi Virus Corona atau COVID-19. Gaya hidup lama terpaksa diubah dengan gaya hidup baru yang lebih adaptif terhadap kebiasaan baru. Menggunakan masker, menjaga jarak (social distancing), sesering mungkin mencuci tangan menggunakan sabun atau hand sanitizer adalah beberapa kebiasaan baru tersebut.

Adaptasi kebiasaan baru itu harus dilakukan oleh semua pihak, termasuk kaum milenial. Bagaimana kaum milenial melihat pandemi, yang telah menggilas kehidupan sosial, maupun ekonomi saat ini?

Untuk itu Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) menggelar serial FOKUS (Forum Diskusi) pada Sabtu (11/7). Inilah FOKUS pertama yang mengambil tema “Peran Milenial di Masa Pandemi COVID-19”. Diskusi ini dibuka oleh Ketua Presidium ISKA Pusat, Hargo Mandirahardjo.

Blogger dan penulis Margaretha Astaman mengatakan bahwa kaum milenial memandang pandemi Virus Corona sebagai sebuah point historical atau moment bersejarah dalam kehidupannya. Pada 2019 lalu Margaretha melakukan riset terkait dengan kaum milenial.

Dari surveinya itu ditemukan bahwa ada beberapa pola yang terkait dengan kehidupan kaum milenial. “Salah satunya yaitu terkait dengan moment historis. Seorang kaum milenial merasa kehidupannya terusik ketika menyaksikan adanya ketidakadilan, atau penindasan. Jadi beda dengan anggapan yang mengatakan bahwa kaum milenial itu cuek, masa bodoh,” ujar Margaretha dalam diskusi webinar yang disiarkan langsung oleh ISKA Channel tersebut.

Selain Margaretha, pembicara lainnya yaitu Nini Marniasti Hia, relawan Covid-19 dan dipandu oleh Longginus Hadi P.

Blogger dan penulis Margaretha Astaman. (Foto: JN)

Selanjutnya, kata Margaretha, kaum milenial itu mempunyai ekspresi yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Kaum milenial bukannya tidak peduli terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Tapi mereka menginginkan agar aksi dilakukan itu berbeda dengan aksi yang dilakukan oleh generasi sebelumnya.

“Mereka langsung melakukan apa yang bisa dilakukan. Contohnya seperti dengan menjadi relawan,” ujarnya.

Berdasarkan surveinya itu, kata Margaretha, setidaknya ada tiga karakter yang terdapat dalam diri kaum milenial. Pertama, mereka mencari kegiatan yang memiliki konfrontasi dan kolaborasi. Artinya, kaum milenial mencari pekerjaan yang memiliki tantangan sehingga mereka bisa berperan. “Apa yang bisa saya lakukan untuk masyarakat. Kuncinya, ada pada konfrontasi dan kolaborasi. Yaitu ketika ada masalah, mereka bisa langsung mencari solusi,” ujarnya.

Kedua, biasanya mereka melakukan kegiatannya melalui media sosial. Hal ini bisa disalahtafsirkan oleh kaum sebelumnya bahwa kaum milenial hanya tahu bermain media sosial tanpa ada aksi nyata. Padahal kaum milenial itu menjadikan media sosial itu hanya sebagai permulaan. “Kegiatan mereka akan berakhir pada aksi nyata, bukan di media sosial,” ujar Margaretha yang kini juga merintis bisnis “packing house” produk buah-buahan lokal ini.

Ketiga, kaum milenial itu mencari kegiatan atau pekerjaan yang dekat dengan tujuan sosialnya, bukan dengan indentitasnya.

Dikatakannya, saat ini banyak sekali industri yang terdampak dengan pandemi Virus Corona. Namun ada juga industri yang justru mendapat berkah dari pandemi ini. Sebagaimana sebuah krisis, maka pasti selalu mendatangkan dua wajah: petaka dan harapan.

Salah satu bisnis yang berkembang saat ini, menurutnya, yaitu bisnis digital. “Jadi banyak orang lari ke bisnis digital. Orang bisa buka toko online atau kuliner dengan menggunakan jaringan online,” ujarnya.

Nini Marniasti Hia, relawan Covid-19. (Foto: Ist)

Selain itu, salah satu pekerjaan yang bisa digeluti adalah dengan menjadi relawan. “Jadi tidak ada yang sia-sia sekarang ini. Yang sia-sia adalah yang tidak melakukan apa-apa, terus merenung dan mengutuk pandemi ini,” ujarnya.

Karena itu, pengenyam pendidikan di luar negeri ini berpesan kepada kaum milenial agar tidak perlu mencari banyak alasan untuk menyalahkan pandemi ini. “Mulailah dengan berbisnis digital. Inilah momentumnya kaum milenial. Kita kerahkan segala kemampuan dan keunguggulan kita agar bisa menjadi kelas satu. Jangan berhenti melakukan sesuatu,” ujarnya.

Hanya dengan cara itulah generasi milenial bisa memberi sumbangan yang berarti bagi dunia sosial maupun ekonomi.

Sementara itu, Nini Marniasti Hia mengatakan dirinya terjun ke aktivitas kerelawanan karena tidak ingin hanya berdiam diri di rumah. Dia lebih lebih baik menolong sesama yang membutuhkan.

“Ketika lulus kuliah, saya ke Jakarta. Dan ketika di Jakarta, bertepatan dengan pandemi Corona. Karena itu saya diminta seorang teman agar masuk ke Jaringan Katolik Melawan Covid (JMKC). Daripada saya berdiam di rumah, lebih baik saya membantu masyarakat yang terdampak pandemi,” ujar Nini yang mengaku hobi memasak ini.

Tujuan lainnya terjun sebagai relawan katanya, yaitu agar bisa melakukan kegiatan sosial. “Kapan lagi saya bisa membantu masyarakat jika bukan pada saat sekararang,” ujarnya.

Nini yang suka opor ayam ini mengatakan, awalnya dia membantu di JKMC. Kemudian dia membantu BAKAT (Badan Amal Kasih Katolik). “Kami melakukan packing masker, dan barang-barang lain untuk dikirim ke rumah sakit. Saya hadapi kegiatan itu dengan senang hati karena inilah kesempatan bagi saya untuk membantu banyak orang,” ujarnya.

Longginus Hadi P., moderator acara. (Foto: JN)

Selama tiga minggu bekerja, akhirnya dia dilanda kebosanan. “Kemudian saya bertemu dengan Pak Yulius Setiarto (Ketua Bidang Relawan Pendukung Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, red.). Pak Yulius mengajak saya bergabung dengan relawan tim pendukung,” ujarnya.

Yang dilakukan selama bergabung di tim Relawan Pendukung Gugus Tugas tersebut, katanya, yaitu membagi sembako. Hal itu dimulai dengan mencari tahu dan mendata masyarakat yang belum mendapat bantuan dari pemerintah. Berdasarkan data tersebut timnya membagikan bantuan.

Kadang-kadang Nini merasa jenuh dengan pekerjaan sebagai relawan. Untuk mengusir kejenuhan tersebut, Margaretha Astaman menyarankannya agar terus dilakukan rolling dalam pekerjaan.

Menjadi relawan, katanya, memang mengasyikkan. “Karena itu, saya menyerukan kepada kaum milenial agar jangan hanya berdiam diri di rumah. Kita harus terjun dan masuk ke dunia kerelawanan. Dunia relawan itu sangat inspiratif karena bisa membantu masyarakat banyak yang sedang membutuhkan uluran tangan kita. Salam Tangguh,” pungkasnya. (Ryman)