Percepatan Evolusi Cara Hidup: Kebiasaan Baru di Masa dan Pasca Pandemi

oleh -
FoKus ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia) ketujuh bertajuk “Percepatan Evolusi Cara Hidup: Kebiasaan Baru di Masa dan Pasca Pandemi”, pada Jumat (7/5). (Foto: Jendela Nasional)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Pandemi Covid19 telah berlangsung setahun lebih. Tak ada satu orangpun mampu memprediksi, kapan pandemi ini akan berakhir. Hampir semua dari kita sudah memiliki kebiasaan baru. Sebuah evolusi sosial yang relatif cepat telah terjadi. Ada yang semakin produktif. Namun banyak pula yang terseok – bahkan terpuruk.

Apakah percepatan evolusi cara hidup membawa kehidupan yang lebih baik? Ataukah justru sebaliknya membawa dampak negatif. Mungkinkah cara hidup sebelum pandemi akan terjadi lagi, yang berarti kita kembali kepada kebiasaan hidup semula?

Pertanyaan inilah yang dijawab dalam talk show FoKus ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia) ketujuh bertajuk “Percepatan Evolusi Cara Hidup: Kebiasaan Baru di Masa dan Pasca Pandemi”, pada Jumat (7/5).

Diskusi yang digelar secara daring ini menghadirkan para narasumber yaitu Guru Besar Ekologi dan Keamanan Pangan, UNIKA Sugijapranata Semarang, Prof. Dr. Ir. Y. Budi Widianarko, M.Sc dan Moderator Justice, Peace & Integrity of Creation, Kevikepan Semarang, yang juga Kepala Campus Ministry UNIKA Soegijapanata, Semarang, Romo Aloysius Budi Purnomo, Pr. Diskusi ini dipandu oleh Presidium HAAK ISKA, Ch. Arie Sulistiono.

 

Guru Besar Ekologi dan Keamanan Pangan, UNIKA Sugijapranata Semarang, Prof. Dr. Ir. Y. Budi Widianarko, M.Sc. (Foto: JN)

The Game Changer

Diakui atau tidak, pandemi Covid-19 saat ini telah mengubah kebiasaan lama dalam diri manusia dengan sebuah kebiasaan baru. Kita misalnya diperkenalkan dengan kebiasaan baru atau sering disebut dengan “trisula perilaku” seperti mencuci tangan, mengenakan masker dan menjaga jarak.

Prof Budi mengatakan, pandemi Covid-19 juga telah mengubah cara manusia dalam berhubungan dengan orang lain maupun dengan alam. Cara hidup tersebut bukan hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga terjadi hingga ke pelosok-pelosok kampung dan desa.

“Melalui cara hidup sehat tersebut, kita saat ini diwajibkan memakai masker sebagai pelindung diri, mencuci tangan dan menjaga jarak. Hal ini bukan hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga di daerah pedesaan,” ujarnya.

Prof Budi mengatakan, perubahan itu tidak bisa diprediksi sebelumnya. Dia datang serentak dan massif bersamaan dengan pandemi Covid-19. “Karena itu, Covid-19 sering kali disebut sebagai ‘The Game Changer’ yang mengubah kebiasaan hidup baru,” ujarnya.

Prof Budi mengatakan, Covid-19 memunculkan akselerasi hidup sehat, sehingga menimbulkan peningkatan budaya hidup sehat. Dia mencotohkan, sebelum pendemi, para karyawan di perusahaan pangan misalnya, saat bekerja tidak terbiasa cuci tangan, tidak pernah memakai sarung tangan, dan tidak pernah memakai tutup kepala.

Namun di saat pandemi seperti ini, mereka diwajibkan mencuci tangan, memakai sarung tangan, dan memakai tutup kepala, agar bahan makanan yang dihasilkan itu lebih higienis dikonsumsi oleh konsumen.

Demikian pula konsumen, lebih disiplin dalam mengkonsumsi makanan. Misalnya pada saat memesan makanan (delivery) dari restoran, kurir harus memakai sarung tangan saat mengantarnya ke konsumen. Bahkan ketika kurirnya tiba di rumah konsumen, mereka harus disemprot dulu dengan “disinfectant” agar tidak menularkan penyakit. “Semua kebiasaan ini lambat laun menjadi perilaku hidup sehat,” ujarnya.

 

Eskapisme Ekologis

Selain perubahan trisula perilaku di atas, perubahan muncul juga dalam trend yang disebut dengan “eskapisme ekologis”, yakni pelarian diri manusia yang lebih mendekatkan diri pada lingkungan.

Contoh escapisme ekologis seperti olahraga di lapangan terbuka, dan bepergian dengan bersepeda. Selain itu banyak orang suka berkebun di pekarangan rumah, sehingga muncul tanaman di mana-mana.

Pekarangan, kata Prof Budi, adalah wahana pelarian diri yang istimewa karena hakikat ekologisnya. Pekarangan bukan sekadar petak lahan yang ditanami tetumbuhan.

Dalam evolusinya, pekarangan adalah representasi ekositem hutan yang sengaja dihadirkan di dekat rumah sebagai pengingat ketergantungan manusia pada alam.

Dalam wujud aslinya di pedesaan, pekarangan adalah sebuah ekosistem buatan yang stabil dan mampu menghasilkan pangan, pakan ternak, bahan bakar dan obat-obatan bagi rumah tangga. Selain itu, pekarangan berfungsi sebagai “bank” plasma nutfah.

“Biasanya yang paling tinggi adalah pohon kelapa yang disusul di bawahnya adalah pohon buah dengan tajuk hijau seperti rambutan dan mangga. Lapisan di bawahnya lagi adalah tanaman pangan setinggi kepala orang dewasa, seperti jagung dan singkong. Lapisan paling bawah diisi oleh vegetasi yang tumbuh dekat tanah, seperti talas, ubi jalar, cabe dan sejenisnya. Selain itu, pekarangan juga dilengkapi dengan aneka tanaman rambat seperti labu dan lain-lain,” ujarnya.

Pekarangan, kata Prof Budi, juga telah hadir sebagai wahana penyembuhan dan kesehatan badan dan jiwa.

Praktek “on line” seperti yang kita jalani saat ini, kata Prof Budi, merupakan salah satu contoh perilaku hidup yang ramah terhadap lingkungan.

 

Diidap Amnesia

Pertanyaannya, apakah kebiasaan di atas bisa bertahan terus, atau kita akan kembali ke perilaku semula?

Menjawab pertanyaan itu, Prof. Budi menyitir tulisan Romo Mardiatmojo yang diterbitkan “TheJakarta Post” tentang kedisiplinan yang kita pelajari dari pandemi. Disiplin, katanya, adalah proses belajar secara terus-menerus yang meliputi “teaching, instruction, education”.

Karena itu, katanya, agar kebiasan tersebut bisa terus bertahan, maka dibutuhkan pembelajaran secara terus-menerus yang dilakukan secara disiplin.

“Kebiasaan ini berubah jadi perilaku sehat dan kemudian menjadi budaya sehat. Hal-hal ini menjadi biasa karena terbiasa (practice makes perfect), dan alah bisa karena biasa (tresno margo kulino),” ujarnya.

Paus Fransiskus melalui ensiklik “Laudato Si” sudah jauh-jauh hari telah mewanti-wanti manusia akan hidup yang selaras alam. Dalam hal ini, kesehatan tubuh dan jiwa manusia, harus selaras dengan ekosistem alam.

Manusia disambungkan dengan alam demi membantu pemulihan kesehatan tubuh dan jiwa. Semua ini mengingatkan kita bahwa manusia tak terpisahkan dari ekosistem alam.

Prof Budi mengingatkan bahwa sejak Maret 2020, udara di seputar Jakarta lebih bersih, awan pun jernih. Karena itu orang bisa melihat panorama Gunung Salak dari Jakarta. Namun, pemandangan itu cuma berlangsung sesaat.

Karena itu, Prof Budi mengingatkan bahwa manusia memang mudah melupakan sesuatu, termasuk panorama Gunung Salak yang jernih tersebut. Dia berpikir bahwa hal tersebut tidak bisa dilupakan, karena terjadi di sekitarnya. Namun, atas nama pemulihan ekonomi, semua hal itu kembali berubah pada hal semula.

“Dengan pemulihan ekonomi sebagai mantra utama, dunia segera melupakan keindahan saat itu. Yang terjadi adalah sebuah amnesia,” ujarnya.

Mengutip penulis Inggris, Joan Didion, Prof Budi mengatakan bahwa kita manusia cendrung cepat melupakan perkara-perkara baik yang kita pikir tak akan terlupakan. “We forget all too soon the things we thought we could never forget.”.

Selain itu, Joan Didion berkata: “Memory fades, memory adjust, memory conforms to what we think we remember.” Seolah-olah kita ingat akan sesuatu yang pernah terjadi, tapi ternyata kita mudah melupakan hal-hal yang kita pikir sebelumnya takkan pernah lupa.

 

Moderator Justice, Peace & Integrity of Creation, Kevikepan Semarang, yang juga Kepala Campus Ministry UNIKA Soegijapanata, Semarang, Romo Aloysius Budi Purnomo, Pr.

Peradaban Kasih

Romo Aloysius Budi Purnomo, Pr, memulai pemaparannya dengan tsunami pendemi yang terjadi di India, yang berlangsung cepat dan membuat ribuan orang meninggal dunia.

Demikian juga di Roma, Italia. Di Kota Roma terjadi ribuan pelanggaran. Namun, mengutip kata-kata Prof Budi, katanya, lambat-laun orang terkena amnesia ekologis, yakni mudah melupakan apa yang sudah diterapkan sebelumnya dalam lingkungan hidup.

Menurut Romo Budi, sebelum pandemi, yang kita anggap sebagai kebiasaan seperti jabat tangan, ciuman “cipika-cipiki”, kemesraan dalam pelukan, kini telah dilarang keras di saat pandemi. Bahkan bertemu pun harus berhati-hati.

Dalam perspektif Iman Katolik, kata Romo Budi, Paus Fransiskus jauh-jauh sebelumnya telah menyerukan Ensiklik “Laudato Si”. Ensiklik ini memandang perlu adanya percepatan perspektif hidup – dalam bahasa Spanyol disebut “rapiodacion” – yang saling bertentangan, bagaikan pedang bermata dua, yakni sisi negatif dan sisi positif.

Dikatakannya, akselerasi terus meningkat dalam perubahan-perubahan yang menyangkut umat manusia dan planet ini. Saat ini, irama hidup dan kerja mengalami percepatan peradaban manusia, yang berlawanan dengan kelambanan alamiah evolusi biologis.

Selain itu, tujuan perubahan hidup yang cepat dan konstan itu juga tidak selalu diarahkan pada kesejahteraan umum, atau perkembangan manusia seutuhnya dan berkelanjutan.

Perubahan, kata Romo Budi, adalah sesuatu yang diinginkan manusia. Tapi kemudian bisa menjadi kecemasan, ketika hal itu bisa merugikan dunia dan kualitas hidup sebagian besar umat manusia, khususnya kaum marginal dan difabel.

Namun “Laudato Si” mengajak kita semua untuk melihat “Piagam Bumi”, yakni meninggalkan masa penghancuran diri dan memulai suatu tatantan yang baru. Tatanan baru itu disebut dengan peradaban kasih.

“Seperti belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah, nasib kita  bersama mengundang kita untuk mencari suatu awal yang baru. Mari kita membuat zaman kita diingat dalam sejarah karena bangkitnya penghormatan baru untuk kehidupan, karena tekad kuat untuk mencapai keberlanjutan, karena percepatan perjuangan untuk keadilan dan perdamaian, serta perayaan kehidupan yang penuh sukacita. Dengan nada positif percepatan di masa pandemi ini,” ujarnya.

“Laudato Si”, kata Romo Budi, mengusulkan adanya suatu perubahan paradigma, sehingga terwujudlah peradaban kasih.

Apa itu peradaban? Menurut Laurens Bagus dalam Kamus Filsafat, perdaban itu sinonim dengan kebudayaan. Peradaban Kasih, pertama kali dipakai pada tahun 1970, dalam Hari Raya Pentakosta oleh Paus Paulus VI – yang menyelesaikan Konsili Vatikan II yang dibuka oleh Paus Yohannes XXIII.

Romo Budi mengatakan, sumber peradaban kasih adalah Roh Kudus. Roh Kudus itu adalah Roh Kebaikan. Dan ternyata paradaban kasih itu merupakan penegasan dari kata budaya yang disebutkan sebelumnya di dalam “Enziklik Popupulorum Progressio” oleh Paus Paulus VI di tahun 1967.

Dalam ensiklik tersebut, Paus Paulus VI memaparkan makna peradaban kasih dalam proses perkembangan manusia yang berdekatan secara holistik dan integral.

“Peradaban kasih adalah kehidupan bersama yang ditandai dengan perkembangan pribadi dan pertumbuhan komunitas dalam semangat cinta,” ujarnya.

Apa yang dikatakan oleh Paus Paulus VI, kata Romo Budi, dilanjutkan juga oleh Paus Yohannes Paulus II pada tanggal 22 Februari 1994.

Dalam konteks Keluarga Kristiani, beliau mengatakan: “Keluarga-Keluarga seharusnya menjadi sumber untuk terwujudnya perilaku perubahan paradigma yang semakin peduli pada lingkungan ciptaan.”

Kemudian Paus Benediktus XVI pun menyinggung peradapan kasih pada tanggal 22 Februari 2007. Beliau mengatakan: “Setiap peradaban kasih yang kita lakukan itu, sumbernya dari Sakramen Ekaristi, karena Tuhan Yesus sendiri telah berkata: ‘Kamu adalah sahabat-Ku. Tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih seseorang  yang menyerahkan dirinya bagi sahabat-sahabatnya’. (Yohanes 15:13). Dengan demikian, peradaban kasih itu mengandung aspek ‘sacrifice’ atau pengorbanan,” ujar Romo Budi.

Yang unik, katanya, Paus Fransiskus kemudian menerbitkan ensiklik “Laudato Si” pada tanggal 24 Mei 2015. Ensiklik ini diterbitkan juga dalam bahasa Arab, dan dipublikasikan tepat pada hari pertama Bulan Ramadhan untuk menyapa saudara-saudari kita yang beragama Islam. “Dan hasilnya adalah kita (umat Kristen dan Islam, maupun umat agama lainnya, red.) sama-sama peduli terhadap lingkungan hidup ini,” ujarnya.

Menurut Paus Fransiskus, peradaban kasih adalah buah dari pertobatan ekologis. “Cinta kasih sosial adalah kunci pengembangan otentik agar menjadikan masyarakat lebih manusiawi. Cinta kasih sosial mestinya mendorong kita untuk merancang strategi besar, yang secara efektif bisa menghentikan perusakan lingkungan hidup dan mendorong daya perlindungan yang meresap ke seluruh masyarakat,” ujarnya.

Romo Budi mengatakan, di Keuskupan Agung Semarang telah dikembangkan peradaban kasih. Peradaban kasih yaitu cara berpikir, memandang, bersikap dan berperilaku.

“Kata peradaban kasih itu di KAS sudah menjadi hal yang biasa. Perbadaban kasih itu Pancasila banget,” ujarnya.

 

Disela-sela diskusi Romo Budi menunjukkan kepiawainnya meniup saxophone dengan menyanyikan lagu Nderek Dewi Maria. (Foto: JN)

ISKA Harus Jadi Pelopor Budaya Kasih

Dalam sessi closing statement, Prof Budi mengatakan bahwa pandemi telah memacu gaya hidup evolusi pada manusia.

Dia secara sengaja mengangkat isu amnesia karena manusia itu cenderung lupa pada hal-hal di sekitarnya. Karena itu, perlu upaya disiplin dan berhari-hari untuk terus mengingkatkannya.

Namun, dirinya masih optimsitis bahwa evolusi ke arah yang lebih baik, ke arah peradaban yang lebih baik itu masih akan diingat orang. “Tentunya kita membutuhkan kekuatan pendidikan, atau the power of education. Orang harus terus dilatih melalui pendidikan literasi,” ujarnya.

Selain itu, katanya, penting juga kita tetap fokus pada pelestarian lingkungan hidup. Kesadaran terhadap lingkungan hidup mesti terus dilakukan.

Dia mengatakan, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) adalah kumpulan kaum intelektual, karena dia bukan saja mengusai ilmu pengetahuan tapi juga peduli pada lingkungan.

“Karena itu ISKA jangan sampai lupa pada isu lingkungan. Kita harus bekerja sebagai pengingat pada lingkungan,” ujarnya.

Romo Budi mengatakan bahwa peradaban kasih itu tidak mungkin dibangun tanpa ada persahabatan dengan orang lain. Karena itu, rasa persatuan dengan sesama itu tidak mungkin dibangun tanpa ada kepedulian terhadap sesama dan lingkungan.

Karena itu, dia mengajak ISKA agar berani menjadi bentara peradaban kasih yang ekologis.

Romo Budi mengatakan desain politik saat ini menghancurkan peradaban kasih. “Karena itu, ISKA dituntut untuk terus menjadi pelopor budaya kasih,” pungkasnya.

Disela-sela diskusi Romo Budi menunjukkan kepiawainnya meniup saxophone dengan menyanyikan lagu Nderek Dewi Maria. (Ryman)