Perdagangan Bebas Menyulitkan Negara Berkembang

oleh -
ilustrasi

JAKARTA-Indonesia for Global Justice (IGJ) melihat masuknya era perdagangan bebas yang identik dengan liberalisasi perdagangan global membuat negara-negara berkembang seperti Indonesia sulit untuk menyesuaikan persaingan di tingkat global.

Pasalnya, masih kurangnya kesiapan teknologi, human development index, dan industri UMKM serta sektor industri pengolahan lainnya yang harus terus ditingkatkan. Terbukti dengan hasil laporan Global Competitiveness 2017-2018 Indonesia masih kurang persiapan disisi internal dalam menghadapi daya saing global.

“Ditengah menguatnya perdagangan bebas yang mengharuskan pembukaan pasar seluas-luasnya, ternyata menyisakan banyak problematis tersendiri,” ujar Direktur Eksekutif IGJ, Rachmi Hertanti di Jakarta, Rabu (31/1).

Menurutnya, agenda liberalisasi perdagangan bebas justru pada dasarnya merupakan skema perdagangan dari negara-negara maju untuk mempercepat laju barang ke negara-negara berkembang. Terbukti dengan adanya penetapan Non-Tarrif Measures (NTMs) yang ditetapkan oleh negara-negara industri sangat tinggi. Seperti yang ditetapkan oleh Uni Eropa dengan jumlah 6.805 NTMs dan Amerika Serikat menetapkan 4.780 NTMs.

Penetapan NTMs yang tinggi dengan maksud untuk memproteksi industri domestik dari gempuran produk negara-negara berkembang.

IGJ menilai pemberlakuan NTMs merupakan pertarungan sesungguhnya dibalik isu keterbukaan pasar atau liberalisasi ekonomi yang dilakukan bersamaan dengan perundingan berbagai FTA.

Disamping itu, Indonesia masih menetapkan NTMs yang sangat rendah dalam lingkup ASEAN dengan jumlah masih 272 NTMs. Dengan jumlah yang demikian, masih lebih tinggi India, Malaysia, dan Thailand dalam menetapkan kebijakan perlindungan produk domestik.

Namun, problem selanjutnya ketika Indonesia menetapkan hal yang serupa seperti Uni Eropa, Amerika Serikat dan negara industri lainnya. Justru, kebijakan Indonesia digugat oleh negara-negara industri.

Seperti kasus gugatan Amerika Serikat dan Selandia Baru kepada Indonesia atas kebijakan pembatasan impor produk holtikultura, hewan dan produk hewan.

Dimana Indonesia menerapkan kebijakan penentuan kecukupan pasokan domestik untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik yang diatur dalam pasal 36B UU Peternakan Hewan, Pasal 88 UU Holtikultura, Pasal 14 dan 36 UU Pangan dan Pasal 30 UU Petani. Indonesia selaku tergugat kalah di Badan Penyelesaian Sengketa WTO.

Kekalahan tersebut mengharuskan Indonesia membatalkan pasal-pasal yang dianggap merugikan perdagangan bebas. Padahal, Indonesia hendak membatasi produk impor di sektor holtikultura dan produk hewan untuk melindungi produk domestik.

“Maka, disamping penggunaan NTMs sebagai sarana proteksionism bagi negara-negara industri, juga penggunaan penyelesaian sengketa dijadikan sarana untuk membuka pasar seluas-luasnya,” imbuhnya.

IGJ juga menilai kebijakan negara-negara industri seperti, Uni Eropa, Amerika Serikat untuk melakukan proteksionism produk domestiknya, hal yang wajar-wajar saja. Namun, harusnya tidak masalah juga bagi Indonesia menerapkan kebijakan yang serupa sebagai proteksionism produk domestik.

“Sehingga pertarungan menjadi tidak adil ketika perdagangan bebas hanya bebas bagi negara-negara industri, sementara tidak bebas bagi negara-negara berkembang, seperti Indonesia,” pungkasnya.