Pernyataan Bambang Widjojanto Menunjukkan Gejala Kebuntuan Berpikir Juridis

oleh -
Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum. Pakar hukum dari Unversitas Katolik Parahyangan. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Pernyataan Ketua Tim Hukum Prabowo Subijanto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto menunjukkan gejala umum terjadinya kebuntuan berpikir juridis yang dialami oleh para Advokat di Indonesia.

Demikian dikemukakan oleh Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum. Pakar hukum dari Unversitas Katolik Parahyangan, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (28/5).

“Pernyataan Ketua Tim Hukum Prabowo Subijanto-Sandiaga Uno itu tentang Pemilu yang telah terselenggara dengan baik oleh KPU namun dinilainya merupakan Pemilu terburuk dalam sejarah demokrasi Indonesia serta menilai Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga kalkulator dan bagian dari rezim korup jika tidak mengabulkan permohonannya, menunjukan bahwa tim advokat yang dinahkodai oleh Bambang itu mengalami kebuntuan berpikir juridis dalam pengajuan gugatan ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Liona, yang juga Alumni Pendidikan Lemhannas RI.

Selanjutnya Liona menegaskan bahwa sebagai Advokat harusnya tidak melibatkan emosi pribadi karena masalah hukum yang dihadapi oleh Kliennya adalah bukan masalah pribadi advokatnya. “Oleh karena itu Advokat harus memiliki kejernihan berpikir juridis, menjauhkan dari dari keterlibatan emosi pribadi sehingga argumentasi hukumnya dapat diterima dan dicerna oleh awam sekalipun. Di samping itu dapat menghilangkan kecenderungan untuk menghalalkan segala cara untuk memenangkan perkara yang ditangani,” ujar Presiden Bandung Lawyers Club dan Ketua Sarjana Hukum Indonesia.

Kebuntuan berpikir juridis ini, katanya, jika dibiarkan akan mengakibatkan keterbelakangan nalar hukum dalam mempertahankan argumentasi hukum.

Karena itu, Advokat diharapkan memegang teguh Kode Etik Advokat, menghormati rekan sejawat, menghormati penegak hukum lainnya Polisi, Jaksa dan Hakim ditingkat manapun. Terlebih lagi bahwa Mahkamah Konstitusi adalah benteng terakhir penjaga keadilan dan penjaga konstitusi karena sifat putusannya terakhir dan mengikat  (final and binding).

Dikatakannya, sesuai dengan profesi hukum yang Officium Nobile atau profesi yang mulia dan terhormat, seperti yang ditegaskan dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) yang disusun Komite Kerja Advokat Indonesia pada 23 Mei 2002 yang menegaskan bahwa dalam menjalankan profesi penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, maka dalam melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan kode etik.

“Karena itu, menilai Lembaga Mahkamah Konstitusi sebagai Mahkamah Kalkulator dan bagian dari rejim yang korup tanpa bukti dan alasan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan serta meragukan independensi dan integritas MK adalah bertentangan dengan kode etik advokat itu sendiri,” pungkasnya. (Ryman)