Pernyataan Gubernur DKI Anies Baswedan tentang Pribumi Inkonstitusional

oleh -
Liona Nanang Supriatna
Dekan Fakultas Hukum Unpar yang juga Presidium Bidang Hukum ISKA, Liona Nanang Supriatna. (Foto: Ist)

JAKARTA-Sejak kemarin hingga hari ini, netizen ramai membicarakan istilah “pribumi” yang muncul dalam pidato pertama Gubernur DKI Jakarta Anis Rasyid Baswedan di media sosial. Sebagian besar dari mereka bertanya-tanya, mengapa Anis masih menggunakan istilah pribumi dalam pidatonya?

Padahal, istilah tersebut cenderung diskriminatif dan berpotensi memecah belah masyarakat.

Menurut Dosen Hukum Universitas Katolik Parahyangan Liona Nanang Supriatna, menyebut kata Pribumi adalah pidato yang inkontitusional dan menyakiti hati pribumi yang sebenarnya. Instilah itu juga mengancam keutuhan masyarakat yang sudah berusaha menghilangkan dikotomi antara pribumi dan non pribumi.

“Istilah pribumi (Inlander) itu sendiri muncul pada masa pemerintahan Belanda dalam rangka politik devide et impera (pemecah belah) karena kekuatiran bersatunya pribumi melawan Penjajahan Belanda yang kemudian diatur dalam Pasal 163 dan Pasal 131 IS (Indische Staats Regeling), STB 1917-129, STB 1924-556 dan STB 1917-12,” kata Liona Nanang.

Ia menjelaskan, berdasarkan Pasal 163 IS Penduduk Hindia Belanda dibagi kedalam 3 golongan:

Pertama, Golongan Eropa pasal 163 (2) terdiri dari WN Belanda atau yang dipersamakan dengan Eropa, warga negara Jepang.

Kedua, Golongan Timur Asing berdasarkan pasal 4 adalah Arab, China, Pakistan dan India.

Dan Ketiga, Golongan Pribumi adalah penduduk bumi putera.

Pembagian penduduk memiliki konsekwensi tertentu dibidang sosial, hukum, ekonomi dan politik. Golongan Eropa mendapatkan perlakuan istimewa, golongan Timur Asing diberikan perlakuan khusus oleh Belanda dalam bentuk keleluasaan untuk bergerak di bidang perdagangan.

“Golongan Pribumi adalah yang paling menderita dalam masa penjajahan ini,” ujar Liona Nanang.

Dalam Pasal 26 UUD 1945 ditegaskan bahwa Warga negara adalah penduduk sebuah negara atau bangsa berdasarkan keturunan, tempat kelahiran, yang mempunyai kewajiban dan hak penuh sebagai warga negara itu. Memiliki domisili atau tempat tinggal tetap di suatu wilayah negara, yang dapat dibedakan menjandi warga negara asli dan warga negara asing. Sedangkan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI hanya mengenal WNI dan WNA.

Instruksi Presiden RI No. 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan istilah Pribumi dan Non Pribumi Dalam Semua Perumusan Dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, Ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintah.

Dalam Inpres tersebut, kata Liona Nanang, ditegaskan untuk lebih meningkatkan perwujudan persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan, hak dan kewajiban warga negara dan perlindungan hak asasi manusia, serta lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

Karena itu, penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi harus dihentikan dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program ataupun pelaksanaan program, atau pun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.

Inpres ini memberikan perlakuan yang sama kepada seluruh WNI dalam penyelenggaraan layanan pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan, dan meniadakan pembedaan dalam segala bentuk, sifat serta tingkatan kepada WNI baik atas dasar suku, agama, ras maupun asal usul dalam penyelenggaraan layanan tersebut.