Pertobatan Ekologis dan Pandemi dalam Terang Ensiklik “Laudato Si”

oleh -
Rm. Andang L Binawan, Dosen Eco-Philosophy STF Driyarkara dalam sesi wawancara oleh Yohanes Carmelo Bidang Luar Negeri DPP ISKA. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (PP ISKA) kembali menggelar acara Forum Diskusi (FOKUS) yang disiarkan secara langsung melalui ISKA Channel pada Jumat (21/8). Tema yang dibahas dalam dialog tersebut yaitu “Pertobatan Ekologis dan Pandemi” dengan menghadirkan narasumber Rm. Andang L Binawan, Dosen Eco-Philosophy STF Driyarkara, Ayu Utami, Sastrawan, Penulis dan Pemerhati Lingkungan, dan dipandu oleh Yohanes Carmelo Bidang Luar Negeri DPP ISKA.

Pandemi merupakan momentum yang menghadirkan refleksi ekologis. Kehidupan bumi ini, termasuk di tanah air kita, terjerembab ke titik nadir oleh sebuah virus tak kasat mata. Pandemi ini juga mendorong kita untuk menelisik korelasi fundamental antara pagebluk, ekologi, serta apa yang harus kita lakukan demi melahirkan kembali bumi baru yang patut untuk merayakan kehidupan bersama.

Rm. Andang L Binawan, Dosen Eco-Philosophy STF Driyarkara. (Foto: JN)

Melalui ensiklik Laudato Si, Gereja melantangkan suara tentang pentingnya lingkungan hidup; menciptakan habitus baru melalui rekonstruksi pemikiran; serta mendorong partisipasi aktif merawat alam sebagai rahim kehidupan.

Romo Andang mengatakan, dalam kaca mata iman katolik sebetulnya pandemi Corona ini memiliki arti positif dalam kehidupan kita. “Dunia yang selama ini hiruk pikuk sesaat seperti diistirahatkan dari segala aktivitasnya. Karena itu dunia, lingkungan dibiarkan sesaat untuk beristirahat dari segala aktivitas. Kita mendengar kesaksian bahwa langit Jakarta kembali biru, karena semua aktivitas berkurang selama beberapa bulan terkahir,” ujar Romo Andang.

Dia mengatakan, dalam hidup berkeluarga juga pemberlakuan kerja dari rumah (Work From Home) akhirnya orang kembali menemukan arti keluarga yang sesungguhnya. Keluarga bisa kembali membina kehidupan yang intens antara suami dan istri dan juga dengan anak-anaknya.

“Dalam keluarga Katolik, keluarga adalah gereja terkecil atau seminari yang terkecil. Karena itu, dalam masa pandemi ini, setiap keluarga harus mulai membina relasi yang mungkin selama ini retak agar kembali utuh. Inilah arti positif dari pandemi Corona tersebut,” ujarnya.

Ecology diperkenalkan oleh seorang ahli biologi dari Jerman bernama Ernst Heinrich Philipp August Haeckel atau biasa dikenal sebagai Ernst Haeckel. Secara etimologis, ekologi berasal dari bahasa Yunani yaitu oikos dan logosOikos memiliki arti habitat sedangkan logos berarti ilmu. Maka jika ditelusuri lebih lanjut, ekologi memiliki arti sebagai ilmu yang mempelajari tentang hubungan antara sesama organisme serta hubungan antara organisme dengan lingkungannya.

Menurut Romo Andang, dalam ekologi itu juga terdapat kata nomos yaitu aturan. Dalam hubungan antara manusia dan lingkungannya terdapat keteraturan. Namun keteraturan tersebut dirusak oleh dosa, dosa ekologis yang dilakukan manusia. Jadi dosa ekologis yaitu dosa yang dilakukan manusia terhadap seluruh alam.

Dosa, kata Dosen STF Driyarkara ini, bukan saja melanggar hukum Tuhan, tapi adalah rusaknya hubungan dengan alam lingkungan karena egoisme dalam diri manusia. “Jadi dosa itu bukan sekadar melanggar hukum gereja, tapi melanggar hukum spiritual yang terlalu memusatkan pada diri manusia sendiri,” ujarnya.

Bumi ini bukan hanya tempat manusia hidup untuk dirinya sendiri tetapi adalah tempat semua mahkluk hidup bersama. Jadi kita harus hidup selaras alam.

“Karena itu, pandemi ini diharapkan bisa membentuk habitus baru dalam diri manusia. Habitus adalah kebiasaan sosial yang baik bahwa ada makhluk lain yang hidup dan mendiami bumi ini. Jadi, kita harus hidup bersama dengan orang lain dan lingkungan. Seperti Santu Fransiskus yang melihat bulan, bintang maupun binatang sebagai sesama saudara,” ujarnya.

Jadi ada dua kata kunci dalam kata ekologi yaitu terkait dan tergantung. Manusia saling hidup terkait dan saling hidup bergantung antara satu dengan yang lainya.

Ayu Utami, Sastrawan, Penulis dan Pemerhati Lingkungan. (Foto: JN)

Sementara itu, Ayu Utama mengatakan, munculnya pandemi Covid-19 karena pola hidup yang salah dari manusia, yakni keserahan manusia dalam mengeksploitasi alam, sehingga bisa menyebabkan berbagai penyakit yang menimpah diri manusia.

Pola hidup manusia yang salah, misalnya penggunaan plastik stereo foam yang mengadung zat kimia, serta menimbulkan sampah plastik yang tidak bisa hancur jadi tanah. Selain itu, pakaian pelindung diri dari para medis yang cuma sekali pakai, lalu dibuang atau dihancurkan. Hal ini bukan menyelesaikan masalah, tapi justru mendatangkan masalah baru.

“Karena itu dibutuhkan pertobatan ekologi yang merupakan suatu tindakan untuk mencintai alam semesta dengan cara tidak boleh membunuh binatang liar, tidak boleh menebang dan membakar hutan secara sembarangan,” ujarnya.

Ayu mengatakan, sesama makhluk, seperti binatang, baik binatang peliharaan (ternak), maupun binatang liar, haruslah diperlakukan mereka sebagai “sesama ciptaan” Tuhan. Sebagaimana Santo Fransiskus Asisi, dia mandang semua ciptaan Tuhan sebagai “saudara”. Bahkan Matahari dan Bulan, dia menyebut mereka sebagai “saudara.”

Semua tumbuhan, jika kita membabat dan membakarnya, maka kata Ayu, pasti akan mendatangkan berbagai bencana seperti banjir dan tanah longsor. Oleh karena itu, kita sebagai manusia, dituntut untuk mencintai alam semesta, karena baik manusia, hewan dan tumbuhan, kita sama-sama saling membutuhkan.

Ayu mengatakan dirinya menyayangkan sikap para milenial yang merasa jijik dengan kucing. “Jika di rumah kita ada banyak cecak dan tokek, kita gak usah usir atau bunuh mereka karena mereka juga butuh hidup. Bahkan ada banyak anak milenial saat ini, mereka melihat kucing di rumah orang aja, merasa jijik. Kita harus sayangi binatang, apalagi binatang peliharaan,” ujarnya. (Ryman)