Perusakan Sesajen, Alissa Wahid: Paksakan Ajaran Agama kepada Orang Lain Merupakan Pelanggaran Hak

oleh -
Koordinator Jaringan Nasional Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid. (Foto: Ist)

Sleman, JENDELANASIONAL.ID — Beberapa hari ini jagad dunia maya dihebohkan oleh aksi dua pemuda di Lumajang yang berupaya merusak sesajen sedekah bumi milik warga setempat. Mereka melakukan itu berdalih memberantas kemusyrikan.

Tentunya aksi ini menjadi bukti masih lemahnya kesadaran berbangsa dan beragama yang berlindung dibalik paham kebebasan berekspresi, beragama dan menyampaikan pendapat.

Koordinator Jaringan Nasional Gusdurian Indonesia, Alissa Wahid, menjadi salah satu tokoh yang ikut bereaksi terhadap kasus perusakan sesajen yang mencoreng hak kebebasan beribadah dan berkeyakinan individu seseorang, serta melukai nilai keberagaman dan toleransi yang telah tumbuh subur di Indonesia.

“Jadi bukan soal sesajen itu haram atau tidak. Kita bisa berbeda pendapat soal itu (sesajen), tapi yang jelas tidak boleh mengambil hak orang lain. Dan ketika ada orang memaksakan ajarannya kepada orang lain di negara ini, nah itu merupakan pelanggaran,” ujar Alissa Wahid, di Sleman, Senin (17/1/2022).

Perempuan yang baru saja terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah PBNU 2022 – 2027 ini melihat ada beberapa hal menarik yang ditemui pada insiden merusak sesajen yang lalu. Antara lain, banyaknya kelompok yang mendukung aksi tidak beradab, intoleran dan bahkan hingga menjadi perdebatan di kalangan netizen tersebut.

“Kenapa banyak yang mendukung? Karena mereka menganggap sedang menjalankan perintah agama. Tapi dia juga lupa, bahwa menghormati hak orang lain itu termasuk perintah agama juga,” kata perempuan yang pernah menempuh pendidikan Psikologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Demikian juga perintah untuk menaati peraturan, membangun kehidupan bersama yang baik dan membangun kemaslahatan umat, menutnya, adalah semata-mata juga bagian dari ajaran agama.  Karena tidak etis jika ujaran atau perilaku yang demikian, dianggap sebagai kebebasan berpendapat, berekspresi dan berpikir.

“Dalam Al-Quran tertuang, ‘La Iqro Hafidzin’, yaitu tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Itu panduan, jadi kebebabsan berpendapat itu betul, tapi tidak sama dengan bertindak semau-maunya,” tegas perempuan kelahiran Jombang, 25 Juni 1973 silam ini.

Disaat yang sama, wanita yang juga putri sulung dari Presiden RI ke-4 alm KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini  juga mengamati bahwa praktik intoleransi di negeri ini kian hari kian subur di tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan masifnya narasi dan pemahaman keagamaan yang keliru.

“Karena kerja-kerja mereka (kelompok intoleran) dalam penanaman nilai yang seperti itu (radikal dan intoleran) dilakukan dengan cara yang massif dan sistematis, disamping itu masyarakat belum punya pemahaman yang lengkap dalam beragama,” ungkapnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, di dalam Al-Quran Surat Al Maidah ayat 8 dikatakan ‘Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa’.

“Seseorang yang berlaku intoleran, tidak memahami kaidah hidup beragama yang sudah digariskan didalam Islam. Soal keadilan itu sudah jelas sekali tertuang didalam Al-Quran,” jelas Alissa.

Ia kembali menegaskan, agar masyarakat tidak semata-mata menfasirkan sesuatu secara tekstual atau mempedomani satu perintah saja untuk dipraktikan, namun tidak memahami makna dan nilai dibaliknya, sehingga tidak mendapatkan kaidah hidup beragama yang sudah diwariskan dalam ajaran Islam.

“Jadi tidak bisa kita hanya mempedomani satu perintah saja tentang memberantas kemusyrikan. Dan kebanyakan orang itu seringkali hanya berhenti dipraktiknya tapi tidak paham nilainya,” ujarnya.

 

Dua Hal yang Perlu Dilakukan oleh Kelompok Moderat

Dalam kesempatan yang sama, Alissa juga menyebutkan setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan kelompok moderat agar bersikap bijak ketika menghadapai fenomena kasus intoleransi dan ujaran kebencian atas nama agama.

Yang pertama, katanya, tokoh moderat serta pemuka agama perlu menyampaikan pendapatnya, karena jika tidak berpendapat itu kemudian seakan-akan menjadi hal yang dianggap benar. “Sehingga tokoh moderat dan pemuka agama perlu menasehati dan meluruskan pemahaman keagamaan yang dangkal seperti itu,” katanya.

Kedua, menurutnya, perlunya  memperkuat hubungan antar kelompok masyarakat yang masih ingin merawat bangsa Indonesia. Karena dirinya melihat masih banyak kelompok yang maunya merawat kelompoknya saja. Dan hal itu hanya bisa dilawan dengan kelompok yang ingin merawat bangsa Indonesia dengan keberagamanya.

“Jadi itu penting kita bersuara dengan lantang bahwa kita tidak ingin tindakan seperti ini tumbuh subur di Indonesia.  Saya berharap hal ini akan dapat menghimpun dan menimbulkan suara yang lantang menolak praktik intoleransi di bumi pertiwi,” ucapnya.

Untuk itu, ia mengharapkan ada peran aktif pemerintah dalam mendorong upaya melindungi bumi pertiwi dari praktik intoleransi dan ujaran kebencian atas nama agama, suku bahkan ras. Untuk menciptakan lingkungan yang baik bagi penerus bangsa kedepannya.

“Dari sisi pemerintah juga perlu adanya penindakan tegas dan menjadikan kasus intoleransi tadi menjadi pelajaran, serta memperkuat barisan sebagaimana telah adanya RAN-PE (Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme berbasis kekerasan) dan Peta Moderasi Beragama,” ungkapnya.

Terakhir, Alissa juga berpesan kepada seluruh pihak untuk bekerja sama mensukseskan apa yang tertuang dalam dua perangkat besar tersebut. Ini demi memastikan masyarakat memiliki pandangan keagamaan yang berbasis keadilan, keseimbangan, menaati konstitusi dan melindungi martabat kemanusiaan dan kemaslahatan bersama.

“Kalau moderasi beragama itu menebar benihnya, maka panennya adalah praktik keagamaan yang moderat, sementara RAN-PE fokus pada ekstremisme dengan atau tanpa kekerasan, jadi di hulu dan hilirnya dapet,” pungkasnya. ***