Petrus: KPK Ambivalen dalam Kasus Korupsi Proyek Meikarta

oleh -
Petrus Selestinus, Koordinator PAP-KPK dan advokat Peradi. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) wajib memberikan  perlindungan kepada setiap saksi yang dipanggil atau selama seseorang menjadi Saksi dalam penyidikan dan penuntutan perkara yang sedang ditangani oleh KPK. Kewajiban melindungi Saksi itu konsekuensi dari asas menjunjung tinggi HAM sebagaimana diatur di dalam pasal 15 UU KPK jo. pasal 5 ayat (1) huruf j KUHAP jo. pasal 10 UU PSK.

Praktek peradilan pidana kita, seorang Saksi sering mendapat ancaman, terutama ancaman terhadap rasa aman.

“Ancaman terhadap Saksi tidak hanya dilakukan oleh pihak luar tetapi juga kadang-kadang ancaman terhadap rasa nyaman Saksi juga dilakukan oleh KPK sendiri, melalui narasi atau statemen pimpinan KPK di media yang secara langsung tidak langsung menempatkan Saksi seolah-olah identik dengan Tersangka dan akan dijemput paksa dll. sebagaimana dilakukan oleh KPK terhadap Saksi James Riyadi,” ujar Petrus Selestinus, Mantan Komisioner KPKPN dan Advokat Peradi, melalui pernyataan pers di Jakarta, Sabtu (14/12).

Menurut Petrus, dalam kasus dugaan korupsi, beberapa Saksi sering mendapat perlakuan tidak layak dan patut dari KPK, sehingga membuat Saksi kehilangan kenyamanan.

Beberapa pimpinan KPK termasuk Kepala Divisi Humas KPK Febri Diansyah sering membuat narasi yang seram dan sangat mengganggu kenyamanan Saksi.

“Disini KPK beritikad tidak baik, sehingga patut diduga KPK sedang menciptakan posisi offside bagi Saksi untuk tujuan tertentu,” ujar Petrus.

Dalam kasus dugaan korupsi proyek Meikarta, KPK, kata Petrus, bersikap ambivalen. KPK misalnya menerima adanya laporan seorang Saksi Edi Soes dalam kasus dugaan suap pengurusan izin proyek pembangunan Meikarta yang merasa terancam karena dilaporkan oleh tersangka BTO kepada pihak kepolisian. Akibatnya Saksi yang bersangkutan mengajukan permohonan perlindungan Saksi kepada KPK karena merasa terancam dilaporkan ke kepolisian oleh tersangka BTO.

“Anehnya permohonan perlindungan Saksi tersebut, direspons KPK dengan mengakomodir permohonan perlindungan saksi tersebut dengan mengacu pada Undang-Undang (UU) tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menjamin bahwa saksi tidak dapat dituntut secara pidana ataupun perdata. Bayangkan laporan masyarakat kepada Polri oleh KPK diakomodir sebagai sebuah ancaman yang menghalangi kewajiban menjadi Saksi,” kata Petrus.

Sedangkan untuk Saksi James Riyadi yang absen pada panggilan sebagai Saksi pada pemeriksaan tahap berikutnya, KPK langsung mengancam akan menggunakan upaya paksa atau menjemput paksa James Riyadi, karena ketidakhadirannya menjadi Saksi bagi Tersangak BTO.

“Ini juga tindakan yang melanggar hukum karena sikap KPK telah menakut-nakuti James Riyadi, meskipun James Riyadi bisa saja tidak takut,” ujar Petrus.

KPK, kata Petrus, menerapkan standar ganda, dimana terkait kedudukan Saksi Edi Soes, KPK memberikan perlindungan dengan narasi yang sejuk di media, bahwa Saksi Edi Soes tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana akibat kesaksiannya, sementara Saksi James Riyadi baru mangkir sekali langsung diancam KPK akan dilakukan upaya jemput paksa.

“Posisi seorang saksi di hadapan KPK ia dijamin oleh UU KPK, KUHAP dan UU PSK untuk dilindungi, karena itu apapun hambatan KPK ketika hendak memeriksa Saksi, maka sikap melindungi Saksi harus dikedepankan, KPK tidak boleh arogan apalagi mengintimidasi Saksi dengan narasi mengancam jemput paksa atau mentersangkakan Saksi sebagaimana sikap KPK hendak menjemput paksa James Riyadi,” pungkasnya. (Ryman)