Politikus Ala Machiavelli

oleh -
Peneliti di Sabda Palon Institute, Ferlansius Pangalila

Oleh: Ferlansius Pangalila*)

Republik Indonesia bukanlah negara kerajaan sehingga demokrasi terburukpun tidak perlu didefinisikan sebagai upaya perebutan kekuasaan oleh keluarga-keluarga penguasa dahulu. Pemilu 2019 dan nanti bukan ajang pertarungan keluarga Soeharto dengan Soekarno dan atau dengan SBY, Gus Dur dan Habibie. Kursi Presiden bukanlah kursi yang hanya boleh diduduki oleh wangsa-wangsa tersebut, melainkan juga hak dari semua warga negara Republik Indonesia yang sesuai syarat konstitusi.

Pemilu kali ini sesungguhnya adalah pertarungan rasional dan irasional dalam politik. Kursi kekuasaan yang begitu manis menjadi tujuan satu-satunya dalam aktifitas politikus, alasan lainnya tidak penting dan bahkan tidak harus jadi pertimbangan dalam perebutan kursi kekuasaan tersebut. Etika politik dan kekuasaan adalah dua hal yang berbeda dan tidak ada kaitannya. Nicollo Machiaveli merumuskan hal ini dengan tepat, bahwa tujuan utama dalam Politik adalah kekuasaan atau memperoleh kekuasaan, oleh karena itu tujuan utama tersebut harus diraih dengan segala cara.

Sepertinya politik ala Machiavelli ini yang sementara terjadi, irasional dalam praktek politik semakin menjadi-jadi dengan perilaku politikus di negeri ini. Black campaigne, money politic, hoax and fake news menjadi topik berita yang dikonsumsi publik setiap hari. Kampanye pemilu presiden dan wakil presiden secara serentak dengan pemilu legislatif dimeriahkan oleh orang-orang yang berupaya merebut kekuasaan dengan menghalakan segala cara melalui kampanye yang manipulatif, penuh kebohongan, intimidasi, ancaman dan teror.

 

Politik Irasional!

Belum lagi sederetan politikus negeri ini yang tersandung masalah korupsi dan suap, mulai dari anggota DPD/DPR/DPRD, menteri, gubernur, bupati/walikota, dan pejabat politik lainnya. Hal ini seakan menyimpulkan bahwa Politikus di negara ini kebanyakan adalah politikus busuk, profesi politik bukan lagi sebagai profesi yang mulia. Profesi politik seakan hanya diisi oleh orang-orang yang tidak berkualitas dan berkredibilitas, tidak memiliki karakter negarawan, dan bukanlah suksesor politikus yang baik (berupaya mempertahankan kekuasaan untuk dirinya atau diserahkan hanya kepada keluarga atau kroninya).

Tidak sedikit orang yang tidak memiliki kualitas dan kredibilitas menjadi politikus karbitan dan mencalonkan diri di hampir semua profesi politik. Tidak sedikit pula diantara mereka adalah para pengangguran dan orang frustasi yang mencoba keberuntungan dengan menjadi calon legislatif serta berharap dilayani dengan berbagai fasilitas istimewa dari negara. Profesi politik menjadi profesi mencari nafkah hidup hedonis bukan sebagai profesi mulia yang penuh martabat untuk melayani masyarakat.

Politik yang tujuan utama hanyalah merebut kekuasaan, akhirnya akan mengabaikan semua norma moral yang baik dalam berpolitik. Politik yang didefinisikan sebagai seni untuk mensejahterakan rakyat, menjadi tidak berarti demikian karena menghalalkan segala cara adalah strategi jitu meraih kekuasaan tersebut. Tujuan memperoleh kekuasaan adalah hal utama dan paling penting bukan bagaimana cara merebutnya. Dengan demikian pemilu dirumuskan sebagai sarana memanipulasi kedaulatan rakyat untuk memperoleh kekuasaan politik dengan cara apapun. Demokrasi substansial adalah kekuasaan itu sendiri, melalui demokrasi prosedural tanpa etika politik.

Politikus Indonesia diharapkan menjadi Pemerintah atau Penguasa yang berkedaulatan rakyat untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Politikus yang demikian hanyalah negarawan yang memiliki keutamaan-keutamaan moral yang semata-mata untuk memujudkan bonum commune atau “Kesejahteraan Umum”.

 

Politik Rasional!

Akhirnya dalam kacamata etika politik, perebutan kursi kekuasaan di Indonesia hanyalah antara politikus baik dan politikus busuk, hanyalah diperebutkan dengan cara rasional atau irasional. Ini adalah fenomena politik Indonesia saat ini, kampanye yang dibangun dengan cara komunikatif intersubjektif dimana pola-pola komunikasi yang logis/rasional disampaikan kepada publik secara terbuka dan mengandung kebenaran-kebenaran bertarung dengan sengit melawan kampanye yang dibangun diatas persepsi-persepsi sesat, manipulatif dan penuh kebohongan, bahkan sering dihiasi dengan kekerasan, ancaman dan teror dari kelompok-kelompok tertentu kepada pendukung lawan politiknya.

Politik rasional adalah menjadikan politik sebagai seni untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, bonum commune menjadi tujuan utama dalam semua aktifitas politikus yang baik. Pancasila menjadi ideologi dasar dalam berpolitik di Indonesia. Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika adalah konsensus dasar yang dihormati dan diperjuangkan dalam aktifitas politik. Demokrasi dan pemilu tidak dipahami sebagai perebutan kekuasaan belaka, melainkan sebagai sarana pembentukan pemerintah yang berkedaulatan rakyat untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan umum.

Sementara Politik Irasional adalah menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Etika dan moral bukanlah panduan praktis dalam berpolitik. Kebohongan menjadi sesuatu yang perlu dilakukan oleh politikus jika dengan itu kekuasaan dapat diraih. Il Principe karya Nicollo Machiavelli dipraktekan oleh poltikus busuk tanpa perlu terlebih dahulu pernah membaca dan memahaminya, karena sudah menjadi karakter manusia sebagai mahkluk yang ingin selalu berkuasa.

Pertanyaannya adalah apakah mereka akan berubah ketika memperoleh kekuasaan dalam politik? Apakah karakter atau sifat-sifat buruk ini akan berubah ketika mereka menjadi Presiden, atau anggota DPD/DPR/DPRD atau gubernur atau bupati/walikota? Kita lihat saja nanti bagaimana manisnya kekuasaan itu akan mengubah banyak orang.

Semoga dalam pemilihan umum nanti kita tidak salah memilih calon, karena akhirnya pemerintah yang berkedaulatan rakyat itu adalah pemerintah yang mau melayani rakyat demi terwujudnya kesejahteraan umum, karena melalui pemilu yang demokratis akan melahirkan penguasa dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Cerdas memilih dan bertanggungjawab dengan pilihan kita, karena kitalah maka mereka ada dan akan seperti apa mereka nanti.

Kita ada dipihak mana? Rasional ataukah Irasional?

*) Penulis adalah Direktur Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) Center.