Radikalisme di Lingkungan Kerja, Rekrutmen dan Verifikasi Kompetensi dan Ideologi Dinilai Tidak Efektif

oleh -
Dosen Universitas Pancasila, Jakarta, Dr. Ricca Anggraeni, SH. MH. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Beberapa waktu lalu muncul berita terkait aksi intolerasi dan radikalisme yang terjadi di lingkungan BUMN maupun dalam sebuah lembaga pendidikan tinggi.

Berita tersebut terkait eks pegawai sebuah BUMN berinisial S alias MT yang diduga terlibat kelompok terorisme, yang termasuk dalam pengurus jaringan Jamaah Islamiyah (JI).

Berita lain menyebutkan bahwa Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) telah menerima dan menindaklanjuti laporan dari Gerakan Antiradikalisme Institut Teknologi Bandung terkait tindakan radikalisme yang dilakukan dosen Universitas Islam Negeri di Jakarta.

Mengapa terjadi penyebaran radikalisme, intoleransi, terorisme di lingkungan kerja? Apakah pengetahuan mengenai radikalisme, intoleransi, dan terorisme di lingkungan kerja berlaku efektif menekan penyebaran paham tersebut?

Apakah instrumen rekrutmen atau verifikasi kompetensi dan ideologi berlaku efektif dalam menangkal penyebaran paham radikalisme, intoleransi dan terorisme di lingkungan kerja?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut dilontarkan Dosen Universitas Pancasila, Jakarta, Dr. Ricca Anggraeni, SH. MH, dalam webinar Webinar Anti Radikalisme, Penanggulangan Bahaya dan Penyebaran Paham Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme pada Lingkungan Kerja, yang diselenggarakan oleh PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (PT JIEP) di Jakarta, beberapa waktu lalu. Seminar ini sekaligus untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2021.

Selain Dr. Ricca Angraini Lee, hadir juga antara lain Direktur Nasional LPPDSDM BKPRMI, H. Nanang Mubarok, dan Kasatgas Foreign Terorrist Fighter Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Kombes Pol Dr Didik Novi Rahmanto. Webinar yang dibuka oleh Dirut PT JIEP, Landi Rizaldi Mangaweang itu juga diikuti oleh Dewan Komisaris dan Direksi PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung serta para Pimpinan perusahaan di Kawasan  Industri Pulogadung, unsur Muspiko dan aparat keamanan baik di lingkungan Kecamatan Cakung, Kelurahan Jatinegara dan Rawaterate, dan anggota Apindo DPK Jakarta Timur dan pimpinan perusahaan/ tenant-tenant di Kawasan Industri Pulogadung (KIP).

Menjawabi pertanyaan di atas, Ricca mengatakan, rekruitmen atau verifikasi kompetensi dan ideologi kurang efektif dalam menangkal penyebaran paham radikalisme, intoleransi dan terorisme di lingkungan kerja.

Menurut Ricca, ada beberapa penyebab munculnya penyebaran radikalisme-terorisme. Pertama, adanya digitalisasi dunia yang tanpa batas. Hal ini memunculkan adanya aksi propaganda, jaringan dan rekruitmen anggota baru.

Menurutnya, kaum yang sangat rentan terpapar jaringan radikalisme tersebut adalah para generasi milenial. Pasalnya, generasi itu paling lama berselancar dalam internet.

“Hasil surevei BNPT menyebutkan bahwa 85% generasi milenial rentan terpapar paham radikal,” ujarnya.

Selain karena arus digitalisasi, terpaparnya warga dalam jaringan radikalisme tersebut juga karena adanya kontestasi politik fanatisme kelompok. Hal ini tampak terlihat dalam Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu.

Ketiga, karena kurangnya literasi, mudah terpancing oleh glorification, dan heroisme.

“Kita tidak sedang bertengkar! Yang kita lawan bukan agama, suku, dan ras. Kita sedang melawan radikalisme yang menggerogoti rasa nasionalisme di hatimu,” ujarnya.

 

Indonesia Beruntung Miliki Umat Islam Wasathiyah

Sementara itu, Direktur Nasional LPPDSDM BKPRMI, H. Nanang Mubarok  mengatakan bahwa Indonesia sangat beruntung karena memiliki umat Islam yang Wasathyiyah, yang setia pada NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Karena itu Islam Indonesia memberikan legasi yang sangat besar bagi negara Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan seperti IPOLEKSOSBUD HANKAMRATA dan lingkungan hidup.

“Karena itu, umat Islam diminta agar tidak membuat dikotomi antara ‘minna’versus ‘minhum’ dengan pemerintah,” ujarnya.

Dalam pemaparannya Deputy Director Leadership School Bibit Samad Riyanto Center ini mengatakan, Islam dan agama lainnya di Indonesia telah menerima nasionalisme Indonesia sejak masa pergerakan dalam dasawarsa 1910-an. Bahkan, para penganut agama menjadi salah satu tulang punggung utama gerakan nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan.

Penerimaan UUD 1945, Pancasila, NKRI, Bhinneka Tungga Ika, katanya, merupakan bukti komitmen kebangsaan para tokoh, pemimpin dan penganut agama-agama.

“Karena itu, Indonesia dalam fiqih siyasah NU-Muhammadiyah adalah Dar Al-mitsaq atau Da Al’Ahd Wa AL-Syahadah, Presiden Indonesia adalah ‘Amir al-Mu’minin atau Waliyu I-Amri Dharuri bi al-Syaukah,” ujar Mubaliq Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama itu.

Menurutnya, nasionalisme Indonesia sangat kompatible dan tidak bertentangan dengan agama karena Indonesia merupakan negara yang bukan sekuler dan bertentangan (unfriedly) dengan agama.

Bahkan, nasionalisme Indonesia memberikan tempat terhormat kepada agama, Pancasila dan UUD 1945. Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa dan sila-sila lain merupakan dasar negara/platform negara bangsa yang religiously frendly basis atau ideologi of the state.

“Meski demikian, Pancasila adalah ‘De-confenssional basis of the Indonesian State – dasar negara yang tidak terikat eksplisit dengan agama tertentu, khususnya Islam yang dianut mayoritas mutlak penduduk Indonesia,” ujar kader penggerak NU tersebut.

Indonesia, katanya, berdasarkan Pancasila sebagai Common Platform di antara komunitas dan kelompok warga yang sangat majemuk. Dengan Pancasila sebagai dasar negara, Indonesia bukan Confenssional’ State (negara berdasarkan agama) juga bukan negara murni (Secular State). Agama menjadi Part and Parcel of Public Life (Bagian dan Paket dari Kehidupan Publik).

“Mayoritas mutlak warga pemimpin Indonesia menerima Pancasila sebagai final dasar negara. Multikultural, pluralitas atau kemajemukan juga diakui negara lewat prinsip Bhinneka Tunggal Ika (Diversity in Unity),” ujarnya. ***