Rebut Kembali Ruang Digital dari Hoaks dan Kebencian dengan Nilai Kemanusiaan

oleh -
Acara webinar bertajuk “Netizen Indonesia Tidak Beradab ?” pada Sabtu (9/10). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Salah satu keprihatinan bangsa Indonesia saat ini yaitu adanya konten di ruang digital yang penuh dengan hoaks, dan kebencian.

Hal tersebut mengofirmasi hasil riset Digital Civility Index (DCI) yang dilakukan oleh Microsoft. Riset tersebut, menurut moderator acara yang juga wartawan senior Budi Susanto, bahwa Indonesia merupakan negara dengan warganet paling tidak sopan di dunia.

Hal itu disampaikannya dalam acara webinar bertajuk “Netizen Indonesia Tidak Beradab ?” pada Sabtu (9/10).

Pengguna internet Indonesia saat in mencapai kurang lebih 202.600.000 jiwa. Tentu adalah kejanggalan ketika dikatakan semua warganet  Indonesia tidak sopan dan tidak beradab. Karena itu, webinar ini diselenggarakan untuk mengetahui bagaimana cara menyikapi kenyataan tersebut dan untuk lebih lanjut memperbaiki iklim dunia maya Indonesia yang sudah carut marut ini.

Acara yang diselenggarakan oleh Forum Stakeholder Jawa Tengah  (FORUM JATENG) ini menghadirkan  antara lain Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si dari Fisipol UGM sebagai pembicara.

Arie menyatakan bahwa citizen journalism sebenarnya berguna sebagai penyeimbang dan tolak ukur bagi media mainstream. Penyebaran berita dari masyarakat tentang keadaan lingkungan sekitar seperti rusaknya infrastruktur terbukti efektif bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan.

“Namun kebaikan dari penyeimbang ini suka atau tidak juga dikotori oleh konten-konten yang bernuansa kebencian, berita palsu dan hoaks. Hal ini disebarkan untuk membuka pembicaraan negatif yang lebih jauh bermaksud mengubah opini masyarakat terhadap Negara dan pemerintah. Konten tersebut diperkenankan oleh demokrasi. Namun jika dibiarkan berlarut-larut maka akan berdampak buruk bagi persatuan dan kesatuan masyarakat. Perpecahan yang seperti inilah  yang sebenarnya harus kita perangi,” ujarnya.

Digitalisasi adalah pedang bermata dua yang bisa memperbaiki sekaligus merusak. Karena itu, kuncinya adalah harus ada sistem dan pengkoordinasian kontra narasi terhadap konten negatif hingga kebaikan dan hal positif yang dibagi di dunia maya dapat mengikis penyebaran berita bohong, ujaran kebencian dan hoaks.

“Digitalisasi dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran literasi untuk membuat warganet  dapat memiliki kebijakan literasi dan lebih lanjut dapat  menyebarkan dan berbagi berita positif,” katanya.

Konten yang disebarkan hendaknya dapat membawa keberadaban, menjaga martabat manusia serta menjaga demokrasi agar tidak terjebak dalam dialektika anarkis yang berwujud hate speech dan hoaks.

Para warganet hendaknya merayakan perbedaan dan keberagaman dengan cara bermartabat, berdialektikan dan berdemokrasi dengan beradab hingga tidak ada lagi yang menganggap warganet Indonesia merupakan warganet yang tidak sopan.

 

Rajut Etika dan Nilai Kemanusiaan

Romo Benny dalam paparannya mengatakan bahwa seluruh bangsa Indonesia seharusnya dapat menjadikan penelitian dari Microsoft tersebut sebagai titik refleksi apakah sejauh itu warganet  Indonesia bersikap tidak sopan dan merusak.

“Sebegitu jauhkah kita menjauhi nilai nilai luhur bangsa Indonesia yang tertanam dalam Pancasila dan lebih memilih ideologi kematian? Sebegitu dalamkah kita kehilangan kemanusiaan dan terjebak pada hoaks, berita kebencian dan permusuhan?,” tanya Romo Benny.

Kita seharusnya mengerti bahwa bahwa di era teknologi di mana informasi makin tidak terikat ruang dan waktu, manusia dan masyarakat harusnya makin cepat mengerti mengenai perkembangan informasi di sekitarnya hingga membuat ikatan empati dan kebersamaan di antara anggota masyarakat seharusnya makin meningkat. Namun yang sekarang terjadi justru keterasingan terhadap nilai-nilai kemanusiaan makin meningkat.

Benny mengatakan, keterasingan terhadap nilai kemanusiaan terjadi karena karena globalisasi lebih berfokus  pada kecepatan penyebaran informasi, bukan kedalaman isi dan manfaat informasi tersebut.

“Informasi yang dibagi pada saat dan era ini cenderung mengabaikan kepantasan, kedalaman dan kebenaran  hal ini membuat manusia menjadi  makhluk satu dimensi yang mengagungkan informasi instan yang isinya mengabaikan norma dan nilai. Masyarakat juga cenderung tidak melakukan penyaringan atas berita yang didapatkan agar selalu terlihat aktual. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat terjebak dalam menyebarkan banyak berita bohong, hoaks dan tidak bermanfaat,” ujarnya.

Dalam webinar yang diselenggarakan pada Sabtu 9 Oktober 2021 ini Benny menjelaskan lebih lanjut bahwa agar tidak berlarut-larut diam dalam ideologi kematian tersebut maka kita perlu menanamkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan yang tercakup dalam Pancasila.

“Kita juga harus mampu menjadikan Pancasila sebagai  gugus insting yang mempengaruhi cara berpikir, bertindak, bernalar, dan berelasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Romo Benny.

Benny melanjutkan, kita yang bijak dan paham mengenai tidak bermanfaatnya ujaran kebencian, berita buruk dan hoaks jangan mengalah kepada mereka yang mengedepankan kekerasan dan hoaks sebagai hal yang mereka percaya.

“Karena itu, rebut kembali ruang digital dengan nilai nilai kemanusiaan yang bersumber dari Pancasila, budaya Indonesia yang beraneka ragam dan kebaikan-kebaikan lain yang hendaknya tidak hanya berhenti dalam ruang digital tapi juga bisa memberikan kontribusi nyata pada seluruh lapisan  masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Merajut kembali etika dan nilai kemanusiaan merupakan kunci kemajuan ruang digital Indonesia. Masyarakat Indonesia, kata Benny, harus dapat mewujudkan Pancasila sebagai Living and Waking Ideology dengan mengisi ruang publik dan ruang digital Indonesia dengan logos (ilmu) pathos (empati dan rasa) serta etos (cara kerja) tentang Pancasila.

“Jika tiga hal itu dapat saling menyatu dan hidup nyata dalam proses berkegiatan maka niscaya nilai-nilai luhur kemanusiaan Pancasila dapat benar benar dilaksanakan dan dibumikan dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia,” ujarnya.

Menutup acara tersebut, Budi Susanto menyimpulkan bahwa webinar tersebut bukan obat yang serta merta menjamin kesembuhan penyakit di dunia maya Indonesia dan warganet di dalamnya. Jawaban sejati baru dapat ditemukan jika  kita bisa sungguh-sungguh bergerak bersama dalam usaha membersihkan racun-racun seperti hoaks, hate speech dan bullying dari ruang ruang publik digital hingga hanya  tersisa konten positif yang bermanfaat yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia. ***