Refleksi HUT RI ke-76: Membangun Industri Dalam Negeri yang Mandiri,  Berdaulat, Maju, Berkeadilan dan Inklusif

oleh -
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita

Oleh: Agus Gumiwang Kartasasmita*)

JENDELANASIONAL.ID — Proklamasi Kemerdekaan RI pada 76 tahun lalu merangkum aspirasi dan kehendak rakyat Indonesia untuk menjadi bangsa yang berdaulat, mandiri, maju, dan berkeadilan sosial. Nilai kemandirian, kedaulatan, kemajuan, dan keadilan sosial ini sudah seharusnya selalu kita tanamkan dan lestarikan -sebagai ruh, paradigma, dan mainstream – dalam setiap upaya pembangunan di berbagai sektor, termasuk pembangunan sektor industri manufaktur.

Dalam konteks pembangunan sektor industri manufaktur, “Mandiri” berarti keberlangsungan industri manufaktur dalam negeri tidak boleh tergantung pada sumber daya luar negeri. “Berdaulat” dapat dimaknai bahwa produk-produk industri manufaktur dalam negeri mesti menjadi ‘tuan’ di negeri sendiri serta dipakai oleh dan menjadi kebanggaan anak bangsa. “Maju” artinya industri manufaktur dalam negeri memiliki daya saing global dan menguasai pasar internasional. “Berkeadilan dan Inklusif” memiliki makna bahwa pembangunan industri manufaktur harus merata di seluruh wilayah atau daerah dan memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat hingga lapisan terbawah.

 

Sejarah industrialisasi di Indonesia

Pembangunan industri manufaktur dapat dikatakan diawali di zaman Orde Lama dengan kebijakan nasionalisasi atau pengalihan kepemilikan atas perusahaan peninggalan Belanda. Namun, secara umum pembangunan industri sulit berkembang karena pemerintah fokus pada upaya-upaya membangun stabilitas politik. Kondisi keuangan negara dan keterbatasan sumber daya manusia ahli dan terampil juga turut berkontribusi terhadap terhambatnya pembangunan industri manufaktur. Dengan kondisi tersebut, industri manufaktur pada zaman Orde Lama secara keseluruhan memberikan sumbangan yang tidak terlalu signifikan dalam perekonomian nasional. Kontribusinya terhadap PDB hanya berkisar di angka 8%. Meski demikian, beberapa industri strategis berhasil dibangun antara lain PT. Pupuk Sriwijaya yang kini menjadi perusahaan induk PT. Pupuk Indonesia (Persero) dan PT. Semen Gresik kini menjadi perusahaan induk bagi PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk.

Pembangunan sektor industri manufaktur mulai berkembang pada zaman Orde Baru. Di masa awal, industrialisasi difokuskan pada substitusi impor kebutuhan pokok, khususnya pangan, sandang, dan papan, dan mendukung pembangunan sektor pertanian. Pada era 1980-an kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB masih berada di angka 12,4 persen, lebih rendah dari kontribusi sektor pertambangan dan sektor pertanian sebesar 23 persen dan 22 persen. Peristiwa oil booming -di mana harga minyak melonjak tinggi akibat embargo minyak oleh negara-negara Arab- menjadi momentum bagi pemerintah Orde Baru untuk melakukan industrialisasi secara lebih ekspansif. Hasilnya, dalam kurun satu dekade sumbangan industri manufaktur dalam PDB mencapai 20,3 persen pada tahun 1994. Ekonomi Indonesia saat itu bahkan menjadi contoh kesuksesan pembangunan di negara berkembang. Kontribusi industri manufaktur di masa Orde Baru mencapai puncaknya sebesar 24,3 persen justru pada saat krisis ekonomi tahun 1997 di mana pertumbuhan industri di tahun tersebut sebenarnya minus 13 persen.

Di awal era orde reformasi, kontribusi industri manufaktur dalam PDB mencapai 25,2 persen pada tahun 2001. Capaian ini merupakan tertinggi sepanjang sejarah perkembangan industri manufaktur Indonesia. Tetapi, kontribusi industri pada tahun-tahun berikutnya cenderung stagnan, lalu perlahan terus menurun. Pada 2008, kontribusi industri manufaktur dalam PDB sempat naik ke 23,81 persen tetapi dikoreksi menjadi 19,2 persen akibat diberlakukannya sistem akun nasional yang baru. Tren penurunan kontribusi secara gradual terus berlangsung hingga menyentuh 17,6 persen di tahun 2019.

Penurunan persentase kontribusi industri manufaktur dalam PDB diyakini dipicu oleh stagnansi pertumbuhan industri manufaktur yang sebenarnya telah terjadi sejak tahun 1996 –seolah sebagai pertanda dini bagi terjadinya krisis 1997/1998. Pada 1996 pertumbuhan industri manufaktur anjlok ke angka 6,1 persen dari posisi 11.6 persen di tahun sebelumnya. Ini kali pertama sejak tahun 1984 pertumbuhan industri menyentuh angka 6 persen. Pada krisis 1997, pertumbuhan industri pengolahan bahkan minus 13 persen. Semenjak itu, rata-rata pertumbuhan industri selalu di bawah 6 persen dengan pertumbuhan rata-rata per lima tahun berkisar di angka 5 persen.

Tahun 2019 dan 2020 merupakan tahun penuh tekanan khususnya bagi sektor industri manufaktur. Berbagai tekanan menyebabkan turunnya pertumbuhan industri manufaktur ke posisi 4,34 persen di tahun 2019 dan minus 2,52 persen di tahun 2020. Pemicunya adalah perang dagang antara AS dan Tiongkok dan pandemi Covid-19. Perang dagang antara AS-Tiongkok menciptakan efek berantai di mana setiap negara meningkatkan proteksi perdagangan sehingga tercipta kembali high cost economy dalam sistem perdagangan dunia. Di samping itu, sisi supply juga terganggu. Tiongkok sebagai penguasa pasar ekspor dunia berusaha mencari pasar baru untuk produk barang dan jasa mereka yang tidak bisa masuk ke AS. Meluapnya pasokan menekan sektor industri manufaktur di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dari segi keuangan, para investor melakukan aksi wait and see sehingga berdampak pada ketidakpastian dan kelesuan.

Pandemi Covid-19 memberikan tekanan hebat kepada sektor industri dari dua sisi, sisi supply dan sisi demand. Sisi supply terganggu akibat terhambatnya rantai pasok global (supply shock). Sementara sisi demand terganggu utamanya akibat menurunnya daya beli masyarakat. Banyak industri manufaktur yang memutuskan mengurangi utilitas -bahkan menghentikan- produksinya.

Pelambatan pertumbuhan industri manufaktur sebagaimana dipaparkan di atas membuat beberapa kalangan berpendapat bahwa sedang terjadi -atau setidaknya sudah ada gejala- deindustrialisasi di Indonesia. Nampaknya tidak demikian. Suatu negara dapat dikatakan mengalami deindustrialisasi manakala terjadi pertumbuhan negatif secara berturut-turut dalam kurun waktu yang cukup lama. Realitanya, sektor industri pengolahan di Indonesia selalu menunjukkan pertumbuhan yang positif dan selalu menjadi motor penggerak perekonomian nasional. Pertumbuhan negatif hanya terjadi sebanyak dua kali -akibat kejadian luar biasa-, yaitu minus 11,5 persen akibat dampak krisis 1997 dan minus 2,93 persen pada tahun 2020 akibat dampak pandemi Covid-19. Meski demikian, pada tahun berikutnya sektor industri pengolahan kembali tumbuh positif. Di Triwulan II Tahun 2021 pertumbuhan industri manufaktur rebound ke level positif di angka 6,91 persen. Di samping itu, angka absolut kontribusi sektor industri pengolahan dalam PDB secara umum meningkat meski secara persentasenya terhadap PDB menurun. Ini sejalan dengan kontribusi ekspor sektor industri manufaktur dalam ekspor nasional dan nilai investasi di sektor industri manufaktur yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi ekspor sektor industri dalam ekspor nasional pada tahun 2020 tercatat sebesar 80,3 persen, dan pada Januari-Juni 2021 tercatat sebesar 78,80% yang mendorong surplus neraca perdagangan Indonesia sebesar US$8,22 miliar. Investasi di sektor industri pun terhitung terus meningkat naik sejak tahun 2020 dan pada periode Januari-Juni 2021 kemarin tercatat sebesar Rp. 167,1 triliun atau naik 29 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2019.

 

Masalah Utama dan Upaya Penyelesaian

Meski terbantahkan, kekhawatiran akan terjadinya deindustrialisasi di Indonesia sepatutnya dijadikan alarm bahwa banyak hal harus dibenahi agar sektor industri pengolahan mampu berkembang dan berperan secara berkelanjutan bagi perekonomian nasional. Pengalaman di masa lalu memberikan pelajaran, bahwa pertumbuhan yang tinggi saja tidak membuat ekonomi menjadi kokoh, tidak menjadikan industri manufaktur menjadi kuat. Ada unsur yang mesti menjadi pedoman dalam membangun perekonomian, terlebih khusus industri manufaktur, yaitu kemandirian. Pertumbuhan ekonomi bersamaan dengan pertumbuhan industri manufakur yang sangat pesat di masa lalu kerap kali membuat kita lupa bahwa struktur industri manufaktur Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya luar (impor). Ini tercermin dari struktur impor Indonesia yang sejak tahun 1981 hingga kini masih sangat didominasi oleh impor bahan baku dan penolong dan barang modal.

Perkembangan industri dan peningkatan ekspor tidak akan optimal manfaatnya jika selalu diikuti dengan meningkatnya impor. Bahkan dalam skala tertentu, peningkatan impor barang modal serta bahan baku dan bahan penolong justru membuat rapuh ketahanan industri manufaktur. Manakala harga barang import meningkat, atau saat pasokan tersendat atau bahkan terhenti akibat suatu peristiwa -seperti pandemi yang kita alami saat ini-industri manufaktur menjadi limbung dan bahkan mendekati kematian.

Pandemi Covid-19 membuka mata kita untuk melihat banyak hal. Antara lain masih banyak celah kosong di sisi supply chain dalam struktur industri manufaktur Indonesia. Sektor farmasi menjadi contoh aktual. Ketergantungan terhadap impor bahan baku termasuk jenis obat untuk terapi Covid-19 –ditambah dengan faktor panic buying oleh masyarakat- membuat obat terapi Covid-19 sempat menjadi barang langka dan berharga mahal. Kita mesti bersaing dalam impor bahan baku obat dan obat jadi dengan banyak negara yang sama-sama membutuhkan.

Dengan keanekaragaman hayati dan sumber daya manusia yang dimiliki, Indonesia semestinya bisa mengembangkan industri yang kuat di sektor farmasi dan alat kesehatan. Kita mampu untuk itu. Kita sudah mengembangkan dan memproduksi beberapa obat modern asli Indonesia (OMAI) yang telah digunakan di beberapa negara di Eropa. Kita juga sudah mampu membuat ventilator dan generator/ konsentrator oksigen dalam negeri. Prototipenya sudah ada dan kini tengah menunggu hasil uji klinis untuk bisa diproduksi secara massal. Jika alat-alat kesehatan tersebut sudah bisa diproduksi, maka kemandirian industri alat kesehatan dan sektor kesehatan kita akan semakin kuat.

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor -sekaligus mendorong penguatan struktur industri manufaktur-, Kemenperin telah mengeluarkan kebijakan Substitusi Impor 35% pada tahun 2022 dengan prioritas pada industri-industri dengan nilai impor yang besar pada tahun 2019 seperti mesin, kimia, logam, elektronika, makanan, peralatan listrik, tekstil, kendaraan bermotor, barang logam, serta karet dan bahan dari karet. Strategi yang ditempuh adalah dengan menurunkan impor guna merangsang pertumbuhan industri substitusi impor dalam negeri, peningkatan utilitas industri domestik, dan peningkatan investasi untuk produksi barang-barang substitusi impor.

Strategi lain adalah optimalisasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri melalui penetapan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) minimal 40 persen. Penetapan TKDN dimaksudkan untuk mendorong agar semua produk yang dihasilkan industri dalam negeri dapat diserap dalam proyek pengadaan barang/jasa di dalam negeri, baik melalui APBN maupun anggaran BUMN/ BUMD. Kebijakan ini merupakan wujud keberpihakan terhadap produk dalam negeri dan langkah pengawalan terhadap keberlangsungan industri dalam negeri. Semua negara pasti menggunakan berbagai instrumen untuk melindungi industrinya, membentengi sektor produksinya, serta menjaga tenaga kerja dan warganya. Keberpihakan dan dukungan pengamanan ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi industri dalam negeri untuk berkembang dan meningkatkan daya saing sampai mereka mapan dan mampu bertarung di persaingan global. Jika tidak, impor semakin akan merajalela dan industri dalam negeri tidak akan pernah bisa berdaulat di wilayahnya sendiri.

Kemandirian dan kedaulatan industri dalam negeri juga harus didukung atau ditopang dengan perubahan mindset dan perilaku. Dari sisi pelaku usaha, mentalitas “serba instan” dan “tidak mau repot” membuat praktik impor menjadi budaya ketergantungan dalam praktik pembangunan kita. Pencerahan dan dorongan perlu diberikan agar ada transformasi pelaku  usaha dari semula pedagang menjadi industrialis, dari berorientasi impor menjadi berorientasi produksi. Dari sisi masyarakat, dampak globalisasi dan kemajuan teknologi telah menciptakan budaya konsumtif dan membuka luas akses masyarakat terhadap produk-produk impor. Edukasi dan pemberdayaan perlu digalakkan agar tumbuh watak kewirausahaan di tengah masyarakat sehingga mereka memiliki minat untuk masuk ke sektor industri pengolahan, melalui kewirausahaan baru atau industri kecil. Di samping itu, edukasi dan kampanye juga diperkuat untuk menumbuhkan kebanggaan dan kecintaan masyarakat terhadap produk-produk dalam negeri. Masyarakat mesti disadarkan bahwa mendahulukan penggunaan produksi dalam negeri adalah perbuatan yang terpuji dan patriotik. Dalam tujuan itu, pemerintah telah meluncurkan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia.

Pendalaman struktur industri manufaktur Indonesia juga didorong melalui kebijakan hilirisasi berbasis sektor primer. Hilirisasi juga bermanfaat dalam meningkatkan nilai tambah terhadap perekonomian, peningkatan investasi dalam negeri, pembukaan lapangan kerja, penyerapan tenaga kerja, dan pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri. Kita tidak boleh berpuas diri sebagai eksportir hasil bumi baik dari pertanian maupun pertambangan. Dengan sumber daya alam yang berlimpah, Indonesia memiliki potensi sangat besar untuk menjadi negara eksportir berbagai produk berbasis agro, mineral, migas, dan batubara. Di sektor industri agro, sebagai contoh Indonesia berhasil melakukan hilirisasi minyak sawit (CPO). Dalam kurun 10 tahun ekspor produk turunan kelapa sawit meningkat dari 20% pada 2010 ke 80% pada tahun 2020. Sebagai produsen rumput laut terbesar kedua di dunia, Indonesia dalam empat tahun terakhir telah berhasil meningkatkan nilai ekspor produk hilir rumput laut dari USD 45,7 juta di tahun 2007 ke USD 96,2 juta di tahun 2020. Indonesia juga dikenal sebagai pengolah kakao terbesar ketiga dunia. Dengan kapasitas terpasang sekitar 800 ribu ton per tahun, ekspor produk olahan kakao menyentuh angka USD 1,12 milyar pada tahun 2020.

Hilirisasi di sektor industri petrokimia sangat strategis karena menghasilkan bahan baku primer untuk menopang banyak industri manufaktur penting seperti tekstil, otomotif, mesin, elektronika, dan konstruksi. Pemerintah saat ini tengah mengawal beberapa proyek pembangunan industri petrokimia raksasa -salah satunya di Bintuni, Papua- dengan total nilai investasi sebesar USD 31 miliar.

Sementara di sektor industri mineral logam, saat ini telah terbangun industri stainless steel terintegrasi dari hulu yang menghasilkan produk turunan nikel dengan kapasitas 4 juta ton per tahun. Kapasitas produksi ditargetkan pada tahun 2022 mencapai 6 juta ton per tahun. Pemerintah juga telah membangun fasilitas pengolahan bijih bauksit ke alumina dengan kapasitas produksi 3 juta ton per tahun.

Peningkatan daya saing global industri di Indonesia merupakan agenda penting yang juga menjadi perhatian Pemerintah. Laporan Competitiveness Industrial Performance (CIP) Index Tahun 2020 menunjukkan adanya perbaikan peringkat daya saing manufaktur Indonesia yang kini di peringkat 39 dunia. Salah satu faktor penting dalam daya saing industri manufaktur adalah ketersediaan energi. Dengan keragaman sumber energi yang dimiliki, Indonesia mestinya tidak dihadapkan pada permasalahan energi. Faktanya, akses industri ke energi yang masih rendah -akibat minimnya infrastruktur transmisi dan distribusi dan harga energi yang mahal- masih menjadi faktor penghambat akselerasi industri manufaktur di Indonesia. Harga rata-rata gas bumi di Indonesia tergolong mahal, berkisar USD 9-10 per MMBTU. Mengatasi masalah energi ini jelas perlu percepatan pembangunan infrastruktur dan perbaikan tata niaga yang lebih efisien. Tetapi membangun infrastruktur butuh waktu dan investasi yang tidak sedikit. Karena itu, sebagai quick wins pemerintah mengeluarkan kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk beberapa sektor industri dengan harga USD 6 per MMBTU. Tujuh sektor industri telah menerima manfaat dari kebijakan HGBT ini, antara lain industri pupuk, industri petrokimia, industri oleokimia, industri baja, industri kaca, industri keramik, dan industri sarung tangan karet.

Kebijakan HGBT telah terbukti meningkatkan kinerja dan daya tahan industri manufaktur terlebih di masa pandemi. Dampaknya antara lain peningkatan utilisasi di sektor industri kaca, industri keramik, dan industri baja, peningkatan ekspor komoditas oleokimia dan produk keramik, dan pengurangan beban subsidi pada industri pupuk. Kebijakan HGBT juga telah meningkatkan kepercayaan diri pelaku industri untuk menambah investasi dengan rencana investasi senilai Rp. 191 triliun. Selain itu, di masa pandemi kebijakan ini juga mampu meminimalisasi pemutusan hubungan kerja. Dengan sekian manfaat nyata tersebut, penerima manfaat kebijakan HGBT rencananya akan diperluas ke 13 sektor industri lain. Asas dalam penyediaan energi bagi industri adalah asas keadilan dengan prinsip no one left behind, sehingga dengan demikian semua sektor industri tak terkecuali harus mendapatkan manfaat yang sama dari kebijakan HGBT.

Faktor daya saing lain yang sangat penting adalah kualitas sumber daya manusia industri. Dalam menyiapkan SDM industri yang terampil dan berkualitas, Kemenperin secara konsisten menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan vokasi yang terintegrasi dengan dunia industri. Seluruh atau 100 persen lulusan pendidikan vokasi Kemenperin diserap oleh industri atau menjadi wirausahawan sehingga patut menjadi role model bagi pengembangan pendidikan vokasi secara keseluruhan di Indonesia. Pada Ratas 04 Agustus 2021 lalu, Presiden RI memberikan arahan agar pengembangan pendidikan vokasi oleh semua kementerian/ lembaga harus terorkestrasi dengan baik dengan orientasi pada kebutuhan SDM industri. Dalam rangka itu beberapa hal perlu mendapatkan perhatian, yaitu: 1) Kurikulum pendidikan vokasi hendaknya disusun bersama-sama dengan dunia industri dengan mengedepankan pembelajaran berbasis proyek riil di dunia kerja, 2) Guru, dosen, dan tenaga pengajar/ pendidik agar senantiasa didorong untuk update terhadap perkembangan teknologi dan mendapatkan pelatihan upskilling sesuai dengan tuntutan dunia kerja, 3) Tenaga pengajar dan mentor dari pelaku industri agar diperbanyak, 4) Industri harus dijadikan sebagai sekolah dan tenant, dan 5) Riset terapan harus dikembangkan sebagai teaching factory/ teaching industry.

Daya saing dan kemajuan industri manufaktur juga sangat tergantung pada kemampuan industri dalam merespon dan beradaptasi dengan dinamika dan tren global. Dewasa ini ada beberapa tren dunia, yaitu perubahan teknologi, tuntutan pembangunan industri hijau, dan peningkatan pasar di sektor industri halal. Tren perubahan teknologi saat ini dan ke depan akan didominasi oleh teknologi informasi dan komunikasi, internet of things, wearable devices, otomatisasi dan robotik, serta artificial intelligence. Dalam rangka itu, Pemerintah mengintensifkan implementasi kebijakan Making Indonesia 4.0 sebagai inisiatif untuk percepatan pembangunan industri memasuki era industri 4.0. Penerapan Industri 4.0 akan mendorong revitalisasi sektor manufaktur agar lebih efisien dan menghasilkan produk berkualitas. Penerapan Industri 4.0 di Indonesia juga diharapkan akan menarik investasi di bidang industri, karena industri di Indonesia akan lebih produktif dan berdaya saing tinggi dengan peningkatan kemampuan tenaga kerja Indonesia dalam mengadopsi teknologi.

Kesuksesan implementasi Making Indonesia 4.0 akan mendorong pertumbuhan PDB riil sebesar 2 persen per tahun, meningkatkan kontribusi industri manufaktur dalam PDB sebesar 25% pada tahun 2030, dan meningkatkan jumlah lapangan kerja dari 20 juta ke 30 juta lapangan kerja pada tahun 2030. Tujuh sektor industri menjadi fokus utama penerapan program ini yakni makanan dan minuman, tekstil dan busana, otomotif, kimia, elektronika, farmasi, dan alat kesehatan. Ketujuh sektor tersebut ditargetkan memberikan kontribusi terhadap total PDB manufaktur sebesar 70 persen, ekspor manufaktur sebesar 65 persen, dan penyerapan pekerja industri sebesar 60 persen.

Di samping tren perubahan teknologi, tren dunia lain yang harus diadaptasi oleh industri manufaktur dalam rangka peningkatan daya saing global adalah tuntutan pembangunan industri yang berwawasan lingkungan atau industri hijau (green industry) sebagai bagian dari Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs). Tujuan dari pengembangan industri hijau adalah penurunan emisi gas rumah kaca, efisiensi energi dan air, penerapan ekonomi sirkular, efisiensi material, penurunan pencemaran lingkungan, dan peningkatan serapan tenaga kerja. Pemerintah telah menetapkan tujuh aspek standar industri hijau, yaitu bahan baku, energi, air, emisi gas rumah kaca, proses produksi, produk, pengelolaan limbah, dan manajemen pengusahaan. Dari perspektif lingkungan, penerapan industri hijau pada tahun 2019 berhasil menurunkan 39,22 juta ton CO2equivalen, penghematan energi senilai Rp. 3.5 triliun, dan penghematan air setara Rp. 230 miliar. Hingga saat ini, 895 perusahaan industri telah mendapatkan penghargaan atas upayanya dalam membangun industri hijau.

Tren global lain yang tak boleh dilewatkan oleh industri manufaktur adalah peningkatan peluang pasar dan investasi di sektor industri halal. Potensi pasarnya sebesar USD 2 Triliun di tahun 2017 dan diprediksi meningkat menjadi USD 3 Triliun di tahun 2023. Ekonomi halal di mana sektor industri manufaktur dapat berperan penting antara lain makanan dan minuman halal, produk obat-obatan halal, produk kosmetik halal, dan produk busana dan mode halal. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia belum berperan besar di ekonomi halal. Dalam rangka mengoptimalkan peran tersebut, Pemerintah tengah mendorong pembangunan kawasan-kawasan industri halal terintegrasi yang memiliki fasilitas laboratorium halal, lembaga pemeriksa halal, instalasi pengolahan air baku halal, dan sistem jaminan halal di bawah pembinaan Kemenperin bekerja sama dengan lembaga terkait yaitu BPJPH dan MUI dalam hal verifikasi kehalalan.

Di samping peningkatan kemandirian, kedaulatan, pendalaman struktur industri, dan peningkatan daya saing, aspek lain yang harus dikedepankan dalam pembangunan industri manufaktur adalah aspek keadilan yang mencakup pemerataan dan inklusivitas. Pertumbuhan industri yang pesat di masa lalu telah menyebabkan jurang kesenjangan antara Jawa dan wilayah luar Jawa. Sekitar 81 persen dari total 33.926 unit usaha industri berada di pulau Jawa. Pemerataan pertumbuhan industri manufaktur sangat penting dalam upaya pemerataan ekonomi karena sektor industri manufaktur berperan penting dalam pembentukan baik PDB maupun PDRB. Dengan demikian, kontribusi sektor industri terhadap perekonomian nasional akan bertambah secara siginifikan jika diiringi dengan pemerataan pembangunan industri di semua daerah. Dalam rangka pemerataan pertumbuhan industri manufaktur, Pemerintah, sebagaimana diamanatkan dalam RPJMN 2020-2024, yaitu tengah mengembangkan 27 Kawasan Industri yang sebagian besar tersebar di luar Pulau Jawa.

Adapun pembangunan industri yang inklusif dilakukan dengan meningkatkan peran masyarakat -khususnya pelaku usaha kecil dan menengah (IKM)- sebagai bagian dalam supply chain industri manufaktur. Peningkatan peran sektor IKM ini akan membantu ketahanan industri manufaktur dalam negeri. Pada krisis ekonomi 1998, ketangguhan dan kemampuan adaptasi pelaku usaha kecil dan menengah telah terbukti menjadi tulang punggung ketahanan ekonomi nasional. Lebih dalam dari itu, melalui pemberdayaan IKM, pembangunan industri manufaktur sekaligus diarahkan juga untuk membantu pemecahan masalah sosial ekonomi masyarakat bawah khusunya dalam memperluas kesempatan kerja dan pemerataan pendapatan masyarakat yang pada ujungnya mempercepat pengentasan kemiskinan.

Tantangan dalam pembangunan industri sangat berat dan kompleks serta memerlukan waktu dan proses yang tidak instan. Karena itu, diperlukan tekad yang kuat dan dukungan dari semua pihak. Tetapi yakinlah, selama tekad untuk menunaikan amanat perjuangan kemerdekaan tersemat di hati dan pikiran kita semua, industri manufaktur Indonesia yang mandiri, berdaulat, maju, berkeadilan, dan inklusif akan segera terwujud sehingga industri manufaktur Indonesia akan semakin dibanggakan di dalam negeri serta dihormati dan disegani di kancah persaingan global.

*) Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Perindustrian RI.