Relawan Jokowi Harus Lakukan Aksi Agitasi Positif yang Simpatik

oleh -
Peneliti 7 (Seven) Strategic Studies/Koordinator POROS MWK, Girindra Sandino (tengah). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDElANASIONAL.COM — Pada Pemilihan Presiden Tahun 2014 Pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa unggul dari pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla di Jawa Barat. Dari hasil rekapitulasi suara Pilpres 2014 tingkat provinsi di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat pasangan Prabowo-Hatta unggul dengan perolehan suara 14.167.381 atau 59,78 persen. Sementara itu, pasangan Jokowi-JK mendapat suara 9.530.315 atau 40,22 persen. Total suara sah dari kedua pasangan tersebut ialah 23.697.696.

Pasangan Prabowo-Hatta menang di 22 kabupaten/kota di Jabar. Sementara itu, Jokowi-JK hanya unggul di empat kabupaten/kota di Jabar, yakni Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, dan Kota Cirebon.

Pada 3 Maret 2019, Kompas.com, memberitakan turunnya elektabilitas Pasangan Capres Jokowi dan Ma’ruf AMin di Jawa Barat dengan judul: “Jokowi Mengaku Elektabilitasnya di Jabar Turun 8 Persen karena Fitnah.” Dalam ulasan yang diwartakan kompas.com tersebut menyebut  bahwa Di Provinsi Jawa Barat 1,5 bulan yang lalu sudah menang 4 persen. Akan tetapi saat ini anjlok 8 persen. Hasil Penyelidikan Tim menemukan adanya upaya penyebaran hoaks dan fitnah kepada Jokowi-Ma’ruf. Khususnya, soal dilarangnya adzan jika pasangan capres-cawapres 01 menang dan perkawinan sesama jenis.

“Jelas ini merupakan manuver hoax dan black campaign yang sangat serius untuk menjatuhkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin di Jawa Barat. Padahal jelas dan tegas  Pasal 28O ayat (1) UU No.7/2017 menegaskan larangan kampanye,” ujar Peneliti 7 (Seven) Strategic Studies/Koordinator POROS MWK, Girindra Sandino dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (3/3).

Larangan kampanye itu, kata Girindra, di antaranya yaitu “mempersoalkan dasar negara Pancasila, pembukaan’ Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; Menghina seseorang, agana, sulnl, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain; Dan menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun di tegaskan kembali pada Pasal 521 UU No.7/2017 tentang Pemilu, tentang Ketentuan Pidana Pemilu, menyebut “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja melanggar Larangan pelaksanaan kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000. 000, 00 (dua puluh empat juta rupiah).

Girindra mengatakan, kebanyakan hoax dan fitnah yang dialamatkan pada pasangan Capres dan Cawapres No urut 01 ini menyebar di Jawa Barat melalui Medsos atau pesan berantai dan yang paling berbahaya adalah melalui door to door.

Sebagaimana diketahui bahwa jika penyebar kebencian di medsos juga ada sanksi pidananya. Pasal 28 ayat (2) UU ITE adalah sebagai berikut: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Kembali ke fitnah dan Hoax. Hoax dalam kamus Oxford (2017) diartikan sebagai suatu bentuk penipuan yang tujuannya untuk membuat kelucuan atau membawa bahaya. Hoax dalam Bahasa Indonesia berarti berita bohong, informasi palsu, atau kabar dusta. Sedangkan menurut kamus bahasa Inggris, hoax artinya olok-olok, cerita bohong, dan memperdayakan alias menipu.  Kemudian, saat ini tidak saja di Indonesia, di AS misalnya hoax hampir sama dengan conspiracy theories.

Dahulu teori hoax mirip dengan teori konspirasi tidak begitu membahayakan, misal tentang alien, munculnya monster laut, dan lain-lain. Akan tetapi lama kelamaan digunakan sebagai  senjata politik. Di Tahun 2014 ada penelitian misal menurut university of Cambridge menemukan 60 persen warga Inggris terikat narasi palsu. Nah, negara maju saja bisa begitu. Bahkan Trump dalam pemilu AS lalu banyak melakukan itu, fitnah, hoax dan ujaran kebencian. Nah bagaimana bila yang terdampak dalam skala besar, misalnya dalam suatu wilayah desa hingga provinsi?

Terkait dengan hal ini, Girindra mengatakan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan.

Pertama, jaman kemerdekaan dulu, penjajah memakai politik pecah belah (devided et empera) untuk melemahkan kekuatan negara sebelum perang konvensional/fisik karena biaya yang murah. Nah, sekarang karena kemajuan teknologi, khususnya massifnya perkembangan informasi lewat  internet dan media daring seperti Wahtsapp dan lain-lain. Perubahan strategi Perang yang tadi konvensional berubah menjadi strategi perang gerilya (asimetris), perang konvensional, asimetris, dan perang informasi (perang hibrida) serta proxy war. “Yang terjadi saat ini adalah perang gerilya dengan menggunakan senjata informasi. Maka langkah konkret yang harus dilakukan Tim sukses, relawan dan pendukung Jokowi adalah responsif melawan dengan memetakan dahulu daerah atau basis-basis yang paling rawan penyebaran hoax dan menganalisanya,” ujarnya.

Kedua, dalam sejarah kerelawanan, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, mungkin salah satu pelopor perekrut relawan militan dengan jumlah hampir 300.000 orang di seluruh Indonesia. Saat itu, pendiri, penggagas, dan  Sekjend KIPP 1996 – yang kini sudah almarhum – pernah bilang, “kita bukan saja memantau gerakan status quo dengan cara-cara demokratik untuk mendegradasi kekuasaan Orba melalui pemantauan pemilu, namun lebih dari itu, kita menggerakan rakyat untuk masuk ke dalam arena “counter culture”.

“Artinya relawan-relawan Jokowi yang mengaku militan harus terus melakukan aksi agitasi positif ke dalam basis-basis lawan penyebar finah dan hoax dengan melakukan aksi-aksi ‘counter culture’ yang konkret, seperti diskusi kampung, door to door, selebaran yang bersifat persuasif, dan lain-lain, dengan tentunya ada koordinator yang mengawasi bahwa aksi-aksi relawan-relawan benar-benar nyata, bukan hanya jalan-jalan, dan gosip-gosip dan terlena,” ujar alumnus FISIP UI tersebut.

Ketiga, dalam siaran pers seven strategic studies, pernah dikatakan bahwa ada 7 poin kegagalan politik identitas yang dilempar kubu Prabowo-Sandi. Saat ini mereka ingin menghidupkan kembali, karena mereka menilai strategi agresif dan ofensif masih efektif meraih simpati pemilih.  Dan kepanikan merangseknya kubu Jokowi ke Jawa Barat yang sempat unggul 4 persen, 1,5 bulan lalu. Hal ini harus menjadi perhatian serius, mengingat pemungutan suara tinggal sebulan setengah lagi. Jika metode penghafalan saja 40 kali repetitive atau  pengulangan baru menyangkut di otak atau alam bawah sadar. Nah jika hoax diproduksi secara terus menerus, dengan pola yang berulang (recurrent pattern) lama-lama akan menempel di kepala sebagai sebuah kebenaran bahkan menjadi sebuah hal yang melekat/hafal di kepala para pemilih Jawa Barat.

Keempat, tentu produksi hoax saat kompetisi politik yang saat ini semakin mendidih akan sangat berbahaya jika terus di ulang-ulang menjadi pembicaraan dan kebenaran di mindset masyarakat terdampak secara massal. Sangat berbahaya, masyarakat akan luntur akal sehatnya dari kultur yang toleran, dan yang ada ada kebencian massal. Kebencian massal akibat hoax ini akan menjadi konflik laten yang kemudian selanjutnya termanifestasi berubah menjadi  konflik terbuka serta secara sosiologis berdampak destruktif terhadap sistem sosial di masyarakat setempat.

“Fitnah dan hoax ini tidak bisa dianggap enteng, harus ada langkah-langkah konkret dari Tim sukses, relawan dan pendukung dengan menggerakan rakyat ke arena ‘counter culture’ dengan aksi-aksi agitasi positif yang simpatik,” pungkasnya. (Ryman)