Remy Sylado: Tidak Memilih Berdarah Minahasa, Melampaui Sekat Identitas Sosial

oleh -
Ibadah penghiburan di rumah alm Remy Sylado. (Foto: Stefi Rengkuan)

Oleh: Stefi Rengkuan*)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Bersama teman, saya sempatkan diri melayat di rumah duka almarhum Remi Silado pada malam, Senin, 12-12-22. “Pilihan” tanggal yang bagus untuk meninggal mengingat banyaknya angka 2 berbunyi “re”, dikonotasikan sebagai nada surgawi.

Apa artinya sebuah nama, apa artinya sebuah angka bilangan dan nada, tentu bermakna bagi yang dengan sadar memaknainya. Apalagi bagi seorang sastrawan besar berdarah Minahasa ini.

Sesampai di rumah semi permanen model adat Sumatera Selatan dengan pelbagai ukiran dan lukisan seni di bilangan perumahan PLN Cipinang, Jakarta Timur, ibadah penghiburan sedang berlangsung. Kotbah dibawakan Pendeta Iwan Tangka itu sudah mulai dekat akhir, namun saya masih bisa ikut menyanyi beberapa lagu bersama jemaat.

Doa syafaat yang indah oleh ibu Pendeta Tresye Mambo, Ketua Bidang Budaya Kerukuanan Keluarga Kawanua, juga memberi gambaran siapa almarhum, yang telah meninggalkan banyak karya beragam bagi peradaban yang menasional dan mendunia. Semuanya itu dimaknai sebagai mengungkapkan dan menegaskan apa yang diimaninya, dirayakan, dan berusaha dihidupinya sebagai pengikut yang percaya pada Yesus Kristus.

Dalam ibadah yang diselenggarakan DPP Kerukunan Keluarga Kawanua dan Kawanua Minahasa Selatan itu diakhiri dengan sambutan-sambutan dari para pengurusnya, dan nama saya disisipkan bahkan di awal sebagai pemberi sambutan penghiburan dari Kawanua Katolik kepada kaum keluarga di forum perkabungan tersebut.

Pada kesempatan itu saya berterus terang bahwa tidak tahu kalau almarhum itu ternyata anggota Gereja Katolik. Ya, memang baru tahu dari membaca jadwal ibadah di mana ada Misa Requiem dari lingkungan paroki juga pelepasan dengan upacara liturgi Katolik.

Saya mengungkapkan ketidaktahuan itu di forum itu, dan karena itu saya memang sengaja tak hendak membahas kekatolikan, melainkan lebih soal kekawanuaan almarhum, suatu status arkais terberi sebagai manusia Minahasa di rantau. Apalagi memang yang hadir kebanyakan orang Minahasa perantauan atau disebut Kawanua. Umat lingkungan paroki Rawamangun sudah banyak yang pulang setelah Misa Requiem.

Dan baru pertama kali saya ikut di upacara kedukaan orang Kawanua di mana tak ada lagi dua sambutan dari dua kepengurusan Kerukunan Keluarga Kawanua, karena keduanya oernah berpisah selama 10 tahun, dan akhirnya bersepakat berdamai dan bersatu dalam acara Musyawarah Tua-Tua, 26 Agustus 2022 lalu, yang juga menjadi hari deklarasi pendirian Kawanua Katolik se-Jabodetabek saat syukuran merayakan tahbisan Uskup Rolly Untu MSC, di lokasi Gereja Bunda Hati Kudus, Jakarta.

Bahwa almarhum yang bernama lengkap Yapi Panda Abdiel Tambayong tidak memilih dalam darahnya mengalir darah leluhur Minahasa. Sementara apapun agama, keyakinan, status sosial manusia itu boleh dia pilih namun dari keluarga mana dia dilahirkan tak bisa dia memilih.

Toh berbicara kekatolikan, sudah ada lingkungan, wilayah, paroki, dan keuskupan bahkan sampai ke gereja mondial dan pusat kepemimpinannya, Katolik Roma itu satu dan punya sejarah panjang sejak kekristenan awal di tanah Palestina, sejak tidak diperbolehkan lagi beribadat di synagoga agama Yahudi, bahkan sejak peristiwa Pentakosta, dimana para murid Yesus termasuk Bunda Maria mendapat pencurahan Roh Kudus.

Saya merenungkan kembali sambutan saya dan di dalamnya ada peristiwa mikro yang membuat saya sadar bahwa orang lain lebih banyak tahu tentang almarhum, secara khusus orang Kawanua non Katolik malah lebih mengenal beliau.

Ketika saya mengatakan, “… baru tahu dan saksikan sendiri sekarang bahwa pak Remy Sylado atau Yapi Panda Abdiel Tambayong ini adalah seorang warga umat (…)”, dan beberapa detik saya terhenti, kemudian langsung disambung: “… Katolik!” oleh MC yang notabene seorang dibaptis Kristen non Katolik bahkan seorang Pendeta Gembala tokoh Kawanua.

Ya, benar ada pengakuan bahwa beliau memang seorang Katolik. Entah sejak lahir atau sejak kapan convert to Catholic, sejak muda atau sejak menikah, entahlah.

Memang ada beberapa tulisan yang berusaha menampilkan secara langsung maupun tak langsung apa sebenarnya keyakinan agamanya itu, yang bagi pemerintah dan mungkin banyak orang Indonesia itu penting bahkan mutlak ada tertulis di kolom KTP, yang menjadi bermasalah bagi warga negara yang tidak masuk dalam 6 agama dan keyakinan yang diakui secara resmi.

Namun secara tersirat bisa dilacak dari karya-karya novel berlatar kisah sejarah bahkan kisah nyata leluhurnya sendiri. Misalnya dalam novel Gunung Tidar, dikisahkan seorang tentara KNIL asal Minahasa Protestan militan lalu bertemu seorang perempuan Jawa yang Katolik tulen. Si tole (pemuda) Minahasa perkasa itu jatuh cinta pada peragai dan paras menawan mbak ayu Jawa itu. Dan sang prajurit beralih menjadi Katolik lalu mereka saling menerimakan Sakramen pernikahan dalam upacara Katolik. Konon katanya berkisah tentang kakek nenek dari penulis novel itu sendiri, tak lain Remy Sylado.

Ada kisah lain mengatakan bahwa dia anak dari pasangan asal Minahasa yang menjadi misionaris gereja Baptis di Makasar dan kemudian migrasi ke Malang. Di sana Yapi kecil bersekolah pendidikan dasar dan menengah lalu terus belajar sastra dan seni, bahkan belajar di sekolah alkitab dan teologia Protestan. Lalu kemudian sejak beralih menjadi Katolik, dia mendalami teologi Katolik. Dan dia banyak mengisi bahan seminar di kalangan lembaga Protestan dan Katolik, dan lebih banyak bagi kalangan umum karena kemampuannya yang mengagumkan khususnya dalam bidang sastra dan seni budaya, sejarah dan ilmu sosial lainnya.

Stefanus Tokan, senior saya asal Flores dan besar di Maluku, menulis, “Singkatnya, beliau seorang multitalenta. Kalau sobat Stefi baru tahu dia Katolik, saya malah sering melihatnya menghadiri Misa di Ketedral Jakarta. Kadang, ketika usai Misa dia masih duduk dalam gereja ditemani istrinya (sebelum stroke sejak 2 tahun lalu), dengan kakinya yang agak bengkak yang membuatnya berjalan agak kentok (pincang). Sebelum stroke itu, masih sering dia memberi materi pada pertemuan bulanan Persatuan Wartawan Katolik Indonesia (PWKI).”

Lanjut si pengagum Catatan Pinggir Goenawan Moehamad itu, “Saya kira, Remy Silado adalah sosok budayawan yang komplit. Sedih beliau telah pergi. Sulit sekali temukan orang Indonesia yang “lengkap” seperti dia. Saya belum lihat ada sosok seperti dia di Indonesia ini.”

“Budayawan seperti dia sudah hidup melampaui batas-batas agama.

Turut berdukacita bersama Keluarga Kawanua. Semoga ada putra Sulut yang muncul lagi seperti dia. Remy lama tinggal di Makassar dan Malang, karena itu dia bisa ambil jarak dengan Sulut untuk melampaui Sulut dan Indonesia, termasuk soal agama.”

***

Demikian sedikit kisah dan coretan saya terutama dalam suasana duka mengenang sosok Remy Sylado ini dalam pentas peradaban dan kemanusiaan yang universal, melampai batas-batas primordialisme dalam segala turunannya yang membahayakan sistem nilai budaya luhur manusia.

Juga secara khusus tulisan ini sebagai respon terkait salah satu pokok survey demografi, yang diangkat senior Frits Pangemanan dalam diskusi WAG Alumni Pineleng, sebuah analisis tajam yang memberi sinyalemen dan indikator kuat bahwa pokok agama dan keyakinan ini masih sangat peka bahkan riskan untuk diungkap secara terbuka dan jelas, terutama terkait jumlah populasi anggota masing-masing agama tersebut, bilamana itu bisa memicu kecemburuan dan konflik sosial. Padahal agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku, bukan kata Gus dur. Duh begitu aja kok repot ya….

Sampai di sini saya pikir bagus menyelipkan tanggapan senior Frits H. Pangemanan, dalam WAG sebagai berikut.

“Kepolosan broer yang innocent atas kekatolikan Bung Remy, pada hematku, menukik sukma kaum ekumenis. Setidaknya dalam perspektifku, innocence broer menyiratkan aspek positif di hadapan kaum ekumenis bahwa broer yang mewakili Tou Kawanua Katolik  mengepak sayap melampaui sekat-sekat agama yang kerap berciri primordial palsu dengan nurani pseudo-diskriminatif di lubuk hati terdalam.

Broer mungkin tak mnyadarinya, tapi dari sergahan sang pendeta yang meneruskan kata “KATOLIK”  pada kerohanian Bung Remy ketika Broer tampak berpikir dua kali sebelum mnyebut identitas keagamaan Bung Remy itu, pada hematku sangat jelas, menyiratkan realita bawah-sadar batin kaum ekumenis bahwa Broer dalam paradigma Katolik mendahulukan respek humanitas yang tinggi atas tokoh berjasa Kawanua di hadapan broer,  ketimbang menampilkan kebanggaan sekat-sekat agama yang kerap mendistorsi cita-rasa  persaudaraan Kawanua.

Kepolosan broer dalam innocence itu membuat Roh Kudus menuntun pikiran spontan Broer pada pesan overarching penting bahwa humanity tak boleh tersekat dan terkurung dalam paham agama di ruang-ruang public.”

***

Selamat jalan menuju kehidupan kekal, Bung Remi Silado, bersatu selamanya dalam persekutuan para kudus surgawi. Salah satu nama aliasmu bernada, dan sekarang hendak kubilang 237671 untuk kami dendangkan jua.

Kemah kediamanmu di dunia ini sudah dibongkar oleh sang waktu pas pada tanggal bernada Doredo Dorere, 121222, pada hari Senin. Bisa jadi kau malah baku itong (bernegoaiasi) akhir dengan sang Khalik. Sampai akhirnya seperti dalam lagu liturgi sabda, engkau bermadah dalam lagu bernada indah syahdu:

“Di hening kidung SabdaMu,

terbentang damai tenang…

Di hening kasih CintaMu, imanku ingin pulang…”

Dan engkaupun telah mencapai puncak kesadaran pada saat perayaan Minggu Adven III ini. Gaudete in Domino semper: iterum dico gaudete. Modestia vestra nota sit omnibus hominibus: Dominus prope est.

– Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan!

Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!

Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat!#

*) Stefi Rengkuan, Ketua Kawanua Katolik, Anggota Dewan Penasihat Kerukunan Keluarga Kawanua, Presidium RPM Ikatan Sarjana Katolik Indonesia