Rencana Pembebasan Ba’asyir, Jokowi Harus Lakukan 3 Langkah Penting Lainnya

oleh -
Abu Bakar Baasyir. (Foto: BBC Indonesia)

Jakarta, JENDELANASIONAL.COM — Presiden Joko Widodo berencana untuk membebaskan Abu Bakar Ba’asyir (ABB) atas dasar kemanusiaan. Jika benar-benar ABB dibebaskan, maka ICJR menunggu langkah kemanusiaan lainnya dari Presiden Joko Widodo, yaitu terkait komutasi/pengubahan pemidanaan bagi 51 orang terpidana mati, amnesti untuk korban yang dikriminalisasi dan pertimbangkan permohonan grasi terpidana mati kasus narkotika dengan nilai kemanusiaan.

Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif ICJR, Anggara, di Jakarta, Senin (21/1/2019).

Berdasarkan pemberitaan sejumlah media, dijelaskan bahwa Presiden Joko Widodo akan memberikan pembebasan kepada ABB pada Kamis, 24 Januari 2019 dengan alasan kemanusiaan. Sebelumnya pada 16 Juni 2011 di PN Jakarta Selatan, ABB diputus 15 tahun penjara karena terbukti menggerakkan orang lain dalam penggunaan dana untuk melakukan tindak pidana terorisme.

Skema pembebasan yang diberikan Presiden tersebut dipertanyakan, karena menurut keterangan dari Kuasa Hukum ABB, pembebasan tersebut bukanlah pembebasan bersyarat dan juga bukan grasi. Padahal dengan skema pemasyarakatan berdasarkan PP No. 99 tahun 2012 jo Permenkuham No. 3 tahun 2018 dijelaskan untuk mengeluarkan warga binaan pemasyarakatan dapat keluar dari Lembaga Pemasyarakatan sebelum menjalani semua masa pidana adalah dengan Pembebasan Bersyarat, yang diketahui menyertakan syarat-syarat khusus untuk narapidana terorisme.

Namun, berdasarkan keterangan Kuasa Hukum ABB, kata Anggara, pembebasan ini bukan merupakan pembebasan bersyarat. Kuasa Hukum juga menjelaskan bahwa pembebasan ini juga bukan grasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, karena narapidana ABB tidak pernah mengajukan grasi ke Presiden.

Pembebasan dengan skema lainnya pun dipertanyakan, jika dengan mekanisme amnesti sesuai dengan UU 1945 jo UU No 11 tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, maka hal tersebut pun tidak dapat dilakukan, karena amnesti menghilangkan semua akibat hukum dari tindak pidana yang dilakukan, dan sebelumnya harus ada nasihat tertulis dari Mahkamah Agung atas permintaan Menteri Hukum dan HAM dan kemudian juga harus dengan pertimbangan DPR.

Menurut Kuasa Hukum ABB, pembebasan ini murni tanpa syarat dengan alasan kemanusiaan. Jika benar memang pembebasan murni ABB dilakukan oleh Presiden atas dasar kemanusiaan, maka ICJR menunggu langkah kemanusiaan lainnya dari Presiden Joko Widodo.

Pertama, kata Anggaran, komutasi/ pengubahan pemidanaan bagi 51 orang terpidana mati dengan masa tunggu diatas 10 tahun. Pemerintah Presiden Joko Widodo lewat Tim perumus RKUHP menghadirkan “Indonesian way” dalam Rancangan KUHP dengan mengatur bahwa pidana mati dijatuhkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.

Dengan mekanisme ini Pemerintah merekomendasi bahwa pidana mati dapat diubah lewat keputusan presiden jika selama 10 tahun terpidana mati menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji  atau ada alasan yang meringankan.

Pidana mati juga secara otomatis diubah oleh keputusan presiden jika 10 tahun sejak grasi ditolak tidak dilakukan eksekusi.

Berdasarkan data yang diolah ICJR dari Dirjen Pemasyarakatan, sampai dengan Oktober 2018, terdapat 219 orang dalam daftar tunggu pidana mati, dengan hitungan masa tunggu sampai dengan 1 Desember 2018: terdapat 51 orang dengan masa tunggu lebih dari 10 tahun tanpa kejelasan yang mempengaruhi kondisi psikologis. Bahkan 21 orang diantara telah masuk ke dalam daftar tunggu pidana mati lebih dari 15 tahun.

“Jika Presiden menghormati nilai kemanusiaan ini, maka presiden harus mengubah pidana mati ke-51 orang tersebut menjadi pidana seumur hidup ataupun pidana maksimal 20 tahun penjara, karena masukkan seseorang dalam daftar tunggu pidana mati terlalu lama dengan ketidakpastian merupakan bentuk penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dari negara,” ujar Anggara.

Kedua, memberikan amnesti kepada Baiq Nuril dan Meiliana, kasus kriminalisasi yang rentan memberangus kebebasan bereskpresi dan berpendapat serta perlindungan hak korban di Indonesia.

Lewat kewenangannya, Presiden juga dengan nilai kemanusiaan harus juga melakukan langkah kemanusiaan unutk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril, korban kekerasan seksual yang dikriminalisasi dengan UU ITE dan harus berada dibawah bayang-bayang pidana 6 bulan penjara.

Kasus Meliana juga harus diperhatikan oleh Presiden, lagi-lagi pasal tentang penodaan agama menyerang kelompok agama minoritas. Hal ini terjadi karena praktik penegakkan hukum yang diskriminatif dalam Pasal 156a KUHP.

“Presiden dengan nilai kemanusiaan yang dianutnya harus juga menginisiasi untuk dilakukan perubahan terhadap rumusan pasal karet tentang penodaan agama yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas agama,” ujarnya.

Ketiga, presiden harus secara seksama mempertimbangkan grasi. Khusus untuk terpidana mati kasus narkotika, Presiden Joko Widodo telah secara jelas menyatakan akan menolak seluruh permohonan grasi yang diajukan, tercatat pada 2016 dan 2017 Presiden menolak seluruh permohonan grasi untuk terpidana mati kasus narkotika, berdasarkan Putusan MK No. 56/PUU-XIII/2015, MK mengisyaratkan bahwa dalam hal mengeluarkan Keputusan Presiden mengenai grasi, Presiden terikat pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU Grasi.

Pasal ini telah sangat jelas memerintahkan bahwa pertimbangan yang diberikan oleh Presiden adalah pertimbangan yang layak, dengan melakukan pemeriksaan secara mendalam, tidak secara buta menolak permohonan kasus tertent secara umum.

Secara filosofis, grasi memang lebih bersifat kemanusiaan karena merupakan bentuk belas kasih atau pengampunan yang diberikan Kepala Negara kepada seorang terpidana.

“Sehingga pertimbangan pada faktor kemanusiaan yang sangat bersifat individual dan subjektif harus dilakukan, tidak dapat diletakkan dalam konsep pukul rata seperti pada terpidana khusus kasus narkotika yang diterapkan Presiden, dalam kasus terpidana mati perempuan kasus narkotika pun jelas, bahwa perempuan kerap menjadi korban perdagangan orang lewat penipuan dan penyalahgunaan relasi kuasa sindikat narkotika, harusnya Presiden memperhatikan aspek ini,” pungkasnya. (Ryman)