Revisi UU KPK, Pakar Hukum Sambut Baik Sikap Presiden Jokowi

oleh -
DR. Iur. Liona Nanang Supriatna, SH, MH
DR. Iur. Liona Nanang Supriatna, SH, MH

Bandung, JENDELANASIONAL.ID — Pakar hukum Universitas Katolik Parahyangan Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum. menyambut baik sikap Presiden Jokowi yang konsisten dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menolak 4 point krusial terhadap usulan DPR RI atas Perubahan Kedua atau revisi atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terutama menyangkut kewenangan yang dimiliki KPK.

Menurut Liona, yang juga Pengurus Pusat ISKA serta Alumnus Lemhannas RI ke-58 itu, hal tersebut menunjukkan keberpihakan Presiden Jokowi terhadap pemberantasan Korupsi. “Mengingat akibat kejahatan korupsi sangat meluas dan sistematis, menghambat pembangunan nasional, berpotensi meningkatkan kemiskinan masyarakat, menurunnya kesehatan dan keselamatan masyarakat, berkurangnya kesejahteraan umum, merusak sendi demokrasi, pengikisan budaya, dan terjadinya krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan Negara yang demikian dashyat akibatnya,” ujar Liona melalui siaran pers, di Jakarta, Jumat (13/9).

Seperti diketahui, terdapat empat point yang ditolak Presiden Jokowi dalam revisi UU KPK.

Pertama, Jokowi tidak setuju jika KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan. Kedua, tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja. Penyelidik dan penyidik KPK bisa berasal dari unsur ASN yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain.

Ketiga, tidak setuju KPK wajib koordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan. Keempat, tidak setuju perihal pengelolaan LHKPN dikeluarkan dari KPK dan diberikan kepada kementerian/lembaga lain.

Menurut Liona, dari segi praktek selama ini ada hal yang perlu menjadi perhatian khusus yakni pada point KPK memiliki kewenangan mengeluarkan SP3 dan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara.

Point pertama, kata Liona, yang rawan penyahlahgunaan kewenangan adalah KPK berhak menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). SP3 diterbitkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.

“Hal ini dikuatirkan dapat disalahgunakan oleh mereka yang memiliki kepentingan politik sebagai alat penekan dan rawan atas kejahatan baru dengan adanya transaksi illegal (jual beli SP3) yang semula jadi tersangka kemudian kasusnya di-SP3kan, sehingga merusak loyalitas dan kredibilitas KPK,” ujar Liona.

Point kedua, jika pegawai KPK berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), maka mereka harus tunduk pada Undang-Undang ASN. Pegawai KPK merupakan pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil Negara.

Maka dengan status demikian, kata Liona, dikuatirkan dapat saja suatu saat pegawai KPK yang sedang bertugas melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi yang menyangkut kepentingan pejabat, kemungkinan dapat dipindah tugaskan saat itu juga, dengan demikian independensi pegawai KPK sangat rawan.

Permasalahan selanjutnya, kata Liona, adalah pembentukan Dewan Pengawas dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Lembaga nonstruktural tersebut dalam menjalankan tugasnya ini bersifat mandiri.

“Namun pembentukan Dewan Pengawas ini dikuatirkan memiliki tugas yang kontraproduktif dengan tujuan pendirian KPK, yakni hanya untuk mengontrol KPK dan dikuatirkan justru bertentangan dengan prinsip check and balance, transparansi, dan akuntabilitas,” pungkas Liona. (Ryman)