Rizal Ramli: Aktivis Mahasiswa 77/78 Adalah Generasi Kritis dan Rajin Membaca

oleh -
Ekonom Senior, Rizal Ramli. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Ekonom senioar Rizal Ramli mengatakan, gerakan mahasiswa pada era 77/78 bukan sekadar melakukan kegiatan demonstrasi seperti dilakukan oleh para mahasiswa zaman sekarang. Para aktivis mahasiswa tahun 1977/1978 adalah generasi yang kritis.

Mereka adalah juga merupakan generasi pembaca. Karena itu, apa yang terjadi di belahan lain dari negara di dunia ini mereka cermati. Mereka bisa berdialog dengan berbagai pemikir besar dari negara lain tersebut berkat membaca buku, yang memang masih dilarang oleh pemerintahan Soeharto waktu itu.

“Dari membaca, kami mengetahui apa yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kami memperoleh kesempatan berdialog langsung dengan para pemikir besar dunia. Di zaman itu, buku-buku terbatas dan beberapa dilarang (oleh pemerintah) untuk dibaca,” ujar Rizal dalam cuitan di twitter @RamliRizal, Senin (19/10/2020) lalu.

Ia mengatakan, bersama rekan-rekan mahasiswa yang lain, mereka mencari buku di pasar loak. Sekali memperoleh buku yang bagus, buku tersebut dipinjamkan kepada teman-teman lain. Buku beredar dari satu mahasiswa ke mahasiswa lain agar semua bisa membaca.

“Buku itu lalu kami diskusikan. Agar tidak diikuti intel, diskusi kami adakan berpindah-pindah dari satu kos ke kosan yang lain,” terangnya.

Rizal memaparkan bahwa dalam Buku Putih, sebuah karya intelektual, para mahasiswa membuat tulisan terkait “Perjuangan Mahasiswa 1978”, yang berisi pemikiran mereka mengenai kondisi Indonesia saat itu (masa Soeharto). Mereka adalah Rizal Ramli, Irzadi Mirwan, Abdul Rachim, dan Joseph Manurung. Buku ini diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa ITB yang saat itu diketuai oleh Heri Akhmadi.

Buku ini kemudian diterjemahkan ke delapan bahasa, antara lain bahasa Belanda, Jepang, China.

Mantan Menko Perekonomian itu mengungkapkan bahwa Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 itu tak mungkin ada tanpa kegiatan-kegiatan intelektual mahasiswa di zaman itu. Mulai dari membaca, berdiskusi dan kemudian merumuskannya ke dalam tulisan. Menggunakan berbagai sumber dari surat kabar, majalah, buku, serta dokumen resmi pemerintah, seperti “Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua 74/75 – 78/79”.

Secara umum, katanya, Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 itu membandingkan kondisi nyata Indonesia di masa Orba,  dengan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan pemerintah.

Kajian ini dilakukan dari berbagai perspektif antara lain politik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum. Kajian itu dilengkapi dengan argumentasi mengapa kondisi Indonesia saat itu terpuruk. Kajian itu diperkuat dengan berbagai data sesuai indikator yang terdapat pada Pelita I dan II, serta Repelita III.

Data-data yang dilampirkan antara lain tentang pertanian, keuangan, transmigrasi, koperasi, perdagangan, pengembangan wilayah, pekerjaan umum serta tenaga listrik, dan perencanaan nasional.

Mantan Menko Kemaritiman itu mengatakan, buku ini menyimpulkan dua hal sebagai penyebab utama keterpurukan Indonesia, yaitu sikap otoriter Soeharto dan strategi pembangunan yang tidak tepat.

Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 diluncurkan pada 16 Januari 1978 di Gerbang Kampus ITB, Jalan Ganesha, Bandung. Ribuan mahasiswa mengikuti acara tersebut, termasuk Rektor ITB saat itu, Prof. Iskandar Alisjahbana.

Peluncuran buku itu diliput berbagai media nasional seperti Kompas dan Tempo. Akibatnya, beberapa media termasuk Kompas sempat dilarang terbit beberapa waktu oleh pemerintah.

Buku ini kemudian dibacakan di berbagai stasiun radio di Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, dan sebagainya. Selain itu, kopian buku ini menyebar di berbagai daerah, disebarkan oleh mahasiswa yang sedang pulang kampung.

Soeharto marah besar. Buku tersebut dilarang untuk beredar. Pimpinan-pimpinan mahasiswa ditangkap. Termasuk Rizal Ramli, Heri Akhmadi, Indro Tjahjono, Irzadi Mirwan (alm), Al Hilal, Ramles Manampang, Jusman SD, Joseph Manurung, Kemal Taruc, dan sebagainya. Penangkapan mahasiswa ini justru makin membangkitkan solidaritas dari mahasiswa Indonesia.

Kampus-kampus lain semakin masif ikut bergerak. Selain menuntut diturunkannya Presiden Soeharto, mereka juga menuntut agar para pimpinan mahasiswa dibebaskan.

Tokoh pergerakan itu mengatakan salah besar apabila menganggap pergerakan mahasiswa hanyalah bentuk protes yang tidak berdasar.

Mengenang Gerakan mahasiswa 1978 saat itu adalah mengenang para mahasiswa yang kritis berani melawan sistem otoriter pemerintahan Soeharto. (Ryman)