Rizal Ramli Berharap Agar Peringatan Hari Tani Tahun Depan Persoalan Konflik Agraria Bisa Turun

oleh -
Rizal Ramli dalam peringatan “Hari Tani Nasional”, di Villa Bukit Sentul, Bojong Koneng, Bogor, Jawa Barat, Jumat (24/9). (Foto: Dokumen Pribadi)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Tokoh Nasional Dr Rizal Ramli menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia agar mengakhiri seremoni Hari Buruh Nasional yang diperingati pada hari ini, Jumat (24/9). Dia berharap, agar kita memperbaiki cara peringatan Hari Buruh Nasional tersebut dengan progres yang terukur dan bertekad agar tahun depan persoalan pertanahan bisa terus menurun.

“Mari kita akhiri seremoni peringatan hari-hari bersejarah bangsa ini dengan ironinya sendiri-sendiri. Mari kita mulai dengan memperbaiki cara memperingati Hari Tani Nasional ini dengan progres yang terukur. Kita harus bertekad agar tahun depan persoalan pertanahan, konflik-konflik agraria secara nasional harus turun,” ujar Aktivis Pergerakan itu dalam pidato memperingati “Hari Tani Nasional”, di Villa Bukit Sentul, Bojong Koneng, Bogor, Jawa Barat, Jumat (24/9).

Dia mengatakan bahwa produk politik yang dilahirkan pemerintahan Presiden Soekarno (Bung Karno), terutama Undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sesungguhnya sudah sangat merdeka.

Sebab inilah undang-undang yang benar-benar berpihak kepada rakyat. Inilah undang-undang yang secara revolusioner mengubah 180 derajat peraturan kepemilikan tanah dari versi penjajah Belanda yang memberikan keleluasaan kepada penjajah memiliki dan menguasai tanah sesuka-suka mereka.

“Pada intinya, UUPA yang lazim disebut UU Reforma Agraria ini filosofinya ‘mengembalikan tanah kepada pemilik aslinya, kepada rakyat Indonesia!’,” ujarnya.

Mantan Menko Perekonomian itu mengatakan, karena pada dasarnya mayoritas rakyat Indonesia merupakan petani, maka tidak salah jika tiga tahun kemudian Presiden Sukarno menetapkan tanggal disahkannya UUPA 24 September (1960) sebagai hari dikembalikannya hak (ekonomi) atas tanah kepada petani, yang kita kenal sebagai Hari Tani Nasional.

“Kita berkumpul di sini hari ini, untuk memperingati Hari Tani Nasional. Hari Tani Nasional yang ke-58 kalau dihitung sejak ditetapkan oleh Presiden Sukarno,” lanjut ekonom senior itu.

Akan tetapi ironisnya, kata Bang RR – sapaannya Rizal Ramli – sebagaimana saat ketika kita memperingati Hari Tani Nasional pada tahun-tahun sebelumnya, alih-alih tanah sudah kembali menjadi milik petani, justru angka konflik tanah yang terus membengkak, jumlah konflik agraria yang kian sulit menemukan titik penyelesaiannya.

“Padahal pada 1960 itu, para pendiri bangsa segera membuat  UUPA begitu situasi politik relatif stabil, karena pasca gejolak politik yang tiada henti hingga muncul Dekrit 5 Juli 1959, pemerintahan waktu itu ingin agar rakyat, khususnya petani, benar-benar merasakan hidup di negeri yang merdeka. Karena pemerintah tidak ingin ada konflik soal tanah muncul ke permukaan,” kata Rizal Ramli.

Para pendiri bangsa, katanya, sangat paham bila muncul konflik soal tanah akan menimbulkan keguncangan politik yang sulit diprediksi dan sulit dikendalikan.

Mantan Kepala Bulog itu mengatakan, para pendiri bangsa sangat paham, perang besar berkepanjangan yang merugikan pemerintahan penjajahan Belanda terjadi gara-gara, atau dipicu oleh konflik soal tanah. Itulah Perang Diponegoro di Jawa (1825-1630) dan Perang Padri di Sumatera Barat (1803–1838).

 

Ujung dari Persoalan Tanah adalah Persoalan HAM

Anggota pendiri Econit Advisory Group ini mengatakan, dirinya sangat memahami hal tersebut karena terus mengikuti persoalan soal tanah. Bahwa yang paling banyak terdampak persoalan tanah adalah para petani dan kaum buruh. Ada yang semula petani, lalu sawahnya digusur, kemudian menjadi buruh, dan kesulitan memperoleh perumahan, bahkan yang paling sederhana sekalipun.

“Itulah sebabnya, ujung dari persoalan tanah kemudian menjadi persoalan Hak Asasi Manusia, menjadi pelanggaran HAM,” ujarnya.

Pendapat tersebut dikonfirmasi oleh Kantor Komisi Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia/Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) yang menyatakan bahwa akses untuk menggunakan dan mengendalikan tanah berdampak secara langsung pada pemenuhan hak asasi manusia.

Sengketa tanah, katanya, juga sering menjadi penyebab terjadinya konflik sosial, benturan horisontal, dan kekerasan terhadap rakyat yang berujung pelanggaran HAM. Karena itu, apa yang menjadi kekhawatiran Kantor Komisi Tinggi PBB untuk HAM terjadi di Indonesia.

Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada 2019 terjadi 279 Konflik Agraria, melibatkan tanah seluas 734.239 hektar dan berdampak pada 109.042 Kepala Keluarga.

Kemudian pada 2020 KPA mengungkapkan ada total 241 kasus Konflik Agraria. Terjadi di 359 daerah di Indonesia dengan korban terdampaknya 135.332 Kepala Keluarga (KK). Tertinggi terjadi pada sektor perkebunan (122 kasus).

Bahkan, selama 5 tahun terakhir telah terjadi 2.047 konflik agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pertanian, infrastruktur dan properti. Komnas HAM juga punya catatan tersendiri mengenai Konflik Agraria yang diadukan ke lembaga ini dan tak pernah menemukan penyelesaiannya.

Rizal kemudian mempertanyakan mengapa konflik agraria nyaris tak ada yang bisa diselesaikan secara proprosional, kecuali memberikan keuntungan kepada para pemilik modal.

Menurutnya, hal itu terjadi karena para pejabat kita, terutama yang terkait dengan soal tanah, yang memiliki otoritas di sektor tanah, mentalnya masih mental pejabat zaman penjajah. Jadi tidak kompatibel dengan UUPA produk zaman kemerdekaan.

“Kita harus bergerak maju. Kita harus memiliki perhitungan ke depan yang positif. Harus memiliki kemajuan untuk memperbaiki berbagai indikator kesejahteraan rakyat, memperbaiki catatan-catatan buruk bangsa ini di berbagai sektor,” seru Rizal Ramli. ***