Romo Koko Tawarkan Dua Jenis Solidaritas yang Perlu Dibangun ISKA

oleh -
Perayaan ekaristi memperingati Dies Natalis ISKA ke -63 yang dipimpin oleh konselebran utama yaitu Romo Paulus Christian Siswantoko, PR, didampingi oleh Romo Gandi Hartono, SJ, dan Romo Guido Chrisna Hidayat, SJ. (Foto: JN)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) menggelar puncak acara Dies Natalis di Jakarta, Sabtu (29/5).

Acara yang mengambil tema “Solidaritas di Tengah Pandemi” ini diawali dengan perayaan ekaristi yang dipimpin oleh konselebran utama yaitu Romo Paulus Christian Siswantoko, PR, didampingi oleh Romo Gandi Hartono, SJ, dan Romo Guido Chrisna Hidayat, SJ.

Dalam khotbahnya Romo Koko –panggilan Romo Siswantoko – mengatakan bahwa kita sudah setahun lebih hidup dalam suasana Pandemi Covid-19. Dalam kurun waktu ini, kita semua telah melakukan berbagai aksi solidaritas yang bisa meringankan dan membantu saudara dan sahabat kita yang benar-benar terdampak Covid-19.

Kita juga sadar dan mengakui bahwa belakangan ini masyarakat dan kita sudah lelah dan capek, karena sudah mengalami titik jenuh dan kebosanan karena tak tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Kita sudah bekerja dari rumah (WFH) dan tidak boleh ke mana-mana dalam jangka waktu yang cukup lama.

Hal ini, katanya, menimbulkan suasana hidup yang sungguh-sungguh tidak nyaman.

“Karena itu, melalui tema ‘Solodaritas di Tengah Pandemi’ ini, kita ingin kembali menghidupkan, mengobarkan dan membakar semangat berbagi, semangat melayani dan semangat memberi yang mungkin juga akhir-akhir ini sudah mulai surut, dibandingkan tahun lalu di awal pandemi,” ujar Sekretaris Komisi Kerasulan Awam KWI ini.

Karena itu, kata Romo Koko, tema ini perlu dihidupkan, dikembangkan dan dikobarkan lagi di tengah situasi kelesuan sosial yang hampir merata di mana-mana.

Pertanyaannya, solidaritas macam manakah yang perlu dibangun ISKA. Untuk menjawabnya, Romo Koko menawarkan dua macam solidaritas yang perlu dibangun oleh inteletual katolik tersebut.

Pertama, katanya, yaitu solidaritas dalam narasi.

Romo Koko berkeyakinan bahwa para cendekiawan Katolik sangat pandai dan mampu dalam berliterasi dan bernarasi.

Menurutnya, narasi yang perlu dibangun saat ini adalah narasi yang baik, benar dan sehat untuk mengimbangi narasir-narasi yang menyesatkan, narasi-narasi yang penuh dengan kebencian, narasi-narasi yang menjebakkan, membungungkan masyarakat dan membodohi masyarakat.

Akibat kuatnya narasi tersebut, kata Romo Koko, masih banyak orang yang mempertanyakan kebenaran Virus Corona terebut. Di balik itu, ada juga yang mengatakan bahwa korban Covid  itu bisa sembuh dengan sendirinya. Selain itu, masih ada lagi narasi-narasi lainnya yang bisa membodohi masyarakat.

“Nah, di sinilah solidaritas para cendekiawan Katolik harus muncul untuk membuat narasi-narasi tandingan yang sehat bagi masyarakat,” ujarnya.

Romo Koko mengatakan, di tengah pandemi ini muncul juga penguatan eksklusivisme hidup, yakni eksklusivisme agama, suku dan golongan.

“Sebagai cendekiawan Katolik, kita dituntut untuk bisa merajut kembali kebersamaan di antara kita sebagai anak-anak bangsa yang beraneka ragam ini,” katanya.

Dia mengatakan bahwa pandemi ini tidak mungkin hanya dihadapi oleh satu golongan agama atau satu ormas, tapi pandemi harus dihadapi bersama oleh semua agama dan ormas dengan bergandengan tangan membangun kekuatan bersama. Di situlah baru bisa dikatakan bahwa kita semua sedang berperang melawan pandemi.

Romo Koko mengatakan bahwa tatkala keanekaragaman tersebut disalahgunakan sebagai alat pemecah-belah, maka hal itu mengharuskan kita untuk bersatu.

“Ketika kita bisa mengembangkan narasi-narasi seperti ini, rasanya kita juga ikut mengedukasi dan mencerdaskan  masyarakat. Dengan demikian, ketika kehidupan sosial ini cerdas, masyarakat pasti cerdas pula dalam menghadapi berbagai persoalan hidup, tatkala ada berita-berita yang menyesatkan mereka. Itulah yang disebut solidaritas dalam bernarasi,” ujarnya.

Romo Koko mengatakan, sebagaimana Yesus sangat kritis menjawab pertanyaan imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat dan tua-tua, maka demikian pula kita sebagai cendekiawan Katolik, harus kritis dan pandai dalam menghadapi jebakan narasi-narasi yang tidak nyaman.

Kedua, solidaritas beraksi.

Romo Koko mengatakan bahwa teman-teman ISKA selama ini pasti sudah melakukan berbagai macam aksi. Namun, katanya, hal itu perlu dilanjutkan karena belakangan ini para korban Covid masih terus bertambah. “Oleh karena itu, semangat aksi harus terus dikobarkan,” ujarnya.

Hal itu misalnya dilakukan dengan ikut membantu tempat isolasi, membantu sembako dan obat-obatan, mengadakan pelatihan-pelatihan seperti “urban farming dan home industry”.

Aksi-aksi ini tersebut terus dilakukan untuk mengalahkan Pandemi Covid-19. Semuanya ini merupakan contoh solidaritas yang perlu kita jalani bersama.

Di Indonesia, katanya, ada banyak orang pintar. Tapi bangsa ini membutuhkan orang pintar yang bijaksana dan berhati nurani untuk membela masyarakat.

Selain itu, bangsa kita ini membutuhkan orang cerdas yang  keluar dari dirinya untuk bekerja keras mewartakan kabar gembira.

Menutup khotbahnya, Romo Koko mengatakan bahwa dirinya teringat akan perkataan Paus Fransiskus dalam Dokumen Evangelium nomor 49 berbunyi:  “Saya menghedaki Gereja yang memar, Gereja yang kotor dan Gereja yang terluka, karena kita harus pergi ke jalan-jalan untuk menemui kebodohan, untuk menemui kemiskinan, dan untuk menemui penderitaan dari sesama kita. Hal inilah yang harus kita jalankan dalam suasana Pandemi Covid-19 ini,” pungkasnya.

Misa tersebut disiarkan secara langsung melalui zoom dari Kapela Santa Ursula, Jakarta Pusat, dengan koor berasal dari Santo Leo Agung Paroki Jatibening, Bekasi. Misa dihadiri oleh Dewan Kehormatan ISKA, Dewan Pakar, Dewan Penasihat, DPP, DPD, DPC maupun anggota ISKA dari seluruh daerah, serta tamu undangan. (Ryman)