Romo Magnis Ajak Peserta Sinode Tenang dan Gembira Melihat Masa Depan

oleh -
Romo Franz Magnis Susesno dalam acara Sinode Keuskupan Bogor. (Foto: Keuskupanbogor.org)

Caringin, JENDELANASIONAL.ID: Rangkaian acara Sinode II Keuskupan Bogor pada sesi 2 yang diadakan pada Kamis (05/12/2019) Pkl. 20.00-22.00, mengusung tema “Tanda-Tanda Zaman”. Tampil sebagai pemberi materi yaitu Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ, dan RD Jeremias Uskono didaulat sebagai Moderator.

Seperti dilaporkan Stephanie Annette Siagian dari Keuskupanbogor.org, mengawali pemaparannya, Romo Magnis, demikian beliau biasa disapa, menjelaskan mengenai berbagai tantangan yang dihadapi oleh Gereja Katolik. Dengan lebih dari 1,3 milyar anggota Gereja Katolik sedikit lebih besar daripada komunitas Islam Sunni. Gereja Katolik tumbuh di Afrika dan Asia, stagnasi di Amerika Latin dan krisis di dunia Barat.

Menurut Romo Magnis, krisis di Barat berkaitan dengan sekularisasi. Sekularisasi itu berarti bahwa kekatolikan menguap. Adapun tantangan di negara-negara Barat yang sekuler yaitu umat tidak lagi tertarik untuk pergi ke gereja karena harus membayar pajak gereja untuk membayar gaji bagi para Uskup dan imam.

Selain itu tantangan lain yang dihadapi adalah orang muda tidak lagi tertarik dalam panggilan untuk menjadi imam dan biarawati.

Romo Magnis mengatakan bahwa Paus Fransiskus adalah orang yang dengan semangat dan optimisme menunjuk arah Gereja Katolik harus mengembangkan diri.

Bisa dikatakan bahwa makin gereja memiliki arah, maka gereja makin mempunyai masa depan dan tetap menjadi unsur penyelamat dan penyembuh dunia.

Romo Magnis menjelaskan bahwa Paus Fransiskus memiliki pandangan mengenai Gereja yaitu:

  1. Gereja saksi kerahiman
    Allah adalah cinta. Maka Gereja harus mewujudkan kerahiman, yaitu kasih, kebaikan, belaskasihan, penolakan terhadap segenap kebencian dan kekerasan serta rendah hati. Gereja harus dapat mewujudkan kerahiman yaitu kasih, kebaikan dan belaskasihan di masyarakat. Gereja harus menerima dan merangkul para pendosa sehingga mereka benar-benar merasa diterima di Gereja.
  2. Gereja orang miskin.
    Apa yang sudah ditegaskan oleh teologi pembebasan harus menjadi kenyataan di seluruh Gereja. Gereha bukan hanya terbuka bagi orang miskin melainkan berada di sisi orang miskin. Dalam gereja, orang miskin bisa menemukan rumah dan dukungan mereka. Gereja harus dapat membuat orang-orang miskin tidak merasa malu untuk datang ke gereja meski mereka datang dengan pakaian yang seadanya. Gereja tidak boleh hanya berpihak pada orang-orang kaya namun tidak berarti bahwa orang kaya harus ditolak.
  3. Gereja bertanggungjawab atas bumi, rumah kita bersama
    Dalam Ensiklik Laudato Si menegaskan bahwa panggilan Gereja di dunia termasuk melawan perusakan bumi dan memelihara lingkungan hidup. Dunia dititipkan oleh Sang Pencipta kepada kita dan bertanggungjawab atasnya.
  4. Gereja rumah sakit di medan pertempuran
    Gereja seperti field hospital meski terlihat bopeng dan amat dibutuhkan karena justru tanda bahwa didalamnya kehadiran Allah sendiri, melalui RohNya, bisa dirasakan.

Menutup paparannya, Romo Magnis mengatakan berkaitan dengan Sinode II Keuskupan Bogor, keuskupan memastikan bersama dalam suasana doa dengan kepastian bahwa Roh Kudus hadir dalam Sinode itu dengan tenang dan gembira dapat melihat ke masa depan.

Jelas, berbagai krisis dan tantangan yang muncul di berbagai tempat, Gereja Katolik perlu diwaspadai, diantisipasi dan ditindak sehingga tidak sampai terjadi. Tetapi itu bukan alasan untuk menjadi pesimistis.

Gereja Katolik di Indonesia khususnya di Keuskupan Bogor tetap menjadi saksi keselamatan Ilahi yang ditawarkan kepada segenap manusia.

Usai pemaparan, Romo Jemmy selaku Moderator membuka kesempatan dengan 3 pertanyaan dari umat.

Pada akhir diskusi, Romo Jemmy mengharapkan, umat di Keuskupan Bogor akan semakin menjadi saksi Kristus dalam masyarakat di sekitarnya, dengan membuka diri pada perkembangan-perkembangan yang dihembuskan oleh Roh Kudus. (Keuskupanbogor.org/Ryman)