Saiful Mujani: Politik Identitas Muncul Karena Lemahnya Party ID

oleh -
Guru Besar Ilmu Politik, Saiful Mujani. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Lemahnya party ID atau kedekatan publik dengan partai menjadi penyebab munculnya polarisasi sosial dan politik identitas.

Demikian dikatakan ilmuwan politik, Prof. Saiful Mujani, dalam program ’Bedah Politik bersama Saiful Mujani’ bertajuk ”Identitas Partai Lemah Jadi Sumber Politik Identitas?” melalui kanal YouTube SMRC TV pada Kamis, 1 Desember 2022.

Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/2zpxp5J3TgI

Saiful menjelaskan bahwa salah satu unsur yang sering dibicarakan dalam diskusi tentang partai politik adalah bahwa parpol bisa berperan sebagai jembatan yang memperantarai pelbagai kelompok atau identitas yang sangat beragam di masyarakat.

Orang bisa beridentitas daerah seperti Papua dan Aceh, beridentitas agama seperti Islam atau Kristen, dan identitas lain yang sangat beragam. Partai politik, katanya, yang bisa menjembatani perbedaan tersebut. Karena identitas tidak mungkin hilang, maka yang bisa dilakukan adalah menjembatani, misalnya antara orang Aceh dan orang Papua, orang Kristen dan orang Islam, dan seterusnya.

“Islamnya tetap, Kristennya tetap, tapi butuh jembatan. Partai politik bisa berperan menjembatani antar identitas yang berbeda tersebut,” jelas pendiri Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tersebut seperti dikutip dari siaran pers di Jakarta, Kamis (1/12).

Karena itu, lanjut Saiful, semakin kuat pembangunan sistem politik kepartaian, maka keragaman yang potensial membuat polarisasi atas dasar identitas sosial bisa ditekan atau bisa dikurangi.

Bagaimana dengan Indonesia, apakah masyarakat memiliki ikatan yang kuat dengan partai politik? Apakah masyarakat itu sudah mengalami transformasi dari identitas sosial ke identitas politik atau belum?

Hal ini, katanya, bisa diukur dengan seberapa kuat identifikasi diri masyarakat dengan partai politik. Di Amerika Serikat, kata Saiful, pollster biasa bertanya tentang apakah seseorang itu orang Demokrat, Republik, atau Independen. Ini adalah pertanyaan standar untuk melihat sejauh mana transformasi identitas sosial ke identitas politik sudah terjadi.

Dalam survei SMRC (November 2022) terdapat data tentang party ID. Party ID adalah identitas partai, seberapa besar orang mengaku dirinya sebagai bagian dari atau merasa dekat dengan partai politik tertentu.

Ketika ditanya apakah ada partai politik yang anda merasa dekat? Ada 20 persen yang menjawab “ya.” Yang menyatakan “tidak” sebesar 73 persen.

 

Prosentasi Identifikasi Diri dengan Parpol Sangat Rendah

Saiful melihat angka identifikasi diri dengan partai politik di Indonesia sangat rendah.

Dia mencontohkan bahwa di Amerika Serikat, yang mengaku dirinya sebagai orang partai, entah Demokrat atau Republik, adalah mayoritas. Sedangkan yang mengaku tidak dekat atau bukan bagian dari partai politik justru minoritas.

“Ini menunjukkan bahwa di Amerika, transformasi dari identitas sosial ke identitas politik sudah terjadi,” ujarnya.

Obama, misalnya, tidak lagi dilihat sebagai warga kulit hitam, melainkan sebagai orang Demokrat. Demikian pula Joe Biden, tidak lagi dilihat sebagai seorang Katolik yang minoritas, melainkan sebagai seorang Demokrat. Walaupun Joe Biden adalah seorang Katolik yang taat, tapi dia berada di dalam partai yang memiliki platform yang berbeda dengan tuntutan identitas sosialnya. Tanpa kehilangan identitas dia sebagai orang Katolik, dia memiliki wawasan baru tentang platform yang bisa menjembatani keragaman.

Saiful melihat hal tersebut belum terjadi di Indonesia. Analisis sosiologis lebih dominan dari analisis psikologis identitas partai. Di Indonesia, yang ditanya bukan partainya apa, tapi dia dari daerah mana, etnis apa, agama apa, pribumi atau non-pribumi, dan seterusnya.

“Di Indonesia, identitas partai masih sangat lemah,” kata Saiful.

Saiful menyimpulkan bahwa di Indonesia, belum ada transformasi atau perubahan dari identitas sosial ke identitas politik. Ini yang membuat, kata Saiful, polarisasi berdasarkan identitas sosial di Indonesia menjadi kuat. Pemilu, pada akhirnya, banyak diwarnai oleh identitas sosial, bukan identitas politik.

Implikasinya adalah bahwa sistem kepartaian menjadi sangat cair. Saiful mencontohkan partai Golkar yang pernah menjadi pemenang Pemilu 2004, namun sekarang di urutan ketiga berdasarkan popular vote. Demikian pula dengan Demokrat yang pernah menjadi partai nomor satu di 2009, sekarang menjadi partai nomor 7. Perubahan ini terjadi, menurut dia, karena tidak ada pengikatnya, yakni party ID. Karena itu ikatan dengan partai sangat cair.

“Masyarakat umumnya terikat dengan identitas sosial, bukan identitas politik yang bisa menjembatani keragaman yang ada di dalam masyarakat,” jelas Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu.

Saiful melanjutkan bahwa dari 20 persen orang yang menyatakan ada kedekatan dengan partai, hanya sebesar 67 persen yang mengaku sangat atau cukup dekat. Ada 30 persen yang menyatakan kedekatannya sedikit saja. Artinya hanya sekitar 13 persen warga yang memiliki perasaan dekat dengan partai politik tertentu.

Saiful menyebut hal ini sebagai penyebab mengapa sistem kepartaian di Indonesia tidak stabil. Ini juga yang menyebabkan mengapa polarisasi sosial lebih kuat ketimbang polarisasi politik.

Saiful melanjutkan bahwa dengan kenyataan ini, belum bisa dibayangkan di Indonesia seorang minoritas bisa menjadi presiden. Tidak ada wadah politik yang bisa menampungnya. Tidak seperti di Amerika, Obama yang berkulit hitam atau African American, yang minoritas bisa menjadi seorang presiden. Demikian pula dengan Joe Biden atau JF Kennedy yang Katolik dan minoritas, tapi bisa menjadi presiden di Amerika Serikat.

Itu terjadi karena ada institusi yang menjembatani keragaman identitas sosial, yakni identitas partai yang lebih luas cakupannya.

Pandangan ini berdasarkan survei SMRC yang dilakukan secara tatap muka pada 5-13 November 2022. Populasi survei tersebut adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih secara random (stratified multistage random sampling) 1220 responden.  Response rate sebesar 1012 atau 83%. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,1% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). ***