SBY dan Jokowi Sudah Laksanakan Komunikasi Politik Presiden Secara Baik

oleh -
Presiden Joko Widodo dan Presiden Keenam, Susilo Bambang Yudhoyono. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Politik di Indonesia sepenuhnya menggunakan sistem presidensial menyusul amandemen kedua terhadap UUD 1945. Dalam sistem presidensial tersebut, komunikasi antara presiden dengan para aktor utama penyelenggara negara dilakukan untuk memelihara stabilitas pemerintahan.

Hal tersebut mengemuka dalam topik pembahasan terkait komparasi gaya berkomunikasi Presiden Joko Widodo dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (periode 2014-2019) dalam Sidang Promosi Doktor Ilmu Pemerintahan, Program Pascasarjana Institut Pemerintahan Dalam Negeri, dengan Promovendus  S. Aminuddin, di Kampus IPDN Jakarta, Selasa (24/5/22).

Sidang terbuka Promosi Doktor di IPDN ini dipromotori oleh Prof Dr Djohermansyah Djohan, MA dengan co-promor Prof Dr Erliana Hasan, M.Si dan Dr Irwan Tahir, serta dihadiri Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri Dr Hadi Prabowo dan Direktur Program Pascasarjana IPDN Prof Dr H Wirman Syafri, M.Si.

Dalam kesempatan itu, Aminuddin yang juga pendiri geran PA 212 memaparkan bahwa penelitian yang dilakukannya bertujuan mengkomparasi atau membandingkan gaya komunikasi presidensial antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (periode tahun 2009-2014 dan Presiden Joko Widodo (periode tahun 2014-2019).

Untuk mengetahui detail keunikan gaya komunikasi Presiden SBY dan Presiden Jokowi, metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus komparatif dengan pendekatan kualitatif.

Menurut Aminuddin, penelitiannya juga menggunakan analisis isi (content analysis) untuk membandingkan gaya komunikasi retorika SBY dan Jokowi.

Dalam disertasi berjudul “Komparasi Gaya Komunikasi Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo Dalam Mewujudkan Stabilitas Pemerintahan” ditemukan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo telah melaksanakan komunikasi politik presiden (komunikasi presidensil) secara baik. Komunikasi tersebut dilakukan para aktor utama sistem presidensial, khususnya dengan DPR, DPD, MK, MA, KPU, TNI dan Polri serta Publik yang diwakili Pers.

“Dari keberhasilan mengelola komunikasi politik presiden (komunikasi presidensial), baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo, telah berhasil memelihara stabilitas pemerintahan dimana keduanya tidak pernah mengalami gridlock, policy deadlock dan apalagi sampai menjatuhkan jabatan presiden,” kata Aminuddin.

Dalam pandangan Aminuddin, keberhasilan SBY dan Jokowi dalam berkomunikasi presidensial, juga berpengaruh pada penyelenggaraan negara yang berjalan lancar. Untuk itu, Presiden SBY lebih bertumpu membangun komunikasi yang kuat pada internal pemerintahannya.

Sedangkan Presiden Jokowi cenderung membangun stabilitas politik melalui komunikasi hubungan eksekutif dan legislatif.  “Dalam melaksanakan komunikasi retorika, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memadukan retorika deliberatif dan retorika forensik. Sedangkan retorika Presiden Joko Widodo (2014-2019) lebih dominan deliberatif,” kata Aminuddin.

Karena itu, menurut Aminuddin, dapat disimpulkan bahwa komunikasi presidensial itu sangat diperlukan. Terutama untuk memperkuat penyelenggaraan negara dan mempertahankan stabilitas negara sebagaimana dilakukan Presiden SBY dan Presiden Jokowi.

Dalam sidang terbuka itu, Aminuddin mengemukakan, bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya, ada tiga saran yang dikedepankan.

Pertama, komunikasi presidensial hendaknya dilakukan sesuai prinsip-prisip negara hukum (rule of law) penyelenggaraan negara tipe rezim presidensial yang mengenal mekanisme check and balanced.

Kedua, komunikasi politik presiden menurut UUD 1945 harus mematuhi ketentuan yuridis tentang Mahkamah Konstitusi guna menyelesaikan sengketa hasil hasil pemilu, pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan konflik kewenangan organ-organ negara menurut Prinsip Negara Hukum serta pengadilan tata negara terhadap presiden.

“Ketiga, komunikasi politik presiden kedepan hendaknya tidak lagi mempersoalkan landasan filosofis negeri, melainkan menyusun aspek legislasi yang kuat dan terintegrasi dalam mencapai tujuan negara secara obyektif. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan aspirasi yang berkembang, baik melalui lembaga formal dan media alternatif,” katanya. ***