Scala Santa di Roma: Tangga Suci dan Tetes-Tetes Darah Yesus

oleh -
Scala Santa di Vatikan, Roma. Menurut tradisi, Yesus memulai jalan salibNya di atas tangga-tangga ini. (Foto: Pater Markus Solo, SVD.)

Roma, JENDELANASIONAL.ID — Di tengah kota Roma terdapat sebuah peninggalan penting dari Kekristenan masa awal. Bukan makam Santo Petrus, tetapi “Scala Santa” – Tangga Suci.

Menurut tradisi, Yesus memulai jalan salibNya di atas tangga-tangga ini. Saat ini situs sakral ini memiliki arti dan nuansa lebih dari biasanya karena lapisan kayu pada tangga-tangga marmor selama 300-an tahun itu dibuka untuk pertama kalinya.

Menurut laporan Pastor Markus Solo SVD, dari Roma, Vatikan, tangga Suci ini memiliki 28 anak tangga menuju ke kapel “Sancta Sanctorum”, tempat suci dari orang-orang kudus, yang sejak abad Pertengahan berbatasan langsung dengan Basilika Santo Yohanes Lateran, yang sekaligus merupakan sebuah Basilika Kepausan, istana tinggal dan kapel para Paus. Sejak 1929, istana Kepausan berpindah tempat dari Lateran ke Vatikan oleh karena traktak Lateran yang menganugerahkan independensi Vatikan.

“Oleh karena kesucian Tangga-tangga ini, maka para peziarah tidak berjalan kaki seperti berjalan di atas tangga-tangga biasa, melainkan harus berjalan dengan lutut, sambil berdoa dan merenung. Panjang tangga itu 28 meter, semuanya dari batu marmor atau pualam,” ujarnya melalui siaran pers dari Vatikan, Roma, Sabtu (20/4).

Pater Markus mengatakan, tradisi kerohanian yang khas ini tentu tidak ada hubungannya dengan kapel atau Paus tertentu, tetapi dengan Tangga itu sendiri. “Scala Santa” berasal dari Yerusalem, dan menurut sejarah, Yesus memulai kisah sengsaraNya di tangga-tangga ini yang dulu berada di dalam istana Pontius Pilatus, Gubernur Romawi di Yerusalem masa itu.

Dari kisah Injil kita tahu bahwa Yesus melewati tangga-tangga ini ketika digiring masuk dari Taman Zaitun kepada Pilatus di istananya, dan tangga-tangga ini pulalah yang menjadi saksi bisu terhadap perjalanan Yesus dari pengadilan, mengenakan mahkota duri, memanggul SalibNya dan meneteskan darah di atas batu-batu marmor ini.

Sejak abad ke-4, katanya, Tangga Suci ini berada di Roma, Kota Abadi. Permaisuri Helena, ibu dari Konstantinus Agung, Kaisar Romawi kuno pertama yang memeluk Kekristenan itu, konon melakukan perjalanan ke Yerusalem pada tahun 325 untuk mencari relik-relik atau barang-barang peninggalan yang berasal dari Yesus semasa hidupNya. Di dalam pencariannya itu, dia menemukan setumpuk sisa-sisa dari istana Pilatus yang dimasukan ke dalam sebuah kuil kafir, termasuk Tangga-tangga marmor ini. Helena lalu memerintahkan untuk dibawa ke Roma.

“Pualam-pualam itu kelihatan sangat mengkilat oleh karena sudah banyak terpakai oleh gesekan miliaran lutut. Untuk menghindari kerusakan, pada abad ke-18  para Paus berupaya untuk melestarikannya dengan menyuruh menyelubungkan pualam-pualam itu dengan lapisan kayu,” ujarnya.

Sejak tahun 2012, Vatikan memulai karya restaurasi  di Scala Santa, dan memutuskan untuk melepaskan semua lempengan kayu pembungkus untuk satu jangka waktu yang tak ditentukan. Kemugkinan besar, setelah pesta Pentekosta, lempengan-lempengan kayu kembali dipasang lagi.

Selama masa Puasa, ziarah berlutut sambil berjalan melintasi 28 anak Tangga Suci adalah sebuah kegiatan favorit para peziarah Kristiani manca negara.

Pastor asal Pulau Lembata, NTT ini mengatakan, di beberapa titik di atas pualam-pualam itu ditemukan pula beberapa salib kecil yang dipahat untuk menandai tempat jatuhnya tetes-tetes darah Yesus. Semua orang ingin merasakan sentuhan dirinya secara langsung dengan pualam-pualam tempat Yesus berjalan ketika sedang menderita. Semua ingin merasakan penderitaaNya dan menyatukan penderitaan-penderitaan mereka setiap hari dengan penderitaan Sang Penebus. Semua ingin juga menyentuh tetes-tetas darahNya dan boleh merasa terbasuh oleh darahNya yang kudus.

“Berjalan bersama Yesus sepanjang jalan sengsaraNya, kapan saja, adalah sebuah ziarah rohani yang menyentuh kedalaman bathin. Bisa juga dirasakan dan dipandang secara pribadi sebagai upaya pertobatan diri, berbagi penderitaan dengan Yesus, penyilihan dosa, dan rekonsiliasi dengan Tuhan, dengan sesame dan dengan diri sendiri. Kerap dari sini orang memulai sebuah hidup baru yang lebih berkenan kepada Tuhan,” pungkasnya. (Ryman)