SD Xaverius Pringsewu Menuju Satu Abad, Tanamkan Kecerdasan dan Kepribadian pada Anak Didik

oleh -
Sr M. Yovita FSGM (Kepala Sekolah) dan Harry H Limaran (Ketua Alumni SD Xaverius. (Foto: Dok Pri)

Pringsewu, JENDELANASIONAL.ID – Sekolah Dasar Xaverius Pringsewu, Lampung yang saat ini bernama SD Fransiskus, telah berusia 91 tahun. Menuju satu abad usianya, sekolah ini memantapkan diri sebagai lembaga pendidikan yang menanamkan  kecerdasan dan kepribadian (karakter) kepada anak didiknya.

Dalam dinamika perubahan yang sangat cepat karena dipicu perkembangan teknologi komunikasi dan informatika, anak didik yang masih bertumbuh membutuhkan kecerdasan tetapi sekaligus kepribadian yang berkarakter.

Untuk memeringati hari jadi tersebut, berbagai acara digelar dan puncak perayaan akan dilaksanakan pada 19 Mei 2023 untuk Reuni Agung dan 20 Mei 2023 untuk Perayaan Jubilium.

Demikian ditegaskan oleh Sr M Yovita FSGM selaku Kepala Sekolah SD Fransiskus dan Ketua Alumni SD Xaverius Fransiskus Pringsewu, Harry H Limaran (Lulus 1974) kepada media pada Minggu (30/04/2023).

Perayaan ini mengambil tema “Satu Tekat Seribu Giat Membangun Pendidikan Lebih Maju di Era Milenial “. Keduanya sepakat untuk membawa Utamakan Cinta Kasih Agar Menjadi Berkah Bagi Sesama sebagai spirit yang harus dibawa oleh setiap alumnusnya di manapun berada.

Pada awalnya, sekolah katolik ini didirikan pada tanggal 11 Juli 1932 oleh Sr. Engelmunda dengan nama sekolah HIS St. Beda School di Pringamba, Pringsewu. Sr Engelmunda adalah salah satu dari empat misionaris pertama Suster-suster Kongregasi Fransiskan dari St. Georgeus Martir Thuine dari Jerman.  Keempat suster itu datang pada 4 Juni 1932 dengan tujuan membantu karya misi di bidang pendidikan memberikan perhatian dan membantu kebutuhan anak-anak dari transmigran Jawa di Pringsewu dan sekitarnya. Pada waktu itu, banyak transmigran Jawa yang berpindah ke daerah Pringsewu Lampung untuk dipekerjakan pada kebun-kebun milik Belanda.

Murid pertama berjumlah 35 orang yang berusia antara 4 sampai 16 tahun. Nama St Beda diambil dari nama  Sr Maria Beda, Mother General (pimpinan) Kongregasi Suster-suster Fransiskan di Thuine, Jerman.  Hingga 1 Agustus 1946, sekolah belum menetap dan masih berpindah-pindah dan secara administrative berada dalam naungan Yayasan Xaverius Palembang.

Gedung sekolah mulai didirikan secara permanen pada tahun 1951 dengan Pawit Padmowihardjo sebagai Kepala Sekolah. Dari Yayasan Xaverius Palembang, sekolah ini kemudian bergabung dengan Yayasan Xaverius Tanjungkarang pada 4 Februari 1984. Empat tahun kemudian yakni 1988, sekolah ini dikelola oleh Yayasan Xaverius Pringsewu, Lampung.

Seiring dengan perkembangan karya Tarekat Suster – Suster Fransiskan dari St. Georgeus Martir Thuine, mulai 1 Juli 1997, SD Xaverius berganti nama SD Fransiskus (Asisi) di bawah Yayasan Dwi Bakti Pringsewu.

Pendiri SD Xaverius Pringsewu, Lampung, yang diawali dengan kedatangan empat Suster missionaris dari Jerman pada 1932. (Foto: dok pri)

“Oleh karena itu, jika dilihat dari kelahiran SD Xaverius, kami berusia 91 tahun. Tetapi jika dilihat dari nama Fransiskus, kami merayakan Jubelium  dan perayaan ini sebagai awalan  Menyongsong Satu Abad 1932 – 2032. Dan thema yang diusung adalah Satu Tekat Seribu Giat Membangun Pendidikan Lebih Maju di Era Milenial,” ujar Sr Yovita.

Menurut Sr Yovita, perayaan yubilium sudah dimulai tahun lalu dengan serangkaian acara. Dan berharap puncak perayaan akan dihadiri para alumni SD Xaverius dan SD Fransiskus yang saat ini telah tersebar di berbagai tempat.

“Kami harus bersyukur atas kesetiaan dan penyertaan Tuhan yang telah mengiringi perjalanan panjang SD Xaverius – Fransiskus Pringsewu yang kini telah mencapai 91 tahun  dan menyongsong satu abad. Berbagai peristiwa sejarah telah dilalui oleh para pendidri dan pendahulu sekolah yang dengan penuh semangat dan hati yang tulus demi mewujudkan insan cerdas dan berkarakter,” ujar Sr Yovita.

Sementara itu, Harry H Limaran sebagai Ketua Alumni menyatakan  Alumnni SD Xaverius Fransiskus Pringsewu menyambut baik serta mendukung penuh semua kegiatan perayaan ini dalam menyongsong Satu Abad. Perayaan ini juga disebutnya sebagai reuni agung karena merupakan momen berkumpul semua angkatan. Reuni agung ini akan berlangsung pada 19 Mei 2023 dan Perayaan Jubilium pada 20 Mei 2023 dan pihaknya akan menyiapkan buku “Menyongsong Satu Abad 1932 – 2032 SD Xaverius Fransiskus Pringsewu”

“Apapun nama sekolahnya, mulai dari Santo Beda, Xaverius  yang diambil dari nama pelindung Santo Fransiskus Xaverius atau Fransiskus yang diambil dari nama pelindung Santo Fransiskus Asisi yang paling penting adalah spirit yang harus dibawa. Utamakan Cinta Kasih Agar Menjadi Berkah Bagi Sesama harus menjadi pondasi bagi setiap alumnusnya di manapun mereka berkarya,” ujar Harry Limaran.

Rekan sekelas Harry Limaran, AM Putut Prabantoro, yang saat ini menjadi pengajar (TAPROF) Bid. Ideologi menegaskan tantangan masa depan Indonesia sangatlah komplek. Ancaman dari dalam dan luar terhadap masa depan bangsa sangatlah bervariasi dan semua nyata sifatnya. Bangsa Indonesia membutuhkan masyarakatnya yang tidak hanya cerdas tetapi juga berkepribadian yang berkarakter.

Menurutnya, tidak cukup seseorang menjadi pandai atau cerdas tetapi dia harus juga berkarakter.  Oleh karena itu, baik Lembaga Pendidikan, anak didik dan orang tua memahami dinamika perubahan  yang begitu cepat jika tidak mau dimakan jaman.

 

Maria Caecilia Sukaptinah dan AM Putut Prabantoro. (Foto: Dok Pri)

Belajar itu Harus Penuh Keceriaan, Kegembiraan dan Tantangan

Maria Cecilia Sukaptinah (85) lulusan SD Xaverius tahun 1954 menjelaskan bahwa setelah berpindah-pindah gedung SD dibangun yang lokasinya di kompleks SMP Xaverius dekat gereja lama. Sebelum bernama Xaverius sekolah ini bernama Hollandsch-Inlandsche School adalah sekolah pada zaman penjajahan Belanda. Baru setelah Indonesia merdeka, HIS diganti nama Xaverius. Ketika berpindah-pindah, sekolah diselenggarakan di rumah-rumah penduduk termasuk ke rumah Yohanes Senu Kartopiyoga, orang tua Maria Cecilia Sukaptina. Keluarga Kartopiyoga pindah dari Yogyakarta ke Pringsewu pada tahun 1932.

“Pada jaman itu, tidak semua murid menggunakan sepatu atau alas kaki. Sebagian murid  nyeker alias tidak beralas kaki. Saya dulu senang, sekolah menggunakan sepatu Bata warna putih. Suasana damai dan rukun mewarnai sekolah dulu dan para murid sangat menghormati para guru. Murid sangat tenang kala di dalam kelas. Hukuman selalu tersedia bagi murid-murid yang tidak dapat diatur atau nakal,” ujar Sukaptinah.

Hal yang lumrah pada saat itu, menurut Sukaptinah, jika sekolah murid tidak membawa buku tulis, tetapi sabak – batu tulis. Jika mendapat nilai bagus dalam mata pelajaran, nilai yang tertulis di sabak, akan ditempel di pipi agar murid-murid lain melihat. Ketika kelas VI, buku tulis baru dibawa karena merupakan syarat mengikuti ujian sekolah dan ujiannya menjadi satu dari berbagi sekolah dasar di Pringsewu.

“Kedisiplinan di SD Xaverius merupakan nilai yang tidak dapat ditawar. Seluruhnya baik guru, murid, pengurus sekolah akan memegang teguh kedisiplinan tersebut,” ujar Martha Susanti Adwiyani, lulusan SD Xaverius tahun 1967.

Martha Susanti masuk ke SD Xaverius Pringsewu, Lampung pada tahun 1963 dan merupakan murid pindahan dari SD St Yoseph Lahat, Sumatera Selatan.

“Meski hanya mengenyam tiga tahun pendidikan, saya melihat bahwa selain disiplin, para gurunya sepertinya memang memiliki latar belakang paedagogi – ilmu mendidik. Dan saya melihat ketika diajar oleh Pak Ratum pada kelas 5 dan kelas 6 SD. Beliau sangat teliti, sangat perhatian, dan sekaligus sangat melihat kondisi anak didiknya. Jika ada anak yang membutuhkan perhatian, Pak Ratum tidak akan segan-segan ke rumah murid,” ujar Martha Susanti.

Baginya, murid SD itu harus didorong untuk mau belajar, mau mendengar dan mau mengingat. “Dan nilai itu ada pada Pak Ratum yang mempunyai keahlian mendorong para murid mau belajar, mendengar dan mengingat,” ujarnya.

Belajar di SD itu, bagi Martha Susanti, adalah keceriaan, kegembiraan dan tantangan. “Dan itu tidak dimiliki sistem pendidikan sekarang yang lebih banyak memasukan begitu banyak beban kepada murid tanpa memperhatikan nilai psikolagi anak,” pungkasnya. ***