JAKARTA, JENDELANASIONAL.ID – Sebuah film berdurasi 12 menit berjuduk Bisakah Aku Menari Lagi diluncurkan dari Jakarta ke REC-Film Festival Berlin 2022 dan Festival Film Indonesia 2022 pada hari ini, Kamis, 15 September. Bertema keluarga yang memiliki putri bernama Angel — penari sekaligus menderita kanker. Fim pendek karya The Pencil Indonesia Production ini merupakan karya pertama bertema penderita kanker anak yang disertakan dalam festival film internasional dan festival film Indonesia. Diikuti sineas muda dari seluruh dunia, festival internasional ini akan berlangsung pada 21-24 September 2022 di UfaFabrik, Berlin Tempelhof.
Liza Budihardja, produser sekaligus penggagas Bisakah Aku Menari Lagi mengatakan, ide film ini terbersit tiga tahun lalu saat seorang teman mengajaknya menjadi donor darah di Rumah Sakit (RS) Kanker Dharmais, di kawasan Letjen S. Parman, Jakarta Barat. “Di sana, saya berjumpa banyak anak penderita kanker yang berjuang keras melawan penyakitnya,” kata Liza, seorang pekerja seni.
Gagasan Liza menemukan wujudnya saat dia berjumpa penulis skenario, Elizabeth Lutters. Dosen Institut Kesenian Jakarta dan Ketua Teater Pavita, Jakarta, ini mampu “menerjemahkan” ide Liza ke dalam skrip yang subtil dan kuat.
Kisah bermula ketika Angel menemukan rambutnya rontok di tempat tidur pada suatu pagi. Gabriella Nasyiha, 10 tahun, asal Bandung memerankan tokoh Angel dengan penghayatan kuat dan apik. Panik melihat rambutnya berguguran, gadis kecil itu berulangkali memanggil “Mama” – tokoh ibu, diperankan Sandra Naholo.
Sang Mama yang tidak muncul ke kamar seakan merefleksikan realitas anak-anak penderita kanker: seberapa pun besar cinta orangtua dan keluarga, mereka harus bertarung “dengan diri sendiri” dalam sunyi, dalam kecemasan atas runtuhnya impian masa depan.
Akan halnya Angel, dia berjuang menerima kondisinya, seraya hatinya terkoyak oleh pertanyaan yang sama setiap kali: “Apakah aku aka bisa menari lagi?” .
Elizabeth Lutters “menerjemahkan” kisah ini dengan subtil dan memikat: tanpa banyak kata atau kurasan air mata, perjalanan Angel menuju “keikhlasan menerima dirinya” ditampilkan lewat gerak gambar: kepala botak, mata yang meredup saat dia berkunjung diam-diam ke sanggar tari dan mengintip empat sahabatnya yang tengah menari dengan penuh kegembiraan; mengurung diri dalam kamar; menolak kunjungan tiga sahabatnya; hingga pasrah menerima pelukan ibunya serta membuka hatinya kembali kepada teman-temannya.
“Film ini didedikasikan bagi anak-anak penyandang kanker melalui cara yang indah, bukan menakutkan. Kata kanker hanya disebutkan dua kali sepanjang film Kematian Angel digarap amat simbolis dan menyentuh: Mama memeluk erat foto Angel ke dadanya dalam isak sembari musik mengalunkan serenada manis,” ujar Hermien Y. Kleden, seorang wartawan berbasis Jakarta. Hermien mendapat kesempatan menonton Bisakah Aku Menari Lagi — sebelum karya ini diberangkatkan ke Berlin.
“Dalam rilis The Pencil Indonesia Production yang diterima Jendela Nasional pada Kamis, 14 September, Hermien menegaskan: “Hampir 10.000 anak Indonesia yang menderita kanker hingga 2022 Kehadiran karya film pendek semacam Aku Bisa Menari Lagi perlu diperluas untuk meneguhkan anak-anak penderita kanker—penyakit dengan stigma menakutkan,” kata Hermien.
Liza Budihardja, yang terlibat dalam banyak kerja seni dan pelayanan penderita kanker, menuturkan bahwa tujuan pembuatan film ini untuk meningkatkan empati dan belarasa dalam kehidupan urban yang serba instan, penuh kompetisi. “Perhatian kepada mereka yang menderita makin terkikis. Maka dukungan moril bagi penderita kanker merupakan faktor amat penting di samping penanganan medis,” kata dia.
Produser film pendek ini menuturkan, studi karakter oleh para pemain dilakukan di RS Kanker Dharmais, di kawasan Letjen S.Parman, Jakarta Barat. Hasilnya? “Gabriella memerankan tokoh Angel dengan penghayatan mendalam. Dia memutuskan sendiri untuk mencukur rambutnya hingga botak, tutur Liza.
Liza Budihardja dan Elizabeth Lutters berharap, kehadiran Bisakah Aku Menari Lagi di REC Filmfestival Berlin menunjukkan pada dunia bahwa film-film Indonesia layak diperhitungkan dalam kancah internasional. Film 12 menit ini akan diikutsertakan juga dalam Festival Film Indonesia.
Berlangsung setiap tahun, REC Filmfestival Berlin menerima karya para sineas muda dari seluruh dunia. Karya-karya terbaik dari festival ini akan disertakan kembali di berbagai festival internasional lainnya.
Seorang ibu penderita kanker di kawasan Kebagussan, Jakarta Selatan, mengaku menonton ulang karya ini beberapa kali karena amat tersentuh. “Menonton hidup Angel, seperti menyaksikan kembali perjuangan putri saya sepanjang usianya yang berakhir di usia 12,” ujarnya. ”Saya mendoakan Angel-angel lain yang berpulang di usia muda akan terus menari di keabadian surga, di mana tarian tak lagi memerlukan gerak dan lagu.” ***