Sekolah Tak Wajib Kerudung, Kearifan Lokal Ajarkan Keluwesan Berpakaian

oleh -
Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny Susetyo. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Webinar Pancasila bertajuk “Kewajiban Berpakaian Muslim dan Muslimah di Institusi Pendidikan Formal: Apakah Melanggar Konstitusi?” digelar di Jakarta, Jumat (29/1). Hadir sebagai narasumber Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP, Benny Susetyo, Pengelola Pesantren Darul Iman Pandeglang, Banten, Nisa Alwis, Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia, Indra Charismiadji serta Rinto Wardana sebagai moderator. Seminar itu membicarakan tentang peraturan daerah yang mewajibkan berpakaian muslim dan Muslimah dalam lingkungan pendidikan formal.

Dalam webinar yang dihadiri oleh lebih dari 150 orang itu, Benny Susetyo menyatakan masalah tersebut sudah lama dan seperti gunung es.

“Jika mau jujur, (masalah) ini seperti gunung es, karena peraturan tersebut tidak memenuhi peraturan Menteri Pendidikan, bahwa setiap orang tidak diwajibkan. Sekolah tidak melarang (penggunaan jilbab), tetapi tidak mewajibkan,” jelasnya.

Benny menambahkan hal ini terjadi karena kelemahan pengawasan atas peraturan sekolah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Juga karena politik identitas dari daerah.

Menurut Benny, persoalan ini dapat diselesaikan jika pengawasan dan ketegasan instansi terkait dari Kemendikbud maupun pemerintah setempat.

Benny menambahkan bahwa hal ini tidak perlu diperbesar dan dipolitisasi, tetapi tetap merujuk kepada peraturan Menteri Pendidikan yang sudah ada dan sudah lama. Sekolah pun diminta untuk tidak memaksakan kehendaknya dan mengacu pada peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

“Jika melanggar maka kena sanksi. Jika ditegakkan, ini selesai, tidak perlu ada politisasi kemana-mana,” tambahnya.

Terkait politik identitas daerah, Benny menyatakan bahwa peraturan daerah seharusnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan pusat. Jika hal ini terjadi, publik berhak menggugat.

“Kekritisan, pengawasan dari masyarakat digugurkan, sehingga peraturan seperti ini sendirinya akan gugur,” pungkas Benny.

Nisa Alwis menyatakan hal senada bahwa kejadian di Padang merupakan fenomena gunung es dari perkembangan fanatisme dan intoleransi di negara kita.

“Pemaknaan terhadap jilbab telah mengalami pengkristalan belakangan ini, seolah-oleh jilbab yang ideal adalah yang sekarang ini sedang berkembang. Padahal, materi dan penelitian terhadap jilbab bahkan sebelum islam 300 tahun yang lalu sudah dipakai oleh kaum Yunani dan Kristen Ortodok dan lainnya,” jelas Nisa.

Nisa menyatakan, bahwa kearifan lokal mengajarkan keluwesan kita untuk berpakaian, dan sebaiknya masyarakat Indonesia mengikuti contoh tersebut.

“Kita ingat orang tua kita menggunakan busana kebiasaannya, entah itu kebaya dan lainnya, dengan kearifan masing-masing, tidak mengurangi ketaatan beragama mereka,” tuturnya.

Indra Charismiadji menyatakan tiga poin penting. Pertama, tujuan suatu kebijakan boleh jadi baik, tetapi pelaksanaannya harus juga tetap bijak.

Kedua, sistem pendidikan yang melakukan penyeragaman adalah sistem yang menyalahi aturan Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, penindakan dari Kemendikbud sebaiknya lebih berpusat pada pendidikan guru-guru dalam hal toleransi dan nilai-nilai Pancasila, bukan hanya memberikan sanksi. (Ryman)