Sembilan Garis Putus, Dasar Klaim China yang Tak Memiliki Dasar Hukum

oleh -
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D. (Foto; Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Pemerintah China telah lama mengklaim Sembilan Garis Putus yang berada di tengah laut di Laut China Selatan dan menjorok masuk ke ZEE Natuna Utara. Klaim ini didasarkan pada alasan historis yang secara hukum internasional, utamanya UNCLOS tidak memiliki dasar.

Hal ini telah ditegaskan dalam Putusan Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016 dalam sengketa Filipina melawan China.

Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana melalui siaran pers di Jakarta, Minggu (5/1) mengatakan, sembilan Garis Putus yang diklaim China pun tidak jelas koordinatnya, bahkan pemerintah China kadang menyebutnya sembilan, sepuluh, bahkan sebelas garis putus.

“China tidak mengakui klaim Indonesia atas ZEE Natuna Utara atas dasar kedaulatan Pulau Nansha yang berada di dalam sembilan garis putus dan pulau tersebut memiliki perairan sejenis ZEE. Perairan sejenis ZEE disebut oleh China sebagai Traditional Fishing Grounds,” ujarnya.

Hikmahanto mengatakan, dalam UNCLOS konsep yang dikenal adalah Traditional Fishing Rights, bukan Traditional Fishing Gnrounds, sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UNCLOS.

Pemerintah Indonesia telah sejak lama, saat Ali Alatas menjabat Menteri Luar Negeri (Menlu), mempertanyakan kepada pemerintah China apa yang dimaksud dengan Sembilan Garis Putus.

“Namun hingga saat ini jawaban atas pertanyaan tersebut belum pernah diberikan oleh China,” ujarnya.

Untuk meredakan ketegangan terkait isu Natuna Utara, Pemerintah China selalu menegaskan bahwa China tidak memiliki sengketa dengan Indonesia berkaitan dengan kedaulatan Indonesia.

“Memang pernyataan pemerintah China tidak salah. Indonesia dan China benar tidak mempunyai sengketa kedaulatan (sovereignty). Sembilan Garis Putus tidak menjorok hingga laut teritorial Indonesia,” kata Hikmahanto.

Namun bila berbicara di wilayah hak berdaulat yaitu sovereign rights (bukan sovereignty) baik di ZEEI maupun Landas Kontinen Natuna Utara maka Sembilan Garis Putus memasuiki dua wilayah tersebut.

Hikmahanto mengatakan, perlu dipahami dalam hukum laut internasional dibedakan antara sovereignty dengan sovereign rights.

Sovereignty merujuk pada konsep kedaulatan yang di laut disebut Laut Teritorial (Territorial Sea). Sementara sovereign rights bukanlah kedaulatan.

“Sovereign rights memberikan negara pantai untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam di wilayah laut lepas tertentu (zona ekonomi ekslusif) atau yang berada di bawah dasar laut (landas kontinen),” pungkasnya. (Ryman)