Seminari Tinggi Ledalero, Flores Jadi Seminari Terbesar Dunia

oleh -
Para pastor dan calon pastor (frater) Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Maumere (NTT) berpose sesaat setelah perayaan syukur Ekaristi. Foto: dok. istimewa/Sinergitas.id)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Pendirian lembaga pendidikan calon imam Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero merupakan awal dari sebuah periode baru bagi karya misi di Indonesia, khususnya di Flores. Betapa tidak, sejak didirikan, lembaga ini telah menghasilkan ribuan imam yang bekerja baik di dalam, hingga keluar negeri. Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero bahkan saat ini menjadi pengekspor terbesar bagi para pekerja di ladang Tuhan tersebut.

Dari tahun ke tahun, lembaga ini terus bertransformasi dan menemukan dirinya sebagaimana wadah pendidikan bergengsi di Indonesia, misalnya dengan menempat peringkat ke-133 Perguruan Tinggi terbaik di Indonesia pada tahun 2015.

Bukan hanya sisi akademik, tapi lembaga ini akhirnya diakui sebagai lembaga pusat pendidikan calon imam terbesar di dunia oleh lembaga rekonsiliasi internasional Faith Matters pada pertengahan Mei 2019 lalu.

Lewat peluncuran film dokumenter berjudul The Miracle Of Flores-The World’s Largest Seminary, lembaga yang berpusat di Inggris itu mengungkapkan kekagumannya karena Flores kini telah menjelma sebagai pusat spiritualitas kontemporer dengan jumlah imam dan calon imam yang terus bertambah tiap tahunnya.

Dalam pandangannya, lembaga pejuang anti-ekstremisme itu membuka mata dunia bahwa pulau “Nusa Nipa” itu kini telah mengembalikan kejayaan spiritualitas Eropa (Barat) pada masa lalu karena benih panggilan tertanam begitu subur di pulau ular itu.

“Gereja-gereja di Eropa pada umumnya cukup kosong. Tetapi di Indonesia, dengan populasi mayoritas Muslim, seminari-seminari Katolik dipenuhi para pelamar. Di sebuah bukit di tengah hutan di pulau Flores terletak seminari terbesar di dunia. Lebih dari 1000 siswa belajar di Ledalero, dan setidaknya 600 dari mereka adalah calon imam,” kata lembaga itu dalam rilisnya pada Senin (20/5), seperti dikutip sinergitas.id.

Sejumlah mahasiswa yang belajar di seminari tinggi yang didirikan pada 1936 ini mula-mula hanya merupakan calon-calom imam pribumi (Projo) dan Serikat Sabda Allah (SVD). Namun terhitung sejak tahun 1990-an, diterima pula calon-calon imam dari kongregasi atau tarekat lain, antara lain calon imam Ordo Karmel.

Selanjutnya, pada tahun 2000-an, ada gelombang masuk besar-besaran di mana kongregasi-kongregasi yang berpusat di Filipina mulai membuka rumah-rumah studi baru mereka di Maumere, Flores, sekaligus untuk menarik lebih banyak para calon imam masuk ke tarekat-tarekat tersebut.

Saat ini setidaknya sudah ada belasan kongregasi atau biara yang berhimpun di sekitar “bukit sandar matahari” itu. Mereka adalah kongregasi SVD, Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret (Pr), Biara Karmel (O.Carm), Biara Camelian (MI), Biara Scalabrinian, Biara Rogasionis (RCJ), Biara Stigmata, Biara Vokasionis (SDV), Biara Agustinian, kongregasi MGL, kongregasi MSSCC dan Somascan.

Kelahiran kembali peradaban spiritualitas ini tidak terlepas dari kiprah dan karya misi kongregasi SVD yang telah aktif menanam benih iman di Pulau Flores sejak tahun 1912.

Sebelumnya, pernah ada kongregasi atau tarekat lain seperti Dominikan (OP) dan Serikat Jesuit (SJ), untuk menyebut beberapa yang terekam sejarah, namun kemudian tidak bertahan dan memilih bermisi di daerah lain di Indonesia.

Kita tahu, Gereja Katolik yang masa lalu semata-mata mengandalkan para misionarisnya dari Barat, sehingga harus mengalami kenyataan bahwa perubahan situasi politik tiba-tiba dapat mempersulit pengiriman para misionaris ke berbagai tempat di dunia. Sebab itu, Paus mendorong secara serius perekrutan tenaga imam dan biarawan dari wilayah-wilayah misi.

Saat ini, tercatat ada lebih dari 2.000 imam dan calon imam (frater) SVD di seluruh Indonesia, belum termasuk para imam dan calon imam dari tarekat lain serta para imam SVD yang menjadi misionaris di seluruh penjuru dunia, mulai dari Amerika Latin, Amerika Serikat, Eropa, Afrika, Australia, China, Jepang, dan negara-negara Asia lainnya.

Sebelum para misionaris dari Eropa tiba pada masa-masa akhir perang Indonesia-Belanda di Flores (menurut catatan Daniel Dhakidae berakhir tahun 1917), bukit Ledalero, tempat di mana seminari ini didirikan nyaris ditinggalkan.

Masyarakat lokal di Flores menghindari daerah itu karena mereka percaya itu dihuni oleh roh-roh jahat, sehingga tidak dijadikan hunian ataupun lahan pertanian.

Namun, berkat keberanian para imam SVD, dibangunlah sebuah seminari Katolik di atas bukit itu dan secara positif telah mengubah nama Ledalero hingga saat ini. Di atas bukit angker itulah, para imam mendirikan masa depan gereja lokal dan global.

“Sekarang tidak hanya dilihat secara positif oleh orang Indonesia, tetapi oleh orang Katolik di mana saja. Seminari di Ledalero mendidik para imam yang pergi ke seluruh dunia, memberitakan Injil tidak hanya dengan berkhotbah, tetapi dengan memerangi kemiskinan dan ketidakadilan,” kata Faith Matters.

Seminari Tinggi Ledalero memiliki sejarah yang panjang dan berliku-liku. Semuanya tercatat dalam ingatan kolektif para pastor SVD khususnya. Namun di sini hanya perlu diulas kisi-kisi dari rentetan sejarah yang panjang itu, bahwa pendirian seminari ini tidak terlepas dari dukungan pemerintah setempat.

Hal itu tampak dari tawaran Raja Sikka (Maumere) saat itu Don Thomas Ximenes da Silva yang meminta agar para pastor mendirikan seminari di atas bukit angker Ledalero.

Raja Sikka sendiri merupakan kaki tangan bangsa Portugis yang sudah berdiri ketika Portugis memasuki tanah Flores pada abad ke-15. Secara genealogis, para turunan Raja Sikka hingga saat ini memiliki nama-nama yang berakhir seperti nama rakyat Portugis, seperti Parera, da Silva, da Gomez, dll.

Selain mendirikan pusat calon imam SVD, para pastor juga serentak mendirikan lembaga pendidikan calon imam yang bernama Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, di mana tahun 1935 menjadi tahun pertama perkuliahan kepada 13 orang mahasiswa.

Dua tahun kemudian, lembaga pendidikan ini baru disahkan oleh Tahta Suci Vatikan, tepatnya pada 20 Mei 1937. Tanggal itulah yang kini dijadikan sebagai tanggal resmi berdirinya STFK Ledalero.

Pengakuan negara dan Gereja terhadap lembaga pendidikan ini sejak dulu cukup tinggi. Hal itu ditunjukkan oleh kunjungan Santo Paus Yohanes Paulus II ke Flores pada tahun 1989 dan memilih menginap di Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, di mana kamar tidur orang kudus itu telah menjadi tempat umat Katolik mendaraskan doa-doa mereka.

Selain itu, para pejabat negara dan tokoh nasional pun melawat lembaga yang telah memproduksi ribuan alumni berprestasi ini. Presiden ke-4 Indonesia Abdurrahman Wahid pernah berkunjung kesana pada 6-7 Februari 2004.

Setelahnya, banyak pejabat negara yang melakukan kunjungan dan silahturahmi ke lembaga pendidikan tinggi yang cukup terpandang di provinsi NTT ini.

Keterpandangan itu bukan hanya karena lembaga ini mendidik para calon imam Katolik, tapi lebih karena kontribusi para alumni, baik yang berpredikat imam maupun awam, yang dinilai sangat signifikan terhadap pembagunan masyarakat lokal, nasional dan dunia.

Sebut saja, setidaknya mayoritas orang sukses di ibukota Jakarta asal Flores (NTT) dan telah menjadi tokoh nasional, merupakan alumni lembaga ini, atau sekurang-kurangnya pernah mengenyam pendidikan seminari menengah di Flores dan NTT umumnya.

Dukungan pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia tentu menjadi penggerak bagi lembaga ini untuk berinovasi lebih maju di usianya yang ke-50 tahun ini. (Sinergitas.id/Ryman)