SETARA Institute: Persekusi Paling Sering Terjadi Terkait Gangguan Rumah Ibadah

oleh -
Polisi menyegel aktivitas Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Desa Balai Harapan Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang pada 14 Agustus 2021. (Foto: Liputan6.com)

Jakarta, INDONEWS.ID – Hari Toleransi Internasional diperingati pada 16 November. Toleransi merupakan etika kolektif yang dipersyaratkan dalam tata kebinekaan.

Sebagai negara bineka, Indonesia mesti terus mewujudkan praktik dan pemajuan toleransi. Selain itu, Indonesia mesti menjadi teladan dalam tata kebinekaan yang toleran dan inklusif bagi seluruh komunitas internasional.

Demikian dikatakan Peneliti KBB SETARA Institute, Syera Anggreini Buntara, di Jakarta, Rabu (16/11).

Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan penggagas dan tuan rumah forum tingkat dunia Religions 20 (R20) dalam kerangka presidensi G20 yang KTT-nya sedang berlangsung di Bali.

“Dengan penyelenggaraan R20, Indonesia tentu berkontribusi mempromosikan peran agama dalam mendukung toleransi dan perdamaian. Salah satu fokus bahasan dalam R20 adalah isu minoritas agama yang seringkali mendapat persekusi di berbagai negara,” ujarnya melalui siaran pers.

Pada 9 November yang lalu, katanya, Indonesia dievaluasi untuk oleh seluruh anggota PBB melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss. Salah satu isu yang dievaluasi adalah kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB).

Dalam pantauan SETARA Institute, banyak sekali negara-negara yang memberikan rekomendasi terkait dengan KBB, mulai dari kebijakan yang diskriminatif dan intoleran hingga gangguan dan persekusi terhadap kelompok minoritas, rumah ibadah, dan kegiatan peribadatan mereka.

Syera mengatakan, dalam catatan SETARA Institute, persekusi terhadap minoritas di Indonesia terjadi dalam beragam wujud. Salah satu yang paling sering terjadi adalah gangguan rumah ibadah.

“Gangguan rumah ibadah mencakup penolakan pembangunan rumah ibadah, gangguan saat pembangunan rumah ibadah, penyegelan tempat ibadah, gangguan saat ibadah di rumah ibadah, perusakan rumah ibadah, dan penyerangan terhadap orang yang terjadi di tempat ibadah/rumah ibadah yang dilakukan baik oleh aktor non-negara dan/atau negara,” katanya.

Merujuk data longitudinal SETARA Institute mengenai Kondisi KBB, 2007-2022, perusakan tempat ibadah dan penolakan pendirian tempat ibadah menempati top 5 dalam kategori jenis pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan terbanyak dengan jumlah 140 peristiwa perusakan dan 90 peristiwa penolakan.

Data terbaru SETARA Institute dari Januari 2022 hingga akhir September 2022 menunjukkan, terdapat setidaknya 32 peristiwa gangguan rumah ibadah. Angka ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan data annual pada kategori yang sama dalam lima tahun terakhir, yaitu 44 peristiwa (2021), 24 peristiwa (2020), 31 peristiwa (2019), 20 peristiwa (2018), dan 17 peristiwa (2017).

 

Pemahaman Terkait Gangguan Rumah Ibadah

Direktur Riset SETARA Institute Halili Hasan mengatakan ada beberapa pemahaman terkait gangguan rumah ibadah.

Pertama, pada tahun 2022 sejauh ini, masjid mengalami gangguan terbanyak, yaitu 15 peristiwa, diikuti dengan gereja sebanyak 13 peristiwa. Namun, perlu digarisbawahi bahwa sebagian besar masjid yang menjadi objek gangguan adalah Masjid Ahmadiyah dan masjid-masjid lain yang ‘berbeda’ dari kelompok muslim arus utama (mainstream).

Kedua, data SETARA Institute menunjukkan meningkatnya tren intoleransi terhadap keberagaman intraagama. Dalam kasus penolakan dan gangguan terhadap masjid, mayoritas gangguan datang dari sesama muslim dan terjadi di wilayah mayoritas Islam.

Ketiga, gangguan terhadap vihara meningkat. Hingga akhir September 2022, terdapat 4 peristiwa gangguan terhadap vihara. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pada tahun 2020 dan 2021 masing-masing hanya 1 kasus gangguan terhadap vihara. Sementara pada tahun 2017-2019 tidak ditemukan kasus gangguan vihara.

Menurutnya, gangguan terhadap vihara pada tahun 2022 ini tersebar di berbagai lokasi, seperti Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan. Vihara-vihara tersebut ditolak karena dibangun di daerah yang mayoritas muslim dan terdapat kekhawatiran akan Buddhanisasi, yaitu menyebarkan ajaran Buddha dan membuat muslim melakukan konversi, menjadi beragama Buddha.

“Dari berbagai kasus gangguan rumah ibadah, SETARA Institute menyoroti pola yang masih terus dilanggengkan, yaitu penggunaan alasan administrasi untuk melakukan restriksi dan persekusi. Ketidaklengkapan persyaratan pendirian rumah ibadah dijadikan sebagai justifikasi bagi keengganan terhadap rumah ibadah agama lain maupun rumah ibadah aliran yang berbeda dalam satu agama yang sama,” ujarnya.

Karena itu, SETARA Insitute memberi rekomendasi terkait kasus gangguan terhadap rumah ibadah dan peribadatan tersebut.

Pertama, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri hendaknya mempermudah syarat pendirian rumah ibadah yang tercantum dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006.

Hal itu mengingat kecenderungan interpretasi yang restriktif terhadap syarat pembangunan rumah ibadah di beberapa daerah. Karena itu, SETARA Institute meminta agar formula 90/60 perlu ditinjau ulang pada aspek substansi dan implementasinya.

“Syarat 60 orang pendukung pendirian rumah ibadah harus berasal dari yang berbeda agama, nyata-nyata memberikan ruang bagi kelompok eksternal untuk mengintervensi dan membatasi hak konstitusional atas peribadatan yang dijamin secara tegas dalam Pasal 29 ayat (2) UUD NRI tahun 1945,” ujarnya.

Kedua, Pemerintah Daerah agar menginisiasi regulasi yang mempermudah syarat pendirian rumah ibadah dan menekankan peran FKUB dalam fasilitasi dialog dan resolusi konflik mengenai peribadatan dan gangguan atas rumah ibadah.

Dalam konteks ini, inisiatif dalam regulasi mesti diperluas, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Kupang. Melalui Peraturan Wali Kota No 79 Tahun 2020 tentang Pedoman Fasilitasi Pembangunan Rumah Ibadah, Pemkot Kupang menjabarkan peran-peran FKUB dalam fasilitasi, mediasi, dan resolusi konflik jika terdapat penolakan.

Ketiga, mengingat meningkatnya tren intoleransi terhadap keberagaman intraagama, pemerintah tidak hanya perlu menggencarkan dialog antariman, tetapi juga semakin mengintensifkan dialog intraiman.

“Dialog intraiman tersebut diharapkan dapat meningkatkan literasi akan keberagaman intraagama, meningkatkan kohesi sosial di tengah perbedaan keberagamaan di dalam dan antar agama, serta mewujudkan kerukunan di dalam dan antar umat beragama,” katanya.

Keempat, masyarakat sipil, tokoh agama, dan tokoh-tokoh dalam forum-forum di daerah, seperti FKUB dan FPK, mesti memainkan peran dan berkontribusi dalam memajukan praktik dan inisiatif-inisiatif bagi penguatan tata kebinekaan dalam keberagamaan.

Para tokoh agama tersebut mesti berperan lebih aktif dalam upaya menyemai damai, yaitu memperbanyak ruang dialog dan memfasilitasi dialog, termasuk berperan sebagai mediator dalam konflik seputar gangguan rumah ibadah.

“Peran mereka menjadi semakin signifikan di tengah-tengah polarisasi sosial, kegaduhan politik elektoral yang merusak kohesi sosial, serta ancaman politisasi identitas jelang Pemilu 2024,” pungkasnya. ***