SETARA: Izin Mendirikan Rumah Ibadah Harus Jadi Kewenangan Pusat

oleh -
Aktor pembubaran Ketua RT, Wawan Kurniawan, dan sejumlah warga setempat. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Gangguan beribadah terhadap kelompok minoritas kembali terjadi. Kali ini menimpa jemaat Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) di Bandar Lampung. Jemaah yang sedang beribadah di dalam gereja (Minggu, 19/2) dibubarkan oleh sekelompok orang.

Aktor pembubaran tersebut adalah Ketua RT, Wawan Kurniawan, dan sejumlah warga setempat.

SETARA Institute mengatakan, peristiwa menyedihkan itu menandai berlanjutnya eskalasi gangguan dan penolakan atas peribadatan dan pendirian rumah ibadah.

Karena itu SETARA mendesak Pemerintah untuk segera menarik perizinan pendirian tempat ibadah atau rumah ibadah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat, dengan mekanisme yang dipermudah dan disederhanakan, di Kementerian Agama.

“Sebab urusan agama merupakan kewenangan absolut pemerintah pusat dan tidak didesentralisasikan sebagai urusan pemerintahan daerah,” ujar Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (22/2).

Berkaitan dengan dinamika terbaru pelanggaran atas kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB), khususnya kasus GKKD, tersebut, SETARA Institute mengecam keras terjadinya kasus pembubaran peribadatan di GKKD Bandar Lampung. “Gangguan dan pembubaran atas peribadatan, yang dijamin oleh konstitusi, tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun,” ujar Halili.

Dalam konteks kasus GKKD, SETARA Institute mengapresiasi pihak kepolisian, khususnya Polresta Bandar Lampung, yang telah memberikan jaminan keamanan. Juga kepada Pemda yang memberikan izin sementara selama 2 (dua) tahun kepada GKKD Bandar Lampung, sambil mengurus perizinan pendirian rumah ibadah.

“Langkah akomodatif dan fasilitatif semacam itu perlu direplikasi di berbagai kasus penolakan rumah ibadah, peribadatan, dan sarana peribadatan di daerah lain, seperti di Kabupaten Bogor, Kota Cilegon, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sintang, Kota Depok, dan lain sebagainya,” katanya.

Pemerintah Pusat dihimbau untuk segera melakukan langkah progresif untuk membuktikan bahwa mereka memiliki komitmen dan kewibawaan dalam menegakkan jaminan hak konstitusional warga negara atas kebebasan beragama/berkeyakinan dan kebebasan untuk beribadah.

Hal itu antara lain dilakukan dengan pertama, merevisi PBM 2 Menteri, khususnya dengan mencabut syarat administratif dukungan 90 orang Jemaat dan 60 orang di luar Jemaat.

Kedua, mengubah paradigma pengaturan peribadatan dan pendirian rumah ibadah dari pembatasan ke fasilitasi, dan pergeseran peran FKUB ke perwujudan dan pemeliharaan kerukunan dengan memperluas fungsi-fungsi kampanye toleransi, penyediaan ruang-ruang perjumpaan lintas agama, serta memitigasi dan resolusi konflik yang mengganggu kerukunan antar agama, termasuk mediasi dan resolusi jika terjadi kasus penolakan peribadatan dan pendirian tempat dan rumah ibadah.

Sebelumnya, di awal tahun ini, terjadi beberapa gangguan, penolakan, pembubaran peribadatan di sejumlah daerah antara lain yaitu, pertama, penyesatan dan pelarangan aktivitas keagamaan Ahmadiyah oleh Forkopimda Sintang, Kalimantan Barat (26/1).

Selain itu, penolakan dan pembubaran ibadah dialami Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) Metland Cilengsi, Bogor (5/2); pelarangan beribadah Gereja Protestan Injili Nusantara (GPIN) Filadelfia Bandar Lampung (5/2), dan terakhir pelarangan pembangunan sarana peribadatan Ahmadiyah di Parakansalak berdasarkan kesepakatan Bupati dan Forkopimda Sukabumi (2/2).

Padahal, belum lama ini, dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda, pada 17 Januari 2023, Di Kabupaten Bogor, Presiden Jokowi sudah mewanti-wanti peserta Rakornas untuk menjamin kebebasan beribadah dan beragama warganya.

Presiden Jokowi menegaskan bahwa kebebasan tersebut dijamin oleh UUD 1945, khususnya Pasal 29 ayat (2).

“Terjadinya eskalasi di beberapa daerah tersebut merupakan bentuk pembangkangan atas arahan Presiden,” ujarnya. ***