SETARA: Masih Kuatnya Tekanan di Tubuh MUI untuk Gunakan Hukum Penodaan Agama

oleh -
Pancasila. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Hari toleransi internasional yang diperingati setiap tanggal 16 November merupakan momentum untuk merefleksikan dan mengevaluasi situasi toleransi di Indonesia. Dengan demikian, kemajuan-kemajuan dalam pemajuan toleransi dapat dipertahankan dan diakselerasi, sedangkan tantangan dan persoalan yang ada harus diselesaikan sehingga harapan akan terwujudnya koeksistensi damai dalam tata kebinekaan Indonesia bisa direalisasikan.

Berbasis data kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia, SETARA Institute mengidentifikasi dua tantangan utama dalam hal toleransi, yaitu maraknya kasus penodaan agama dan gangguan tempat ibadah.

“Dua persoalan ini merupakan dua kategori pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB) yang dominan pada tahun 2020 dan 2021,” ujar SETARA Institute dalam siaran pernya menyikapi Hari Toleransi Internasional di Jakarta, Selasa (16/11).

Peneliti KBB SETARA Institute, Syera Anggreini Buntara, mengatakan, di tahun 2020, tercatat setidaknya ada 20 kasus kriminalisasi menggunakan hukum penodaan agama dan terdapat 24 tempat ibadah yang mengalami gangguan. Pada tahun 2021, walau dari sisi jumlah peristiwa terjadi penurunan, tetapi berdasarkan data tengah tahun SETARA Institute, penodaan agama dan gangguan tempat ibadah masih menjadi kasus menonjol tahun ini.

Setidaknya ada enam kasus kriminalisasi menggunakan penodaan agama dan enam gangguan tempat ibadah. Jumlah ini belum termasuk kasus-kasus lama yang belum selesai, seperti kasus-kasus gereja di Aceh Singkil atau gereja HKBP Filadelfia di Kabupaten Bekasi.

“Tantangan berupa ancaman kriminalisasi menggunakan pasal-pasal penodaan agama membesar, mengingat masih kuatnya tekanan kelompok konservatif, terutama dalam tubuh MUI, untuk terus menekan negara dalam peggunaan hukum penodaan agama,” ujar SETARA.

Pada Ijtima Ulama yang diselenggarakan MUI pada tanggal 11 November 2021, MUI, kata SETARA, mengeluarkan rekomendasi agar negara menindak tegas pelaku penodaan agama. Dalam rekomendasinya, MUI juga menetapkan kriteria-kriteria penodaan agama. Padahal secara faktual, penodaan agama seringkali digunakan untuk menekan minoritas atau ruang-ruang interpretasi progresif dan pandangan kritis atas praktik-praktik keagamaan di tengah tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

SETARA Institute juga masih mencatat persoalan besar dalam cara pandang negara dan masyarakat terhadap minoritas Ahmadiyah yang memantik terjadinya begitu panyak intoleransi, diskriminasi, pelanggaran hak atas KBB, bahkan persekusi atas komunitas muslim Ahmadiyah seperti yang terjadi di Kabupaten Sintang dan Kota Depok.

Aneka bentuk viktimisasi atas Ahmadiyah dilakukan oleh aktor-aktor negara dan non negara masih terus terjadi. Bahkan, terjadi penjalaran intoleransi terhadap mereka, khususnya di Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI Jakarta.

SETARA Institute, kata Syera, tentu mengapresiasi kemajuan-kemajuan dalam praktik dan pemajuan toleransi. Merujuk pada data kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan yang dihimpun SETARA Institute, pada tahun 2021 cukup banyak kemajuan.

Pada aspek struktural, misalnya, pemerintah pusat dan daerah menunjukkan kemauan politik yang baik untuk mengkaji beberapa kebijakan diskriminatif. Misal, Kementerian Agama mulai mengkaji Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan No 8 Tahun 2006 yang seringkali digunakan untuk merestriksi pembangunan rumah ibadah kelompok minoritas.

 

Kamajuan Cara Pandang Negara terhadap Kelompok Minoritas

Menteri Agama juga mulai membuka peluang untuk mengkaji Surat Keputusan Bersama 3 Menteri Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat yang kerap digunakan untuk membenarkan perilaku diskriminatif terhadap JAI.

Pemeritah juga menginisiasi kebijakan-kebijakan progresif untuk pemajuan toleransi dan pemenuhan hak konstitusional kelompok minoritas. Misalnya, pernyataan tegas Mendagri Tito Karnavian akhir tahun lalu untuk memperkuat kapasitas Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dengan tidak akan meloloskan RAPBD apabila tidak ada alokasi dana untuk FKUB.

Tentu, harus segera diberikan catatan, bahwa penguatan kapasitas anggaran FKUB mesti disertai dengan reformasi substantif pada kelembagaan dan fungsi, agar FKUB menjadi agen strategis pemajuan toleransi dan penguatan kebinekaan.

Selain itu, Kemenko PMK juga mengoordinasikan pembentukan Sekretariat Bersama (Sekber) Layanan Advokasi Penghayat Kepercayaan dan Masyarakat Adat untuk percepatan pemenuhan hak konstitusional penghayat kepercayaan dan masyarakat adat.

Di tingkat daerah, tentu kemajuan dalam penyelesaian kasus GKI Yasmin di Kota Bogor dan antusiasme kota-kota untuk memajukan toleransi, seperti di Kota Bekasi, Kota Surakarta, Kota Semarang, Kota Makassar, dan kota-kota top ten dalam Indeks Kota Toleran (IKT) merupakan langkah baik yang mesti terus dirawat dan dikonsolidasikan.

“Di samping itu, pernyataan publik atau tindakan pemerintah untuk meneladankan praktik toleransi dan inklusi atas kelompok minoritas juga terlihat dari tindakan Menag Yaqut Qoumas yang mengucapkan Selamat Hari Raya kepada Baha’i. Ucapan ini menunjukkan adanya kemajuan dalam cara pandang negara terhadap kelompok minoritas,” ujarnya.

Halili Hasan, Direktur Riset SETARA Institute menambahkan, merespons situasi aktual yang berkembang baik dalam bentuk persoalan maupun kemajuan, SETARA Institute merekomendasikan untuk mengambil tiga langkah prioritas dalam rangka pemajuan toleransi dan penguatan kebinekaan.

Pertama, segera mengonkritkan peninjauan ulang PBM 2 Menteri 2006 tentang Rumah Ibadah dan pencabutan SKB 3 Menteri 2008 tentang Ahmadiyah.

Kedua, mentransformasi hukum penodaan agama menjadi hukum hasutan dan kejahatan kebencian berdasarkan sentimen keagamaan.

“Ketiga menjamin penikmatan dan perlindungan hak konstitusional kelompok minoritas keagamaan, khususnya Ahmadiyah, Syiah, penghayat kepercayaan, dan minoritas rentan lainnya, atas kemerdekaan dan kebebasan beragama sebagaimana ketentuan UUD NRI tahun 1945,” ujarnya. ***