Setelah OTT Marianus Sae, KPK Diminta Prioritaskan Penyelidikan Laporan Masyarakat

oleh -
Petrus Selestinus, Koordinator PAP-KPK dan advokat Peradi. (Foto: Ist)

JAKARTA – Operasi Tangkap Tangan (OTT) merupakan sebuah model mengungkap dan menemukan kejahatan korupsi dan pelakunya dengan cara cepat tetapi dengan biaya tinggi, sebagaimana akhir-akhir ini secara spektakuler berhasil dilakukan KPK terhadap sejumlah pihak, dan untuk pertama kalinya terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) yaitu terhadap Bupati Ngada, Marianus Sae.

Namun demikian tidak semua kejahatan korupsi bisa dan boleh diungkap melalui OTT. Pasalnya, ada banyak peristiwa pidana korupsi yang sudah selesai terlaksana, dan pelakunya sudah mengamankan hasil kejahatannya, bahkan sudah mencucinya, sehingga sulit dilakukan melalui mekanisme OTT. Karena itu, KPK diminta memprioritaskan penyelidikan kasus korupsi NTT secara “pro justitia”, berdasarkan Laporan Masyarakat NTT.

“Permintaan prioritas kepada KPK, dimaksudkan agar jangan sampai OTT yang dilakukan KPK di NTT hanya berhenti pada menangkap Marianus Sae, sehingga memberi kesan negatif terhadap KPK bahwa OTT KPK terhadap Marianus Sae bertujuan untuk memenuhi pesanan pihak tertentu demi melindungi pelaku korupsi yang sudah tuntas melakukan kejahatan korupsi atau sedang merancang korupsi baru,” ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus di Jakarta, Senin (18/2/2018).

Petrus yang merupakan advokat Peradi ini mengatakan, pelaku korupsi lama sudah rapi membungkus jejak kejahatannya melalui Tindak Pidana Pencucian Uang dan bahkan sekarang tampil dan bertindak sebagai pahlawan dalam pemberantasan korupsi di NTT.

Saat ini, kata Petrus, sejumlah pejabat di tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota di NTT mulai dari Anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan NTT (Setya Novanto), Pejabat Provinsi NTT, Bupati Manggarai Barat, Bupati Sikka, Bupati Ende, Bupati Nagekeo, dll. sudah dilaporkan masyarakat NTT ke KPK atas dugaan melakukan tindak pidana korupsi, melalui kebijakan yang menyimpang dari UU dan tindakan lainnya yang secara tidak langsung merugikan keuangan negara.

“Namun penyelidikan dan penyidikan yang ditunggu oleh masyarakat hingga saat ini belum dilakukan oleh KPK tanpa alasan dan pertangungajawaban kepada Masyarakat NTT atau Pelapor,” ujarnya.

Oleh karena itu, Petrus meminta KPK agar tidak bertindak setengah hati dalam pemberantasan korupsi di NTT. Jika sikap KPK dalam pemberantasan korupsi di NTT hanya berharap dari OTT dan berhenti pada OTT Marianus Sae, maka sebagian besar koruptor di NTT akan menari dan  berpesta pora merayakan kemenangan dan keselamatannya.

Petrus mengatakan, OTT KPK terhadap Marianus Sae, meskipun diperdebatkan keabsahannya, namun harus menjadi “triger” bagi KPK dan masyarakat NTT untuk membuka oknum pejabat NTT yang melakukan korupsi dan belum tersentuh.

Meskipun sebagian publik menilai OTT terhadap Marianus Sae sebagai sebuah sukses besar  KPK untuk NTT, namun bagi sebagian besar publik NTT lainnya melihat OTT tersebut sebagai sebuah tindakan politik. Pasalnya, OTT dilakukan 1 (satu) hari menjelang KPU NTT menetapkan Pasangan Calon Gubernur NTT.

Selain itu, kata Petrus, ukurannya terletak pada faktor tidak terpenuhinya unsur-unsur “Tertangkap Tangan” menurut KUHAP, yang menekankan pada tidak adanya peristiwa “serah terima uang” antara Pemberi/WIU dan Penerima/MS pada waktu yang bersamaan di suatu tempat dan selesainya peristiwa korupsi. Meskipun KPK memiliki segudang bukti, namun bukti-bukti itu harus diuji terlebih dahulu secara “pro justitia” melalui pemeriksaan terhadap saksi-saksi sebelum penangkapan (bukan OTT).

Menurut Petrus, peristiwa pidana yang disangkakan kepada Marianus Sae, sesungguhnya peristiwa pidana yang sudah terjadi beberapa bulan sebelumnya, dan KPK diduga sudah mengantongi bukti. Namun, pertanyaannya, mengapa KPK tidak melakukan pemanggilan secara “pro justitia” kepada Marianus Sae dkk. (Pemberi dan Penerima), untuk didengar keterangannya sebagai Saksi atau Tersangka.

Oleh karena itu, OTT KPK pada beberapa saat menjelang Penetapan Paslon oleh KPU NTT dinilai sebagai tindakan yang sangat politis dan berdampak pada munculnya penilaian publik bahwa KPK digerakan oleh kekuatan politik tertentu ketika OTT terhadap Marianus Sae dilakukan.

“Penilaian itu akan semakin kuat, jika KPK hanya berhenti pada OTT Marianus Sae dan tidak menindaklanjuti Laporan Masyarakat tentang dugaan korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat eksekutif dan legislatif lainnya di NTT dan LHKPN yang berisi laporan kebohongan para pejabat NTT dalam LHKPN yang sudah lama mangkrak di KPK tetapi tidak ditindaklanjuti,” pungkas Petrus.