SMRC: Lebih Banyak Warga Indonesia Tidak Hargai LGBT sebagai Manusia

oleh -
Survei LGBT oleh SMRC. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Sebanyak 49,3 persen publik Indonesia yang tidak menilai lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) sebagai manusia. Demikian hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Mei 2022.

Hasil survei ini disampaikan pendiri SMRC, Prof. Saiful Mujani, dalam acara Bedah Politik episode ”Apakah Yahudi dan LGBT Dihargai sebagai Manusia?” yang tayang di kanal Youtube SMRC TV, Pada Kamis, 28 Juli 2022.

Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/F3tIZkm2D5c

Survei ini menguji apakah semua manusia dihormati, dihargai, diterima, dan setara sebagai sama-sama manusia, atau kalau mereka memiliki predikat tertentu, kemanusiaannya menjadi hilang atau berkurang?

“Seharusnya, dalam konteks humanisme, yang penting dia manusia, apa pun predikatnya, apakah dia kaya atau miskin, beragama atau tidak beragama, atau memiliki orientasi seksual berbeda, mereka adalah manusia,” jelas Saiful.

Dalam survei SMRC ini, ada dua kasus yang diuji. Pertama, seberapa setuju atau tidak setuju dengan pendapat bahwa LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) wajib dihargai sebagai manusia. Ternyata sebanyak 44,5 persen menyatakan setuju dan sangat setuju. Sedangkan yang menyatakan tidak atau sangat tidak setuju sebanyak 49,3 persen. Masih ada 6,2 persen yang menyatakan tidak tahu atau tidak memberi jawaban.

Data ini menunjukkan bahwa lebih banyak warga Indonesia yang tidak menghargai LGBT sebagai manusia. Hanya karena dia LGBT, status dia sebagai manusia hilang, kurang atau menyusut.

“Jadi orang yang memiliki status sosial LGBT dianggap bukan manusia oleh sebagian masyarakat kita. Wow. Sangat mengejutkan, buat saya, bagaimana status atau makhluk manusia itu hilang simply because orientasi seksualnya berbeda,” tegas Gurus Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu.

Saiful bercerita pengalaman interaksi dia dengan sejumlah LGBT, misalnya ketika potong rambut di salon. Dia menemukan bahwa umumnya mereka ramah dan baik. Walaupun dia menyatakan bahwa itu adalah pengalaman pribadi yang mungkin tidak mencerminkan pengalaman sebagian warga yang marah pada LGBT, tapi Saiful menyatakan dia tidak punya alasan untuk menghilangkan status mereka sebagai manusia.

“Bahwa mungkin mereka beda dengan saya, ya.  Tapi apakah karena beda dia kemudian hilang statusnya sebagai manusia?” kata lulusan Ohio State University, Amerika Serikat, itu.

Hal ini, menurut Saiful, adalah sesuatu yang sangat fundamental. Dia melihat ada sesuatu dalam masyarakat Indonesia yang menyebabkan sebagian warga (hampir separuh) menolak sisi kemanusiaan kelompok LGBT.

Ini sesuatu yang sangat luar biasa, menurut Saiful, pada masyarakat Indonesia yang memiliki sila kemanusiaan yang adil dan beradab.

“Artinya sila ini (sila kedua Pancasila) bagi sebagian warga Indonesia, adalah sesuatu yang asing. Ini masalah besar dan harus mendapat perhatian,” kata Saiful.

 

60 Persen Orang Yahudi Wajib Dihargai Sebagai Manusia

Test kedua dilakukan pada kasus Yahudi. Yaitu, apakah status kemanusiaan menjadi berkurang kalau seseorang berlatar belakang agama Yahudi.

Saiful menyatakan kasus Yahudi ini diangkat karena dalam survei SMRC ditemukan tingkat penolakan publik pada agama Yahudi cukup besar.

Ada 60 publik Indonesia yang setuju atau sangat setuju dengan pandangan bahwa orang Yahudi wajib dihargai sebagai manusia. Yang tidak atau sangat tidak setuju 32,3 persen. Masih ada 7,7 persen warga yang tidak tahu atau tidak menjawab.

Saiful menyatakan bahwa walaupun yang menyatakan tidak atau sangat tidak setuju dengan pandangan bahwa orang Yahudi wajib dihargai sebagai manusia lebih sedikit dari yang setuju, tapi 32,3 persen tersebut masih sangat besar.

“Ini sesuatu yang penting didalami, yang 32,3 persen ini siapa? Bukan berarti kita agen Yahudi, tapi kita bicara dalam konteks manusia: orang dengan status Yahudi itu sebagai manusia bisa dihargai atau tidak?” tegas Saiful.

Dengan dua test itu, kata Saiful, pada kasus LGBT Indonesia tidak lulus sementara untuk kasus Yahudi, kata dia, sebenarnya lulus, tapi dengan predikat C atau rendah.

Saiful menegaskan bahwa dalam hal sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Indonesia masih memiliki persoalan yang sangat penting. Dalam praktiknya, ketika warga dihadapkan pada realitas LGBT dan Yahudi, ideologi sila kedua Pancasila kurang tercermin dalam sikap masyarakat Indonesia, terutama dalam kasus LGBT.

Saiful menambahkan bahwa hal ini mungkin terjadi karena sila kemanusiaan yang adil dan beradab ditafsirkan dan disosialisasikan secara diskriminatif pada kelompok tertentu.

“Itu adalah tantangan ke depan dalam kehidupan civic dan publik kita,” pungkasnya.

Survei SMRC ini dilakukan secara tatap muka pada 10-17 Mei 2022. Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah Berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih secara random (stratified multistage random sampling) 1220 responden.  Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1060 atau 87%. Sebanyak 1060 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,07% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). ***