SMRC: Pendidikan Bisa Menjadi Pintu Masuk Bagi Perbaikan Pluralisme

oleh -
Professor Saiful Mujani, pada program Bedah Politik episode “Siapa Berpandangan Sila Ketuhanan Maha Esa Hanya Menurut Islam?” yang disiarkan di kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 21 Juli 2022. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Ilmuwan politik, Professor Saiful Mujani, pada program Bedah Politik episode “Siapa Berpandangan Sila Ketuhanan Maha Esa Hanya Menurut Islam?” yang disiarkan di kanal Youtube SMRC TV pada Kamis, 21 Juli 2022 mengatakan bahwa berdasarkan data dari hasil survei yang dilakukannya, pendidikan bisa menjadi pintu masuk bagi perbaikan pluralisme di Indonesia.

“Pendidikan adalah sesuatu yang bisa diupayakan. Kalau kita punya program pendidikan yang bagus untuk masyarakat, kalau kita punya ekspektasi masyarakat akan semakin terbuka, inklusif, pluralis, pendidikan bisa membantu untuk tumbuhnya pluralisme di dalam masyarakat,” ujarnya.

Video utuh pemaparan Prof. Saiful Mujani bisa disimak di sini: https://youtu.be/sc2ZOSngFRM

Dalam aspek pendidikan, katanya, hanya 42 persen warga dengan latar belakang pendidikan SD yang tidak setuju dengan pandangan mengenai sila pertama Pancasila yang diartikan hanya menurut ajaran Islam. Sebaliknya, ada 60 persen warga dengan latar belakang pendidikan perguruan tinggi yang tidak setuju dengan pendapat tersebut.

“Semakin tinggi pendidikannya (warga), semakin inklusif. Ini sesuai dengan perkiraan.” terang Saiful.

Hasil lain dari survei tersebut mengungkapkan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah memberi ruang bagi tumbuhnya pluralisme agama di Indonesia.

Saiful menunjukkan data survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Mei 2022 yang menghasilkan bahwa pada umumnya warga yang mengaku anggota NU (58 persen) tidak setuju dengan pandangan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara RI harus berdasar pada ketuhanan yang maha esa sebagaimana diyakini hanya oleh pemeluk agama Islam. Anggota NU yang setuju dengan pandangan itu 39 persen.

Anggota Muhammadiyah juga memiliki kecenderungan yang sama, 58 persen yang tidak setuju dan 42 persen yang setuju. Sementara yang aktif di organisasi masjid, 51 persen setuju, 47 persen tidak setuju. Yang mengaku anggota majelis taklim, 52 persen setuju dan yang tidak setuju 44 persen.

“NU dan Muhammadiyah ini menarik. Umumnya mereka (anggota NU dan Muhammadiyah) tidak melihat ketuhanan yang maha esa itu harus sesuai dengan ajaran Islam saja, tapi harus terbuka bagi semua agama,” kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri, Jakarta, tersebut.

Saiful melanjutkan bahwa kecenderungan yang sama dari NU dan Muhammadiyah juga nampak dalam aspek yang berkaitan dengan penerjemahan sila pertama dalam hukum. Ada 71 persen anggota NU yang tidak setuju jika ketuhanan yang maha esa diterjemahkan ke dalam hukum yang hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam, yang setuju 26 persen. Sementara anggota Muhammadiyah yang tidak setuju dengan pandangan itu 73 persen, yang setuju 27 persen. Anggota organisasi masjid dan majelis taklim juga mayoritas tidak setuju (68 dan 63 persen).

Dari data itu, Saiful menyimpulkan bahwa basis sosial untuk pluralisme keagamaan ada dalam masyarakat Indonesia.

“Kalau selama ini NU itu dianggap sebagai satu organisasi yang penting untuk menumbuhkan pluralism di Indonesia, di sini terlihat,” jelas Saiful.

Sementara aspek memprioritaskan umat Islam dibanding umat agama lain, mayoritas warga NU (57 persen) dan warga Muhammadiyah (64 persen) tidak setuju. Demikian pula anggota organisasi masjid dan majelis taklim, mayoritas (57 dan 50 persen) tidak setuju dengan pandangan tersebut.

 

Dukungan Pemilih Partai

Dilihat dari dukungan pada partai, pemilih PKB terbelah yaitu 49 persen setuju dengan pandangan tersebut, 50 persen yang tidak setuju. Pemilih Gerindra juga terbelah, 48 persen yang setuju dan 48 persen yang tidak setuju. Pemilih partai Golkar dan Demokrat juga terbelah (50 persen setuju, 49 persen tidak setuju).

Sementara pemilih PDIP, hanya 32 persen yang setuju, yang tidak setuju 65 persen. Mirip dengan PDIP, pemilih partai Nasdem juga lebih banyak yang tidak setuju dengan pendapat bahwa sila pertama Pancasila harus sesuai hanya dengan keyakinan Islam (63 persen) dan yang setuju hanya 25 persen.

Hanya 33 persen pemilih PKS yang setuju dengan pandangan sila pertama Pancasila harus sesuai hanya dengan keyakinan Islam, sedangkan yang tidak setuju sebanyak 64 persen.

“Ini di luar dugaan,” kata Saiful, “selama ini PKS dikenal sebagai partai yang mendorong penegakan syariat Islam dalam kehidupan publik.”

Sedangkan yang betul-betul menginginkan sila ketuhanan yang maha esa sesuai dengan keyakinan Islam saja adalah para pemilih PPP dan PAN. Ada 60 persen pemilih PPP dan 66 persen pemilih PAN yang setuju dengan pandangan tersebut.

Sementara pandangan bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia harus berdasar pada hukum, undang-undang, atau aturan yang hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam, mayoritas pemilih semua partai menolak atau tidak sependapat dengan pandangan ini. Namun demikian, ada cukup banyak pemilih Golkar, PPP, dan PAN yang setuju dengan pandangan tersebut, yakni 42 persen (Golkar), 43 persen (PPP), dan 48 persen (PAN). Yang paling kecil adalah pemilih Nasdem yang setuju dengan pandangan tersebut, 4 persen.

“Kalau itu (sila pertama Pancasila) diterjemahkan ke dalam hukum, dan hukumnya harus sesuai dengan ajaran Islam saja, itu bukan opini yang umum di dalam masyarakat kita,” jelas pendiri SMRC tersebut.

Pada pandangan bahwa sebagai kelompok yang lebih besar, penganut agama Islam harus diperlakukan lebih baik dari pemeluk agama lainnya oleh negara, secara umum mayoritas semua pemilih partai, kecuali PPP, tidak setuju dengan pandangan tersebut. Ada 53 persen pemilih PPP yang setuju dengan pandangan tersebut, sementara pemilih dari partai lain di bawah 50 persen.

Namun demikian, lanjut Saiful, ini tetap menjadi tantangan karena cukup banyak pemilih partai, sekitar 40 persen, yang setuju bahwa ummat Islam harus mendapatkan prioritas atau tidak diperlakukan setara dengan penganut agama lain.

“Ada beberapa kelompok pemilih partai yang lebih cenderung pada eksklusifitas. Namun Ormas utama Islam justru cukup memberi ruang bagi tumbuhnya pluralisme keagamaan dalam masyarakat di Indonesia,” jelas doktor ilmu politik lulusan Ohio State University, Amerika Serikat, tersebut.

Dari sisi gender, tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan. Baik laki-laki maupun perempuan, umumnya tidak setuju dengan pandangan bahwa sila ketuhanan yang maha esa harus diartikan hanya menurut ajaran Islam, juga tidak setuju jika sila itu diterjemahkan dalam produk hukum atas dasar hukum Islam saja, dan tidak setuju jika umat Islam diberikan prioritas khusus dibanding pemeluk agama lain.

Dari sisi perdesaan dan perkotaan, Saiful menjelaskan bahwa wilayah perkotaan sedikit lebih terbuka. Di perkotaan, yang tidak setuju dengan eksklusifisme Islam lebih banyak dari yang setuju. Sementara di perdesaan, yang tidak setuju dan yang setuju dangan itu kurang lebih sama.

Dari aspek umur, kalangan yang lebih muda cenderung lebih inklusif. Ada 54 persen warga yang berusia 25 tahun ke bawah yang tidak setuju dengan pandangan bahwa sila pertama Pancasila diartikan harus sesuai dengan agama Islam saja. Yang setuju sebesar 44 persen. Sementara yang paling senior, umur 55 tahun ke atas, yang setuju dan tidak setuju relatif sama (45 dan 46 persen).

Dari sisi agama, dibanding dengan yang tidak beragama Islam, yang beragama Islam lebih banyak yang menghendaki sila pertama Pancasila diartikan hanya menurut ajaran Islam, produk hukum berlaku hanya untuk orang Islam, dan umat Islam diperlakukan lebih baik.

Dari sisi etnis, umumnya warga berdasarkan etnis di Indonesia tidak setuju pandangan bahwa sila pertama Pancasila diartikan sebagaimana diyakini oleh hanya pemeluk agama Islam. Hanya warga etnis Sunda dan Madura yang lebih banyak setuju dengan pandangan tersebut, 66 dan 59 persen.

 

Warga Berpendapatan Tinggi Miliki Sikap yang Lebih Inklusif

Hal yang sama terjadi dalam aspek pendapatan. Warga yang berpendapatan lebih tinggi memiliki sikap yang lebih inklusif dibanding dengan yang berpendapatan lebih rendah.

Sementara dari sisi wilayah, proporsi warga yang setuju dengan pandangan bahwa sila pertama Pancasila harus diartikan sebagaimana yang diyakini oleh hanya umat Islam lebih banyak pada warga di Jawa Barat, 66 persen. Sementara Jawa Tengah dan DIY relatif lebih inklusif.

Saiful menduga ada wilayah tertentu di Jawa Barat yang memiliki pandangan keislaman yang lebih eksklusif mengingat bahwa daerah ini pernah menjadi salah satu basis bahwa tempat lahirnya gerakan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Saiful menyimpulkan bahwa dalam hal apakah sila pertama Pancasila bisa mengakomodir pluralisme keagamaan atau tidak, di dalam masyarakat Indonesia, ada kelompok tertentu yang memiliki pandangan lebih eksklusif untuk Islam.

Survei SMRC ini dilakukan lewat tatap muka pada 10-17 Mei 2022. Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah Berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Dari populasi itu dipilih secara random (stratified multistage random sampling) 1220 responden.  Response rate (responden yang dapat diwawancarai secara valid) sebesar 1060 atau 87%. Sebanyak 1060 responden ini yang dianalisis. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,07% pada tingkat kepercayaan 95% (asumsi simple random sampling). ***