Stigma Islamofobia Muncul Akibat Aksi Radikal dan Terorisme

oleh -
Habib Husein Ja'far Al Hadar, S.Fil.I., M.Ag. (Foto: Humas Pusat Media Damai BNPT)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Selama 2 dekade terakhir, Indonesia mendapat banyak sorotan dunia akibat isu terorisme. Ideologi makar dan anti Pancasila hingga saat ini masih berkembang bebas dan berpotensi menyerang siapapun dan kapanpun tanpa pandang bulu.

Namun tidak mudah bagi pemerintah dan stakeholder terkait untuk mencegah dan mengatasi sebaran ideologi radikal dan terorisme tersebut. Terlebih ditengah beragamnya masyarakat kerap muncul narasi-narasi yang justru menyudutkan langkah yang diambil pemerintah sebagai Islamofobia.

Dai milenial, Habib Husein Ja’far Al Hadar, S.Fil.I., M.Ag. menanggapi narasi dari kelompok-kelompok atau oknum yang menyebut penanggulangan paham radikal terorisme yang mengatasnamakan agama oleh pemerintah dan stakeholder terkait sebagai Islamofobia. Menurutnya stigma Islamophobia muncul akibat hal-hal sifatnya radikalisme dan terorisme itu sendiri.

“Jadi justru penyebab Islamofobia itu adalah radikal terorisme, kalau upaya pengentasan radikal terorisme dianggap sebagai sebab munculnya islamophobia, hal ini adalah logika yang amburadul,” ujarnya di Jakarta, Rabu (13/10/21).

Ia memandang upaya penanggulangan terorisme yang dilakukan oleh pemerintah merupakan langkah penyelamatan untuk melindungi nilai-nilai Islam dari hal-hal yang bisa menyebabkan terkotorinya ajaran agama Islam yang mulia dan rahmatan lil alamin.

“Saat ini misalnya, Indonesia adalah kiblat bagi Islam dunia, karena Islam yang moderat. Jadi ketika Islamofobia menjadi tuduhan, justru dari sana kita semakin yakin bahwa langkah kita (dalam penanggulangan terorisme) benar. Karena kita menyelamatkan umat Islam dari orang-orang yang ingin membuat Islam sebagai sesuatu yang tunduk kepada kepentingan mereka,” tuturnya seperti dikutip dari siaran pers Pusat Media Damai (PMD) BNPT.

Pria yang meraih gelar Magister bidang Tafsir Qur’an dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga menjelaskan dua alasan dasar penyebab masyarakat kerap tidak menyadari dan mudah terpancing kepada gerakan makar yang bisa memecah persatuan bangsa.

“Yang pertama, adalah kurang pahamnya orang-orang atau kelompok itu terhadap Islam yang bersumber dari kebodohan. Karena kebodohan, keawaman, ketidakpahaman itu bisa menjadi bencana besar bagi umat Islam. Mereka (kelompok atau oknum) itu memahami seolah-olah agama Islam itu harus keras, jihadnya itu harus berperang dan lain sebagainya,” ucap pria kelahiran Bondowoso, 21 Juni 1988 silam ini.

Kedua, menurutnya adalah ketidakjernihan dalam hati.  Sehingga hati mereka dikotori oleh nafsu, kepentingan pragmatisme dan lain sebagainya. Sehingga bukan mereka yang menjadi hamba bagi agama Islam, tetapi agama Islam dijadikan alat untuk propaganda kepentingan mereka. Masih banyak masyarakat yang belum sadar bahwa lahirnya bangsa Indonesia ini merupakan nikmat dan rahmat Allah SWT yang tidak dimiliki bangsa lain.

“Kita perlu menyadari itu bahwa kita memiliki sesuatu yang sangat besar. Kita di Indonesia punya Pancasila dari awal sampai sekarang itu abadi. Dimana Pancasila itu adalah sesuatu yang merukunkan dan mempersatukan kita. Oleh karena itu Pancasila ini perlu dijaga,” ujarnya.

Pria yang menjabat sebagai Direktur Akademi Kebudayaan Islam Jakarta ini mengungkapkan, untuk  menjaga rahmat dan nikmat yang diberikan Allah SWT serta untuk menjaga diri agar tidak mudah terpapar ideologi lain menurutnya adalah dengan menyadari bahwa Pancasila yang kita miliki saat ini adalah sesuatu yang sudah sesuai dengan berbagai nilai yang kita yakini, yakni nilai nilai luhur.

“Pertama kalau kita bicara nilai luhur kemanusiaan, Pancasila itu telah melindungi seluruh nilai-nilai kemanusiaan kita. Keadilan dan lain sebagainya, dilindungi olehnya. Kemudian kalau kita bicara tentang keislaman, nilai kebangsaan dalam Pancasila itu sudah sesuai dengan nilai-nilai keislaman yang ada, Pancasila itu tegak lurus dengan piagam Madinah,” jelas pria yang juga kerap berdakwah melalui kanal Youtube ‘Jeda Nulis’ ini.

Sehingga menurutnya, cara menjaga yang paling efektif agar masyarakat kita tidak mudah terpapar ideologi lain adalah stimulasi dalam berbagai hal dan oleh berbagai kalangan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing yang intinya di setiap bidang melakukan berbagai upaya yang ujung dan akarnya sama, yaitu kewaspadaan bagi NKRI karena pada dasarnya manusia itu diciptakan dengan ruh Allah SWT yang penuh cinta yang tidak suka kepada makar, radikalisme ataupun terorisme.

“Oleh karena itu tugas para tokoh agama dan tokoh masyarakat adalah memaparkan balik atau membentengi mereka sebelum terpapar paham radikal dengan nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Dan sebetulnya ini mudah karena manusia pada dasarnya moderat. Islam itu agama yang moderat, sehingga kita tinggal mengembalikan mereka ke fitrahnya,” ungkapnya.

 

Dua Hal yang Harus Dilakukan Pemerintah

Aktivis di Gerakan Islam Cinta ini memandang perlunya militansi para tokoh agama dan masyarakat untuk secara intensif menyebarkan dan mengajarkan nilai-nilai agama yang moderat dan nilai kebangsaan sesuai kemampuan dan kapasitasnya masing-masing, baik melalui media sosial, ceramah-ceramah, dan buku-buku yang mereka tulis.

Tidak hanya itu, Habib Jafar juga menyinggung peran pemerintah dalam hal ini.

“Ada dua prinsip yang harus dilakukan pemerintah, yang pertama kerjasama antara masyarakat dalam fungsinya secara preventif dan pemerintah yang bertugas menindak tegas sesuai hukum yang ada. Kerjasama ini yang harus dilakukan bersama masyarakat di hulu sedangkan pemerintah di hilirnya,” ujarnya.

Terakhir, pemerintah juga harus mensupport Civil Society dalam hal apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk kemudian bekerja mengatasi radikal terorisme ini di hulu.

“Pemerintah dan civil society mencari format baru dan kekinian bagaimana menginternalisasi nilai-nilai Pancasila kepada para pemuda sehingga ketika ada virus-virus radikal terorisme mereka sudah imun, karena mereka sudah ditatar terlebih dahulu dengan ideologi Pancasila,” pungkasnya. ***