Sudahkah Petani Merayakan Hari Tani dengan Penuh Rasa Syukur dan Kegembiraan?

oleh -
Rawa Pening merasa ketakutan dan resah karena adanya patok-patok yang tiba-tiba berdiri diatas tanah dan/atau sawah milik mereka. (Foto; Ist)

Oleh: Francisca Romana, S.H., M.H.*)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID – Dalam pidatonya pada tahun 1952, Presiden Ir. Soekarno mengatakan “Sektor pertanian dan pangan merupakan soal mati hidupnya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan tidak dipenuhi maka malapetaka karenanya butuh usaha besar, radikal dan revolusioner” dan memberikan sebuah kepanjangan khusus untuk “Petani’, yakni sebagai Penyangga Tatanan Negara Indonesia.

Sebagai bentuk peringatan dalam mengenang sejarah perjuangan para petani serta membebaskannya dari penderitaan, 24 September ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional oleh Presiden Ir Soekarno dengan menerbitkan Keppres Nomor 169/1963. Penetapan 24 September penetapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Hari Tani Nasional yang sudah diperingati lebih dari setengah abad tentu memiliki makna penting bagi para petani terutama untuk keberlangsungan kehidupannya. Namun ternyata mayoritas petani baik penggarap maupun pemilik sawah masih miskin dan tertinggal.

Penyebab mengapa petani miskin adalah karena tanah garapan pertanian kecil, kapastas produksi kecil sehingga pendapatan kecil dan banyak petani terlilit hutang. Demikian pula petani yang memiliki sawah yang luas mendapat kendala ketika menjual hasil panennya, meskipun pemerintah telah memiliki program-program untuk para petani dan melakukan penyuluhan-penyuluhan kepada para petani.

Persoalan lain, adalah harga yang mahal dan kurang kompetitif, karena harga pupuk yang tinggi dan biaya logisitik yang tidak efisien karena tidak mengerti akses pemasaran. Hanya beberapa pihak seperti para pedagang dan penyalur produk pertanian yang menikmati untung yang besar sedangkan petani sebagai produsen tidak menikmati hasil usaha mereka.

Terlebih dengan adanya proyek-proyek strategis nasional yang berdampak pada berkurangnya bahkan hilangnya lahan produktif pertanian sangat merugikan petani. Petani akan kehilangan sawah dan masa depannya.

Hal ini dialami oleh petani Rawa Pening yang terdampak adanya proyek revitalisasi danau Rawa Pening.  Petani Rawa Pening sudah 3 tahun tidak dapat bercocok tanam dan panen. Pasalnya lahan sebagai sumber utama mata pencaharian mereka terendam air dan dilanda banjir akibat penutupan Pintu Air Tuntang. Meskipun sudah dibuka namun dampaknya masih menyisakan banyak masalah dan persoalan hukum.

Sesuai dengan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Tengah No. 16/2019 dan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang No.6/ 2011 kawasan disekitar sempadan danau Rawa Pening merupakan  kawasan perlindungan setempat, kawasan peruntukan pertanian dan pemukiman pedesaan dan perkotaan.

Kondisi faktual para petani, nelayan dan penduduk yang turun temurun telah hidup  dan berkembang serta memiliki bukti kepemilikan hak atas tanah (sertifikat) dan bukti kepemilikan hak milik adat yang tercatat secara sah.

UUPA telah memberikan kepastian hukum kepada orang dan badan hukum sebagai  pemegang hak atas tanah. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UUPA menyatakan “Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.

Dan Pasal 20 ayat (1) UUPA menyatakan Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 ayat (2) Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Namun saat ini petani Rawa Pening merasa ketakutan dan resah karena adanya           patok-patok yang tiba-tiba berdiri diatas tanah dan/atau sawah milik mereka. Mereka menjadi takut melanggar hukum untuk mengerjakan lahan milik mereka sendiri. Jika mereka tidak dapat bercocok tanam, bagaimana dengan kehidupan dan penghidupan mereka.

Keinginan petani Rawa Pening tidak muluk muluk mereka hanya ingin tetap bertani diatas tanahnya sendiri. Petani Rawa Pening tetap ingin mempertahankan kehidupan mereka sebagai petani dan menjadi bagian garda terdepan ketahanan pangan di Republik ini.

Para petani Rawa Pening membutuhkan bimbingan untuk ikut berkembang di Era Digital ini, antara lain dengan penerapan teknologi informasi di sektor pertanian. Selain itu, para petani Rawa Pening membutuhkan juga edukasi tentang teknologi pertanian yang baru dan supply chain untuk pupuk, menjual produk pertanian.

Disisi lain, mereka juga membutuhkan penyuluhan hukum tentang kredit pertanian dan prosesnya. Ini akan membantu para petani Rawa Pening lebih produktif dan efisien mengelola lahan mereka. Kesejahteraan akan menjadi nyata tidak hanya harapan saja, sehingga nantinya dapat memperingati hari Tani Nasional dengan penuh rasa sukur dan riang gembira.

Selamat Hari Tani Nasional Para Petani Indonesia.

#Rawapening Bertani.

 *) Francisca Romana, S.H., M.H. dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia DPP Ikatan Sarjana Katolik (ISKA).