Tantangan Pendidikan Indonesia di Masa Pandemi dan Pascapandemi

oleh -
FoKus -- Forum Diskusi -- ISKA Channel yang mengusung tema “Tantangan Pendidikan di Indonesia pada Masa Pandemi dan Pascapandemi”, yang dilaksanakan oleh Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) pada Jumat (23/4). (Foto: JN)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Dunia  pendidikan Indonesia dilanda perubahan besar bahkan radikal menyusul pandemi Covid-19. Metode belajar –  mengajar secara tatap muka dihentikan di semua  jenjang, digantikan  pola dalam jaringan (daring). Semua berlangsung mendadak, tanpa persiapan dan serba coba-coba.

Perubahan ini melahirkan pertanyaan besar. Generasi penerus  Indonesia seperti apa yang  akan dilahirkan model pendidikan virtual? Bagaimana pula dengan pembentukan karakter anak yang dihasilkan dari pola pendidikan jarak jauh seperti itu?

Menyongsong Hari Pendidikan 2 Mei 2021, FoKus —  Forum Diskusi   — ISKA Channel  menggelar diskusi dengan mengusung tema “Tantangan Pendidikan di Indonesia pada Masa Pandemi dan Pascapandemi” yang dilaksanakan pada Jumat (23/4).

ISKA menampilkan tiga sosok dalam diskusi secara daring ini antara lain anggota DPR RI dari Komisi X, Dr. Drs. Adrianus Asia Sidot, M.Si.,  Direktur Sekolah Menengah Pertama  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Drs. Mulyatsyah, dan Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Mentawai

Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Mentawai Motisokhi Hura. (Foto: JN)

yang membawa suara dari wilayah terpencil tanah air.

Mengawali diskusi, Motisokhi Hura membawakan materi tentang kondisi pendidikan di daerah Kepulauan Kabupaten Mentawai yang merupakan daerah 3 T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) yang berbatasan dengan negara-negara tetangga.

Kabupaten Mentawai terdiri dari 10 kecamatan, 43 desa dan 266 dusun yang berada di daerah pantai Sumatera, tepatnya di Provinsi Sumatra Barat. Menurut penelitian para ahli, daerah Mentawai ini merupakan daerah yang cukup rawan dalam hal gempa dan tsunami.

Motisokhi mengatakan, Kabupaten Mentawai merupakan daerah kepulauan, maka transportasi yang lebih aman adalah kapal laut. Sedangkan pesawat terbang cuma sekali seminggu.

Dalam bidang pendidikan, lembaga pendidikan di kabupaten ini terdiri dari: 1). 92 TK dengan jumlah siswa sebanyak 2210 orang. Semua lembaga pendidikan (TK) ini adalah lembaga pendidikan swasta. 2). 134 SD yang terdiri 127 SD Negeri  dan 7 SD Swasta. 3). 32 SMP yang terdiri dari 25 SMP Negeri dan 7 SMP Swasta. 4). 13 SMA, yang terdiri dari 11 SMA Negeri dan 2 SMA Swasta. Sedangkan SMK Negeri ada 3 unit. Selain itu ada 2 SLB, semuanya swasta.

Motisokhi mengatakan, selama masa Pandemi Covid 19 ini, proses pendidikan di Kepulauan Mentawai sangat terganggu. Kondisi ini sangat berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia, apalagi di kota-kota besar.

Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), katanya, dilaksanakan secara luring, kurang lebih 90%. Prosesnya adalah guru menyiapkan bahan ajar, termasuk tugas, dan diberikan kepada siswa sesuai jadwal yang ditetapkan oleh sekolah. Tiap hari siswa datang ke sekolah untuk menerima bahan ajar dan juga mengumpulkan tugas.

“Sedangkan KBM daring cuma bisa dilaksanakan di kota kabupaten, itu pun tidak merata di semua lembaga pendidikan, karena jaringan internet pun terbatas. Maka salah satu cara yang dipakai adalah guru harus mengunjungi siswa. Para siswa harus dikumpulkan di salah satu tempat untuk bisa menjalani KBM  kunjungan tersebut,” ujarnya.

Kabupaten Kepulauan Mentawai, katanya, benar-benar melaksanakan program pemerintah, yakni protokol kesehatan (prokes). Salah satunya adalah semua guru dan tenaga kependidikan harus mengikuti program “Test Swab”. Dan ternyata dalam program ini, ada beberapa guru yang terindikasi positip Covid-19. Oleh karena itu, Bupati dan Dinas Pendidikan harus membatasi jam KBM di beberapa lembaga pendidikan.

Menghadapi kondisi seperti di atas, katanya, sebenarnya orang tua/wali pun harus terlibat dalam membantu pendidikan anak-anak di rumah. “Namun apa daya, kebanyakan orang tua di sini pun mengalami keterbatasan pendidikan dan ekonomi. Dengan demikian, hal ini menghambat kemajuan pendidikan anak-anak di daerah kami. Kami dari dinas pendidikan juga mencoba menyumbangkan HP kepada sebagaian siswa, tapi mereka menyalahgunakan HP dgn main ‘game’,” katanya.

“Selain kendala-kendala di atas, ada lagi satu kendala yang kami alami di sini, yakni ketersediaan tenaga listrik yang belum merata di seluruh Kabupaten Kepulauan Mentawai,” ujarnya.

 

Direktur Sekolah Menengah Pertama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Drs. Mulyatsyah. (Foto: JN)

Risiko Ketertinggalan Pembelajaran Anak

Sementara itu, Direktur SMP Kemendikbud, Mulaytsa mengatakan Pandemi Covid 19 ini merupakan musibah bagi seluruh umat manusia. Karena itu, harus disikapi dengan semangat optimistis. “Karena itu, anak-anak harus kita maksimalkan kemampuannya dalam pembelajaran, apa pun caranya,” ujarnya.

Mulaytsa mengatakan, dampak psikologis KBM jarak jauh bagi anak-anak kita antara lain mereka merasa jenuh karena berada di rumah terus. Karena itu, banyak di antara mereka juga yang terpaksa putus sekolah.

Selain itu ada dampak sosiologis. Misalnya, orang-orang mulai bertanya, di mana peran pemerintah, di mana peran guru dan masyarakat.

Semua hal itu adalah tantangan bagi pendidikan kita saat ini. “Dan yang paling mengkhawatirkan kita adalah risiko ketertinggalan pembelajaran anak-anak, alias ‘lost learning’ bagi anak-anak kita. Ini adalah tantangan terberat kita saat ini. Tapi kita tidak boleh duduk diam. Harus ada kerja sama yang sinergis antara pemerintah, guru, orang tua dan masyarakat,” ujarnya.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengambil langkah untuk menetapkan regulasi sesuai dengan ketetapan SKB dari 4 menteri, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama dan  Menteri Kesehatan. Semua daerah di Indonesia, baik zona merah, oranye, kuning, maupun hijau, harus menerapkan sistem KBM daring.

Dia mengatakan, baru pada Bulan Agustus dan Oktober 2020, pembelajaran tatap muka bisa dimulai untuk zona kuning dan zona hijau. Sedangkan zona merah dan oranye harus fokus pada pembelajaran jarak jauh.

Kemudian pada Bulan Januari 2021, Kemendikbud bersama tiga kementerian lainnya melakukan relaksasi kembali, yaitu memberi kewenangan penuh kepada pemerintah daerah, karena merekalah yang lebih tahu kondisi daerah.

Mulaytsa mengatakan, secanggih apa pun alat teknologi, tidak mampu menyaingi metode pembelajaran tatap muka, karena metode pembelajaran tatap muka, jauh lebih efektif.

“Oleh karena itu, sehebat apa pun guru, guru harus bersosialisasi langsung dengan siswa,” ujarnya.

Dari hasil survey di 34 provinsi, dan 514 kabupaten dan kota di Indonesia,  ternyata hanya 22% daerah yang melakukan kegiatan pembelajaran tatap muka. Selebihnya 78%, menjalankan metode pembelajaran luring dan daring. Semua kendala ini haruslah kita atasi dengan memberi bantuan quota internet kepada para guru dan siswa, dengan harapan agar mereka semaksimal mungkin harus belajar.

Ke depan, katanya, pemerintah telah melakukan vaksinasi kepada para guru secara bertahap. Targetnya, pada Bulan Juni 2021, semua guru, baik guru negeri maupun swasta harus sudah divaksin.

Selain itu, ke depan kita akan mengembangkan sarana berupa teknologi komunikasi secara bertahap untuk semua daerah yang terpencil, termasuk di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat.

Dia optimistis, apabila dijalankan secara bersama-sama, semua program akan berjalan baik. “Kami dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus membantu dari aspek penggunaan pembelajarannya. Demikian pula peran dari dunia industri, masyarakat dan pemerintah daerah, harus membantu dari segi sarana internet dan listrik,” ujarnya.

Yang juga penting, katanya, pihaknya juga memberi ruang kepercayaan kepada para guru untuk meniadakan dan menghapus program ujian nasional (UN). Ini sesuai Surat Keputusan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tetanggal 1 Januari 2021. Ujian kelulusan siswa ditentukan oleh para guru dan satuan pendidikan. “Karena merekalah yang paling tahu dan mengerti potensi dan kemampuan anak-anak kita. Hal inilah yang disebut kemerdekaan belajar bagi anak-anak kita, sebagaimana diprogramkan oleh Menteri Pendidikan kita, Nadiem Makarim,” ujarnya.

Ke depan, dia berharap, pembelajaran tatap muka kembali dibuka. Namun tentu dengan mempertimbangkan kondisi daerah dan tetap atas seizin orang tua siswa.

Pengalaman ini, katanya, bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga di berbagai negara. Dari 27 negara di Asia Pasifik, ada 23 negara yang sudah menjankan program KBM tatap muka.

“Jadi ada 87% negara-negara di Asia Pasifik yang sudah melaksanakan pembelajaran tatap muka, seperti Laos, Kamboja, Vietnam dan 24 negara lainnya. Dan besar harapan, mulai tahun ajaran baru di Bulan Juli 2021, KBM tatap muka harus sudah diberlakukan di seluruh Indonesia,” ujarnya.

 

anggota DPR RI dari Komisi X, Dr. Drs. Adrianus Asia Sidot, M.Si. (Foto: JN)

Berkat Terselubung

Anggota Komisi X DPR RI, yang juga Ketua Dewan Pakar ISKA, DR Drs Adrianus A. Sidot, mengatakan pandemi Covid-19 ini bisa dilihat dari dua sisi, yaitu tatanan ekonomi dan sosial.

Dia mengatakan, seluruh aspek kehidupan menjadi terhalang. Misalnya orang tidak boleh ke Gereja, tidak boleh ke Masjid, Pura, Wihara dan Klenteng. Selain itu para guru dan siswa tidak boleh menjalankan KBM tatap muka, dan sebagainya.

Namun khusus di bidang pendidikan, Adrianus melihat adanya “blessing in disguised” (berkat terselubung). “Entah mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, KBM harus dijalankan secara ‘on line’ atau daring. Karena itu, pandemi ini bisa mempercepat kita untuk melakukan pembelajaran secara daring,” ujarnya.

Selaku mitra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Komisi X, katanya, sangat mendukung upaya pemerintah dalam sistem penbelajaran jarak jauh, relaksasi BOS, bantuan quota internet bagi para guru dan siswa, perluasan KIP dan seterusnya.

“Seberat apa pun tugas dan pekerjaan yang kita lakukan, akan mudah diselesaikan, apabila dilaksanakan secara bersama-sama,” ujarnya.

Lantas bagaimana dengan masa depan pendidikan kita? Dia mengatakan, ada dua sisi, yaitu optimisme dan pesimisme dalam melihat pendidikan tersebut.

“Jika pengalaman buruk selama ini dapat dijadikan pelajaran berharga bagi seluruh kepentingan untuk mendisrupsi, mereformasi, merekonstruksi sistem pendidikan kita, maka saya optimistis bahwa setelah berakhirnya Pandemi Covid  19 ini, sistem pendidikan di Indonesia pasti berubah lebih baik dan mampu mewujudkan kualitas pendidikan yang dicita-citakan,” ujarnya.

Kondisi saat ini, misalnya, bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan literasi dan sains peserta didik dan meningkatkan kompetensi kelulusan. Karena itu, katanya, “political will” dari Komisi X DPR RI, ditunjukkan dengan mendorong Kemendikbud untuk membuat peta jalan pendidikan, dan segera menjalankan UU Nomor 20, Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional.

Selain itu, kata Adrianus, Komisi X DPR RI juga menghendaki agar UU tentang Sistem Pendidikan ke depan, harus dilaksanakan dalam semangat sistem “Omnibus Law”, di mana semua aturan ketentuan, dan pengaturan, harus ada dalam satu undang-undang saja.

Seperti diketahui, saat ini ada UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Selain itu, ada UU nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU nomor nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, dan UU nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Oleh karena itu, Adrianus mengharapkan Mendikbud agar mempunyai komitmen yang kuat untuk mereformasi pendidikan nasional dan melaksanakannya secara konsisten.

Pendidikan nasional juga, katanya, harus mampu merespon, mengantisipasi perubahan yang terjadi semakin cepat dan semakin cepat, karena adanya disrupsi teknologi. Misalnya kemunculan “artificial  intelligent”, merekonstruksi pola-pola produksi, pasar, perbankan, peran pemerintah, hubungan antar negara, dan lain sebagainya.

Demikian juga “On line learning dan open school” akan mendorong terjadinya perubahan terhadap peran guru. Kalau guru saat ini adalah orang yang paling sentral di depan kelas, maka kemungkinan ke depan akan terjadi pergeseran-pergeseran.

Jika perbaikan ini terjadi, maka ke depan, tugas guru hanya menjadi PPL, tutor atau fasilitator dan pembimbing, bukan hanya di depan kelas saja, tapi juga di ruang publik yang lain.

“Saat saya masih menjabat sebagai bupati dan Kepala Dinas Pendidikan di Kalimantan Barat, saya mengatakan bahwa KBM itu bukan hanya di ruang kelas, tapi juga bisa di alam bebas,” pungkasnya. (Ryman)