Tantangan Pers di Tengah Pandemi, Mempertahankan Kredibilitas di Era Post-Truth

oleh -
Tantangan dunia pers di tengah pandemi. (Foto: Ilustrasi)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Bertepatan dengan peringatan Hari Pers Nasional, LP3ES menggelar Forum 100 Ilmuwan Sosial Politik pada Selasa (9/2). Ruang diskusi tersebut menjadi spesial tidak hanya karena bertepatan dengan Hari Pers Nasional, tetapi juga turut menghadirkan dua jurnalis nasional, Ninuk Mardiana Pambudy dari Kompas dan Budi Setyarso dari Tempo. Hadir juga dua pakar di bidang media dan pers, Nurul Hasfi dan Herlambang P. Wiratratman.

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto membuka forum dengan memaparkan tiga tantangan pers di era Pandemi.

Pertama, ekonomi politik konglomerasi media. Tantangan ini berarti pula tidak ada diversity of ownership dan menimbulkan potensi kedekatan dengan kekuasaan yang dikhawatirkan dapat mengurangi independensi dari media.

Kedua, budaya talking and click-bait journalism. Tentu saya hal ini menimbulkan bias. Tetapi dalam kasus pandemi, bias-nya menjadi lebih parah karena media membantu mengamplifikasi blunder dari pemerintah dan memperburuk pusaran disinformasi. Berita yang hanya mengandalkan kutipan pejabat itu tidak mengedukasi publik tentang bahaya Corona. Misalnya, kutipan dari statement Mahfud MD: “Dalam kelakarnya, Menko Perekonomian Airlangga bilang: Karena peizinan di Indonesia berbelit-belit maka virus corona tak bisa masuk. Tetapi Omnibus Law tentang perizinan lapangan kerja jalan terus.”

Ketiga, manipulasi opini publik di media sosial yang terjadi di lima kasus politik di Indonesia (Pilpres 2019, Revisi UU KPK, New Normal, Omnibus Law, dan Pilkada Serentak).

Berdasarkan riset LP3ES yang bekerjasama dengan KITLV Leiden, Universitas Amsterdam dan Media Karnell Indonesia, ada upaya manipulasi opini publik di media sosial untuk membenarkan kebijakan-kebijakan yang bermasalah. Manipulasi tersebut dapat diamati dari munculnya narasi yang berupa teks, foto dan meme di sosial media yang diluncurkan secara tiba-tiba oleh cyber troops. Ada cyber troops yang terdiri dari buzzer, influencer, dan bots yang jumlahnya sangat banyak, mereka beroperasi secara sistematis dan terstruktur. Beberapa akun bahkan juga muncul di lebih dari kasus.

Keberadaan dari cyber troops tersebut bertujuan untuk membentuk opini publik untuk suatu tujuan tertentu. Kemudian, media mainstream terbawa oleh trending yang ada di Twitter, padahal trending tersebut dibentuk dari manipulasi opini publik oleh cyber troops.

“Di tengah laju regresi demokrasi di Indonesia, pers merupakan institusi yang diharapkan memiliki peran penting dalam menahan laju regresi dan mendorong terwujudnya konsolidasi demokrasi. Itu bisa dilakukan dengan menghadirkan kontrol pada kekuasaan dan menyuarakan amanat hari nurani rakyat,” ujar Wijayanto.

 

Keharusan Perbaikan Diri dari Dalam

Ninuk Mardiana Pambudy memulai paparan dengan menyampaikan pengalamannya sebagai redaktur senior Harian Kompas. Ia mengakui bahwa ada perbaikan diri dari dalam, misalnya terkait dengan Tribunnews, terkait dengan budaya click-bait yang dikoreksi secara internal selama setahun belakangan.

“Kita menyadari bahwa jurnalisme tidak hanya mengejar click. Semua media sudah ada dalam satu pilar media, sehingga komunikasi internal menjadi semakin baik. Upaya tersebut juga diikuti oleh pengembangan sumber daya manusia melalui pelatihan-pelatihan,” ujar Ninuk.

Ketika ada Pandemi menjadi berat, karena penopang upaya masih pada Kompas Cetak. Sementara Revenue utama bukan dari pelanggan, tetapi dari iklan. Jadi, begitu pandemi mulai mewabah, jumlah iklan pun menurun drastis. Sehingga tidak mengherankan jika banyak media cetak yang gulung tikar selama Pandemi, hanya beralih ke media online saja. Ketika mau berpindah ke digital pun tidak murah, terutama untuk manajemen dan perawatan IT.

“Bukan hanya mendapatkan teknisi IT yang mahal, mencarinya pun susah. Jadi bersaingnya bukan hanya sesama digital, tetapi media-media baru yang beralih ke online,” ujarnya.

Tantangan lainnya adalah mengubah budaya kerja. Setelah Kompas beroperasi selama hampir 56 tahun, Kompas hanya memprioritaskan cetak saja. Kemudian, tiba-tiba beralih ke media daring dan dalam sehari dituntut untuk menerbitkan dua tulisan. Itu bukan pekerjaan yang mudah, tentunya.

Terlebih ketika Pandemi datang, perubahan tersebut harus terjadi dengan semakin cepat secara tiba-tiba. Kemudian, wartawan juga tidak bisa work from home dan harus turun lapangan untuk mencari berita.

Jika dikaitkan dengan regresi demokrasi, justru media arus utama ini menjadi semakin penting keberadaannya. Karena orang akan mencari berita yang akurat dan bisa dipercaya. “Yang menarik, kepercayaan publik kepada media konvensional itu jauh lebih baik dibandingkan media-media online. Artinya, masih ada yang percaya dengan media sosial, ada yang percaya pada media konvensional,” katanya.

Menjadi dilema ketika kualitas dari berita harus dipertahankan, padahal di saat bersamaan post-truth pun mengancam dengan hadirnya buzzer untuk memanipulasi opini publik.

Pada Pemilu 2019, buzzer menyerbu hasil survey litbang Kompas yang menunjukkan suara untuk Prabowo lebih tinggi dari Jokowi. Doxing pun dialami oleh Pimpinan Redaksi Harian Kompas tersebut, juga anjuran untuk tidak membaca Kompas.  “Mempertahankan kredibilitas merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengatasi permasalahan di era post-truth,” ujarnya.

Budi Setyarso pun merespons dengan memaparkan tantangan yang dialami pers di tengah situasi melemahnya demokrasi selama Pandemi. Media arus utama tetap relevan selama Pandemi, karena memiliki struktur newsroom yang bisa memastikan akurasi informasi yang dipublikasikan. Terlebih, media arus utama memiliki tanggung jawab profesi, termaksud aturan kode etik. Kecepatan media sosial memang unggul, tetapi kelengkapan infomasi masih belum bisa dipenuhi oleh media sosial.

“Di tengah politik yang semakin sentralistik, media yang mampu berperan sebagai watchdog sangat diperlukan untuk mengontrol kekuatan pemerintah. Terutama di tengah longgarnya peraturan tata pemerintah dan melemahnya oposisi,” ujar Budi.

Sementara itu, di sisi lain, ada penurunan bisnis akibat Pendemi dengan menurunnya pendapatan media massa dari iklan dan sirkulasi. Kemudian, kecepatan peredaran produk media arus utama tidak secepat hoaks, karena media arus utama memiliki standard tertentu.

Media independen perlu didukung kemampuan resisten yang baik dan menjalin hubungan dengan pembaca untuk meningkatkan kredibilatas dan juga independensi. Lalu, perkembangan teknologi digital sudah tak terelakan lagi, sehingga memperluas basis pendapatan dalam sirkulasi digital menjadi solusi yang efektif untuk mengatasi menurunnya pemasukan dari iklan di media cetak.

 

Tantangan Dunia Pers

Sementara itu, Nurul Hasfi memaparkan bagaimana Pandemi Covid-19 merupakan tantangan yang berat bagi media pers. Media-media cetak mengalami dampak dari Pandemi. Salah satunya adalah Koran Tempo yang beralih sepenuhnya menjadi digital dan koran Indopos tutup, baik cetak maupun digitalnya. Suara Pembaruan pun menghentikan cetaknya.

Tantangan Pers dan demokrasi selama Pandemi, katanya, dapat dilihat dari berbagai aspek.

Pertama, sisi lingkungan politik, subsidi pers dari pemerintah dan dana iklan dari pemerintah. Ada usulan dari Dewan Pers untuk Pemerintah berupa subsidi pers untuk menyokong pers selama Pandemi. Lalu ada fellowship yang disebut “Ubah Laku” untuk jurnalis dimana pemerintah memberikan sejumlah uang dengan balasan berupa berita tentang Covid-19.

“Dengan berhentinya iklan dari sektor swasta, pemerintah pun mendominasi pemasukan iklan di media. Faktor ini mengancam independensi media,” ujar Nurul.

Kedua, terkait lingkungan ekonomi dimana adanya persaingan dengan Technology companies, pers kehilangan ciri khasnya, market driven, audience driven. Berbagai hal tersebut mengakibatkan semakin berkembangnya click bait journalism dan mengancam pluralisme dan diversity of content.

Terakhir, dari lingkungan profesi, ada tantangan yang berupa perubahan pola kerja selama melakukan social distancing menyebabkan jurnalis tidak maksimal dalam menjalankan tugas terkait verifikasi dan juga perubahan teknik peliputan yang semakin mengutamakan online media.

Menutup paparan pembicaraan, Herlambang P. Wiratratman menyampaikan beberapa hal krusial yang dialami jurnalis terkait dengan pelanggaran HAM.

Menurutnya, ada peningkatan kekerasan yang dialami jurnalis yang mencapai 117 kasus selama tahun 2020. Kemudian, ada pula serangan digital berupa kasus internet shutdown di Papua, peretasan situs Tempo dan Tirto, juga doxing atau persekusi digital.

Selain itu, ada pula kasus kriminalisasi yang melibatkan Diananta Putra Sumedi. Lalu, ada pula buzzer yang menyerang iklan media, utamanya kasus Tempo paska laporan investigasi “Tiga Penguasa bansos.”

Herlambang mengatakan, dampak Covid-19 dan kemunduran Demokrais di lingkup pers meliputi beberapa hal krusial.

Pertama, menguatnya ‘dengerous disinfodemic’ dimana ada 3500 informasi paslu di lebih dari 70 negara dan 40 bahasa.

Kemudian, keselamatan jurnalis menjadi pertaruhan di tengah keterbatasan mengupayakan karya jurnalistik yang indemendem, berkualitas dan terpercaya. Lahirnya aturan-aturan atau kebijakan yang membatasi HAM dan kebebasan pers, juga dampak ekonomi yang dialami oleh lembaga-lembaga media di berbagai belahan dunia.

Situasi krisis/kemunduran demokrasi yang tengah di alami Indonesia, anti kritik dan anti sains, meningkatkan kemungkinan otokratisme mengendalikan sepenuhnya teknologi digital, tanpa kontrol, transparansi kebijakan dan membungkam kritik/perbedaan, bahkan pembiaran atas tekanan/ancaman digital tanpa pertanggungjawaban hukum.

Politik hukum media sudah seharusnya lebih memperkuat pondasi jaminan kebebasan pers, ekspresi, hak atas infomasi, serta perlindungan hak-hak digital. Pembatasan, penegakan hukum, terkait itu harus diupayakan sesuai standar hukum HAM internasional, misalnya doktrin dalam ICCPR, Siracusa Principles, Paris Principles, Johannesburg Principles.

“Perlindungan terhadap jurnalis tidak cukup dengan ketentuan MOU Dewan Pers, namun harus dibarengi dengan mengawal penegakan hukum yang berintegritas, desain badan independen sebagai akuntabilitas atas kuasa digital, penguatan ruang kebebasan sipil, terutama di tengah menguatnya otoritarianisme digital,” ujarnyanya. (Ryman)