Tarian “Poco-poco” Arah Pemberantasan Korupsi di Indonesia

oleh -
Paramadina Public Policy Institute menyelenggarakan diskusi bertajuk "Pengkerdilan KPK & Membaca Arah Politik Anti-Korupsi di Indonesia" yang dilaksanakan secara virtual Senin (7/6). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Paramadina Public Policy Institute menyelenggarakan diskusi bertajuk “Pengkerdilan KPK & Membaca Arah Politik Anti-Korupsi di Indonesia” yang dilaksanakan secara virtual Senin (7/6).

Hadir sebagai pembicara yakni Giri Suprapdiono, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK, Dr. Thomas Power, University of Sydney, Dr. A. Khoirul Umam, Managing Director Paramadina Public Policy Institute, Razikin, PP Pemuda Muhammadiyah, Dr. Marzuki Wahid, Sekretaris Lakpesdam NU, dengan moderator yaitu Ikhsani, Mahasiswi PGSD.

Dalam sambutannya Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J. Rachbini mengajak para hadirin untuk selalu mendukung upaya-upaya pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan negara yang bersih.

Saat menyinggung perkembangan terkini KPK ia menuturkan bahwa Test Wawasan Kebangsaan (TWK) ini hanya sebuah dampak dari ujungnya yang berada pada amandemen UU KPK. “Karena ini kan demokrasi harus kita kritisi, pemerintah, negara yang menjalankan pemerintahan harus kita kritisi agar tidak melenceng,” ujar Didik.

Giri Suprapdiono dalam paparannya menyatakan bahwa dalam perkembangan sejarah pemberantasan korupsi, Indonesia selalu bersifat seperti tarian “poco-poco”.

Dia mengatakan bahwa sejak tahun 1954 Indonesia pernah membentuk lembaga anti korupsi yang berjalan bagus namun dibubarkan. Kemudian dibentuk lag pada 1967 dan kemudian dibubarkan. Demikian pada tahun 1977 dibangun lagi dan kembali lagi dibubarkan. Kemudian pada 1987 mendirikan lagi dan sudah berjalan bagus namun dibubarkan. “Lantas tahun 1997 dibentuk lagi dan nggak kepikiran bubarin, negaranya hampir bubar, krisis ekonomi. Orde baru apa yang kita ambil, ternyata tidak boleh otoritarianisme, kepemimpinan enggak boleh tunggal,” ujarnya.

Pada era reformasi muncullah lembaga-lembaga baru seperti KPK, Komisi Yudisial, Komisi Konstitusi, dan lembaga lain yang dipimpin oleh banyak komisioner, agar tidak terpusat pada salah satu pimpinan.

“Orang selalu mengulangi kesalahan yang sama. KPK yang sudah mulai efektif dan menunjukkan prestasi pemberantasan korupsi sekarang mulai direposisikan ulang. Politisi bercita-cita merevisi UU KPK merupakan salah satu bentuk poco-poco tadi. Ketika ini dijalankan, akhirnya coruptors fight back,” ujarnya.

Terkait akar permasalahan korupsi, Giri menyatakan bahwa sistem politik kita tidak rasional. Hal itulah yang kemudian mendorong pikiran-pikiran tidak rasional termasuk korup dan memikirkan bagaimana memperlemah  pemberantasan korupsi.

Sistem yang tidak rasional ini, katanya, memunculkan dua hal, yaitu bagaimana mengembalikan uang yang dikeluarkan dalam politik, dan mencari uang lagi untuk akan digunakan untuk proses pemenangan berikutnya.

“Maka yang terjadi adalah politik sebagai alat logistik. Maka unsur lain menjadi tidak penting, termasuk pemberantasan korupsi,” katanya.

Dr. Thomas Power menjelaskan tahapan-tahapan dalam pelemahan terhadap KPK. Yaitu menempatkan sebagian elit politik di luar jangkauan KPK, melakukan intimidasi terhadap penyidik KPK, mendelegitimasi diskursif terhadap penyidik independen, pengangkatan perwira aktif polisi menjadi pimpinan KPK, dan revisi UU KPK serta implementasi RUU KPK (alih status menjadi ASN).

“Sejak penetapan Jokowi sebagai Presiden tahun 2014 kita bisa melihat sebagian elit politik di luar jangkauan KPK. Terlihat jelas dibanding zaman SBY,” ujarnya.

 

Tak Terlepas dari Fenomena Kekuasaan

Ahmad Khoirul Umam menyatakan bahwa apa yang terjadi di KPK saat ini tidak terlepas dari fenomena politik. “Hampir semua lembaga anti korupsi di Indonesia secara historis mengalami penghancuran ketika sudah  menyentuh lingkaran internal kekuasaan dan kemudian tidak ada leadership memadai untuk memberi proteksi terhadap lembaga anti korupsi, seringkali itu kemudian dihadapkan pada realitas penghancuran lembaga anti korupsi,” ujarnya.

Umam menuturkan situasi yang terjadi di KPK saat ini tidak mengagetkan. Lahir dari rezim pemerintahan yang didukung sebagai representasi kekuatan yang lebih demokratis, tapi tidak memberikan ruang yang memadai bagi menguatnya kekuatan demokrasi di Indonesia.

“Pasca reformasi, KPK merupakan satu-satunya instrumen penegakan hukum yang bisa melakukan koreksi terhadap kekuasaan,” katanya.

Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), katanya, hanyalah symptom dari berjalannya politik Neo-patrimonialisme. “Kalau sekarang KPK dibunuh, ini akan menjadi awal bangkitnya rekonsolidasi kekuatan neo-otoriteritarianisme di masa 23 tahun reformasi ini,” pungkasnya.

Marzuki Wahid menyatakan bahwa korupsi adalah penghianatan besar terhadap amanat rakyat. “Menurut ijma ulama juga menyatakan bahwa korupsi bukan hanya sekadar haram tapi juga keharaman yang berat dan termasuk dosa besar. Tindak pidana korupsi itu extra ordinary crime karena melawan kemanusiaan hukum dan hukum syariat. Dalam sumber ajaran islam menurut al-Quran dan hadits, semua mengharamkan korupsi dengan berbagai bentuknya,” ujarnya.

Menyinggung perkembangan KPK, ia menyatakan “KPK harus independen, tidak partisan, tidak terpengaruh faktor di luar KPK. KPK harus konsisten, berintegritas, dan diberi kewenangan khusus. Saya berharap Presiden Jokowi harus membuktikan kalau dia sungguh-sunguh ingin menegakkan pemberantasan korupsi ini sesuai janjinya”.

Terkait Tes Wawasan Kebangsaan ia menuturkan bahwa orang-orang yang sudah terbukti di KPK, lama bekerja, namun dibilang tak bisa dibina hanya karena tes TWK, yang secara substantif dan metodologi masih bermasalah.

Jadi, katanya, TWK hanya satu intrumen atau alat saja. “Sebelumnya sudah ada skenario kekuatan dibalik ini untuk melemahkan KPK dengan cara-cara seperti ini. Pelemahan KPK ini harus kita hentikan, jangan sampai KPK dilemahkan, kalau itu terjadi korupsi akan menggurita,” ujarnya.

Razikin menggarisbawahi pentingnya kelompok civil society agar tidak hanya memberi dukungan penuh terhadap KPK, tapi juga harus memberi kritikan tajam kepada kepolisian dan kejaksaan dalam hal pemberantasan korupsi.

“Pemuda Muhammadiyah posisinya sangat tegas, selalu hadir memberikan dukungan kepada KPK,” pungkasnya. (Ryman)