Teras Narang Sebut Empat Cara untuk Melanggengkan Kekuasaan

oleh -
Dialog Kebangsaan Serie 2 bertema ‘Kudeta Konstitusi: Indonesia Menuju Negara Diktator’, yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia (DPP PARKINDO) Masa Pelayanan 2021-2026 secara virtual, pada Selasa, 08 Maret 2022.

Jakarta, INDONEWS.ID — Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) asal Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, mengingatkan bahwa seseorang yang memegang kekuasaan biasanya akan melakukan empat hal untuk terus melanggengkannya.

Pertama, katanya, seseorang yang sedang berkuasa akan berupaya mempertahankan kekuasaannya. Kedua, seseorang yang berkuasa akan memperbesar dan memperluas kekuasaannya. Ketiga, seseorang yang berkuasa akan berkeinginan berkuasa lagi.

“Keempat, seorang penguasa akan mempergunakan kekuasaannya itu, memanfaatkannya lewat alat-alat kekuasaan dan berbagai cara lainnya,” ujar Teras Narang dalam Dialog Kebangsaan Serie 2 bertema ‘Kudeta Konstitusi: Indonesia Menuju Negara Diktator’, yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia (DPP PARKINDO) Masa Pelayanan 2021-2026 secara virtual, pada Selasa, 08 Maret 2022.

Karena itu, Teras Narang juga mempertanyakan statement dari Menteri Investasi Indonesia yang merangkap Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia terkait menambah jabatan Presiden Joko Widodo menjadi tiga periode.

“Siapa sih Bahlil itu? Kok mengukur Konstitusi Negara Indonesia hanya dengan urusan ekonomi saja?” ujar Teras.

Mantan Gubernur Kalimantan Tengah dua periode ini menegaskan, Indonesia adalah Negara Hukum. Dan Konstitusi yaitu UUD 1945 itu adalah hukum yang wajib ditaati oleh seluruh elemen masyarakat dan bangsa Indonesia.

“Indonesia adalah Negara Hukum. Kok bisa-bisanya menteri mengobok-obok Konstitusi kita dan kok dia merasa berhak melakukan perubahan konstitusi dengan alasan-alasan ekonomi yang dibuat-buat dia itu?” tanya Teras.

Mantan Ketua Komisi II dan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDIP ini menegaskan, seperti halnya Presiden, maka para menteri wajib tunduk, taat dan menjalankan amanat Konstitusi.

“Bukan malah jadi dia yang mengobok-obok konstitusi dong. Ini berbahaya sekali menteri seperti itu. Mereka kan seharusnya melaksanakan mandat rakyat secara patuh seperti yang tertuang di UUD 1945,” lanjut Teras.

Teras juga mengatakan bahwa saat ini pola pembagian kekuasaan ke daerah telah kembali dikebiri. Sebab, Otonomi Daerah atau Desentralisasi itu sudah tidak berjalan.

“Seperti di Undang-Undang Minerba itu, yang tadinya diserahkan ke daerah, sekarang ditarik kembali ke pusat. Apakah pusat tidak percaya dengan kepala-kepala daerah itu? Kepala-kepala daerah kan pemimpin di daerah yang dipilih secara langsung dan demokratis juga oleh rakyat di daerah,” tutur Teras.

Oleh karena itu, Tokoh Masyarakat Dayak ini mengusulkan agar dilakukan evaluasi terhadap Gerakan Reformasi yang digulirkan pada 1998 itu. Sebab, desentralisasi juga adalah adalah satu hasil dari gerakan reformasi itu.

“Kita perlu melakukan evaluasi terhadap Reformasi. Untuk melihat mana yang perlu diperkuat, mana yang perlu dipertahankan, dan mana yang perlu diperbaiki,” ujarnya.

Untuk dugaan “kudeta konstitusi” dengan alasan masa jabatan Presiden, Teras Narang menyebut, sejauh ini di Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), belum ada pembahasan atau usulan untuk membahas perubahan UUD 1945, terutama dalam urusan masa jabatan Presiden.

“Yang ada, beberapa kawan sesama anggota DPD, bisik-bisik di luar, mengenai masa jabatan Presiden ini. Dan yang saya tangkap, teman-teman itu tidak setuju dengan perubahan masa jabatan atau pun perpanjangan masa jabatan Presiden itu,” tutur Teras.

Mantan Gubernur Kalimantan Tengah dua periode ini menyebut, dalam melakukan perubahan UUD 1945, ada mekanisme panjang yang harus diikuti. Setiap anggota DPR bersama anggota DPD untuk MPR, juga dihitung dalam pengusulan perubahan UUD 1945.

“Itu pun belum tentu usulan akan disetujui untuk melakukan pembahasan. Mesti jelas data, fakta dan juga prosesnya. Nah, kami di DPD belum ada membahas soal itu. Mungkin nanti dalam rapat DPD akan coba ditanyakan,” tutur Teras Narang.

Mantan Ketua Komisi II dan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDIP ini juga menyatakan tidak setuju agar usulan perubahan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden itu dibahas di DPD dan MPR.

“Sebab, sejauh ini tidak ada usulan, dan tidak ada kondisi yang memaksa agar itu dibahas. Situasi Indonesia aman-aman saja. Masih dalam kendali yang normal. Kita memang harus taat dan tunduk kepada konstitusi kita yakni UUD 1945,” ujar Teras Narang.

Teras menyampaikan, pihaknya akan mempercakapkan kondisi ini di internal DPD RI. “Mungkin nanti di dalam rapat DPD akan kita pertanyakan juga,” ujarnya.

Sementara itu Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof Dr John Pieris menyampaikan bahwa usulan untuk menambah masa masa jabatan presiden menjadi tiga periode, atau usulan menudan pemilu 2024 adalah bentuk pembangkangan terhadap konstitusi yang sah.

Apalagi, katanya, jika wacana itu hanya dikarenakan kepentingan sempit oleh para oknum tertentu. Maka mereka layak mendapatkan sanksi atas dugaan pelanggaran konstitusi tersebut.

“Mereka bisa dikenakan sanksi. Walau pun sanksinya bukan lewat proses yudisial atau peradilan, tetapi sanksi sosial dan sanksi politik dari masyarakat sangat nyata,” ujar Prof John Pieris. ***