Tidak Cukup Toleransi, Solidaritas Lebih Dibutuhkan dalam Keadilan

oleh -
Para Pembicara berfoto bersama Ketua Presidium DPP ISKA, Hargo Mandirahardjo, Pastor Widoyoko, SJ dan segenap Panitia.(Foto: ISKA)

Kampung Sawah, Jendela Nasional — Indonesia pernah memiliki beberapa sejarah kelam praktik ketidakadilan dengan latar belakang karena unsur ras maupun agama, yang ke depannya hal itu tidak boleh terjadi lagi. Hal ini mengingat, Indonesia sebelum merdeka, lahir dari kehidupan bertoleransi yang sangat tinggi.

Banyak ideologi-ideologi baru yang muncul belakangan di Indonesia yang meredusir berbagai keadilan yang seharusnya diterima. Namun demikian, dipastikan semua agama meletakkan keadilan dan toleransi pada tempat terbaiknya. Sehingga, yang lebih dibutuhkan adalah sebuah solidaritas antar warga bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan melalui keadilan.

Demikian simpulan dari Seminar Dalam Rangka Pembukaan Tahun Keadilan 2020 Keuskupan Agung Jakarta yang diadakan kerjasama DPP Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) dan Paroki Kampung Sawah St. Servatius  Minggu, 12 Januari 2020 di Aula SMA Pangudi Luhur II Bekasi.

Adapun tema Seminar yang diangkat adalah “Keadilan Dalam Masyarakat Plural”. Hadir sebagai pembicara tiga pakar pada bidangnya, yaitu Prof Dr Paulus Wirutomo (Sosiolog UI), H.M Kholid Zaerozi, M.Si (Sekjen Ikatan Sarjana NU) dan Prof Dr Asvi Wasman Adam (Sejarwan LIPI).

Seminar yang dihadiri lebih dari 200 orang tersebut berlangsung sangat segar, karena para pembicara tidak saja memberikan wawasan berbagai konsep keadilan, namun memberikan contoh-contoh praktis yang terjadi di masyarakat, termasuk kesenjangan antara yang ideal dan yang aktual.

Dalam paparannya, Paulus Wirutomo menekankan bahwa penggunaan istilah multi kultural lebih tepat untuk menggambarkan keadilan yang dibutuhkan masyarakat majemuk seperti Indonesia.

Menurutnya, istilah pluralisme justru mendorong terjadinya pengkotak-kotakan. Sedangkan multikultural menggambarkan sebuah keniscayaan (takdir) dan di sanalah kita harus tetap hidup. Termasuk istilah toleransi menjadi tidak lagi cukup dalam masyarakat majemuk yang multi kultural, dan yang lebih diperlukan adalah sikap solidaritas yang tinggi.

Tiga pembicara dan moderator dalam Seminar Keadilan Dalam Masyarakat Plural. (Foto: ISKA)

Sedangkan Asvi Warman Adam menceritakan bagaimana Indonesia pernah mengalami masa damai, justru jauh sebelum Indonesia merdeka. Toleransi dalam sejarah terjadi misalnya di Kampung Sawah, tempat seminar ini diadakan atau di Desa Muslim Pegayaman, Buleleng, Bali.

Faktor ekonomi dan masuknya ideologi baru menjadi pemicu beberapa kejadian intoleran di Indonesia. Masih banyak sekali PR bagi pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan. Namun demikian, ia optimis, pada masa mendatang Indonesia akan memiliki harapan untuk semakin baik.

Kholid Saerozi yang merupakan Sekjen PP ISNU menjelaskan bahwa dalam Islam toleransi dan keadilan merupakan peninggalan Nabi Muhammad sejak awal. Karena Pancasila dianggap sebagai sebuah konsensus nasional; sesuatu yang tidak jauh berbeda dengan Piagam Madinnah yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yasthrib pada tahun 622. Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani ‘Aus dan Bani Khazraj di Madinah.

Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah. Jadi jelas, bahwa Nabi Muhammad pun tidak pernah membuat dokumen negara agama. Bahwa kemudian hari mereka berperang dengan Yahudi, karena Yahudi melanggar konstitusi yang pernah dibuat bersama-sama.

Para peserta seminar berkali-kali bertepuk tangan saat Kholid menegaskan bahwa Islam adalah agama yang menjunjung tinggi ajarannya namun sekaligus menerima orang lain sebagai saudara kemanusiaan, tanpa membedakan latar belakang apapun.

Sebagai moderator dalam Seminar ini adalah Wakil Ketua Presidium ISKA, Prasetyo Nurhardjanto. Sebagai salah satu umat di paroki yang khas Betawi tersebut, Prasetyo dalam memandu seminar menyisipkan beberapa pantun khas paroki tersebut, sehingga menambah segar suasana seminar.

Seminar ini dibuka oleh Romo Widoyoki, SJ mewakili Pastor Kepala Paroki St Servatius. Selain sebagai Pembukaan Tahun Keadilan 2020 Paroki Kampung Sawah St Servatius Bekasi, juga merupakan pembukaan rangkaian KISPOL ISKA.

KISPOL sendiri merupakan singkatan dari Kursus Intensif Spiritualitas Perutusan Sosial Politik, sebuah forum yang terbuka bagi umat untuk mengembangkan wawasan kebangsaan. KISPOL ISKA pada tahun ini akan digelar sebanyak 10 x secara rutin di berbagai Paroki. Hal ini merupakan rangkaian diskusi yang tahun 2019 lalu juga telah dilakukan  DPP ISKA. (Prasetyo Nurhardjanto)