Tidak Jadi “Mainan Politik”, Revisi UU Pemilu Sebaiknya Ditunda

oleh -
Jeiiry Sumampow, TEPI Indonesia. (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Revisi Undang-undang Pemilu penting sekali dan sangat strategis. Tidak boleh dibuat mainan politik semata, seperti kebiasaan selama ini.

Karena itu, revisi UU yang terburu-buru dinilai kurang baik. Justru itu akan mengakibatkan pembuatan UU menjadi tidak maksimal. Apalagi mau menggabung semua UU terkait Pemilu.

Rencananya DPR juga akan membuat sistem Pemilu Serentak. Karena itu, dalam konteks ini, penundaan itu baik. Agar ada waktu lebih panjang untuk membahasnya dan bisa mengakomodir sebanyak mungkin masukan dari berbagai kalangan dan stakeholder yang selama ini fokus mengamati dan bergiat di kepemiluan.

“Saya sendiri kurang yakin, jika dipaksakan dalam waktu terbatas ini, DPR akan mampu membuat sebuah UU yang baik dan berkualitas. Tak ada yang bisa menjamin. Karena itu, menurut saya sebaiknya revisi ditunda,” ujar Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi Indonesia), Jeirry Sumampow di Jakarta, Rabu (3/1).

Menurut Jeirry, pembahasan yang terburu-buru karena waktu yang pendek akan membuat DPR tidak akan fokus pada substansi persoalan yang sesungguhnya, yang selama ini menjadi masalah dan juga pada disain sistem pemilu serentak secara lebih mendalam.

“Saya kuatir hanya akan mengulang apa yang selama ini terjadi. Revisi dilakukan tapi secara kualitatif regulasinya tetap buruk. Jadi saya kuatir waktu yang singkat akan menghasilkan UU dengan kualitas rendah,” ujarnya.

Biasanya, sesuai pengalaman selama ini, mepetnya waktu, malah akan membuat DPR terfokus pada “isu-isu populer”. Misalnya terkait persyaratan ikut Pemilu dan soal ambang batas, baik Presiden maupun Parlemen serta juga Paslon dalam Pilkada. Begitu juga, soal daerah pemilihan (dapil) dan besaran dapil serta jumlah alokasi kursi, dan lain-lain.

“Jadi DPR hanya akan terfokus pada isu-isu yang terkait langsung dengan kepentingan politik parpol, khususnya yang ada di parlemen. Padahal hal-hal itu bukanlah yang utama dan substansial dalam penataan sistem pemilu serentak. Ada banyak topik lain yang jauh lebih penting dan substansial yang mestinya jadi perhatian dan fokus pembahasan,” katanya.

Hal lain, waktu yang terbatas hanya akan membuat revisi itu bersifat tambal-sulam. Jadi “menambal” dan “menyulam” hal-hal yang selama ini dilihat sebagai masalah satu per satu, tanpa melihatnya atau menempatkannya dalam kerangka kesatuan sistem yang lebih luas. Dan ini bisa membuat sinkronisasi satu dengan yang lain tak harmonis dalam satu kesatuan sistem yang utuh. Akibatnya, dalam implementasi kemudian hari akan terlihat kelemahan disana-sini.

“Karena itu, bagi saya, lebih berbahaya jika melakukan pembahasan yang terburu-buru. Akan makin riskan juga menurut saya jika revisi tersebut ditumpangi oleh kepentingan politik untuk menggelar Pilkada Serentak di Tahun 2022 atau 2023. Menurut hemat saya, itu akan makin problematik. Sebab membuat waktu yang tersedia makin sempit dan fokus pun beralih,” ujarnya.

Menurut Jeirry, bisa saja dibuat opsi baru yaitu agenda revisi tetap berjalan sesuai Prolegnas 2021 tapi waktunya dibuat lebih panjang, sehingga pemberlakuannya baru setelah 2024. Jadi kita punya waktu lebih panjang untuk memikirkan dan mendalami substansi yang perlu, tanpa diganggu juga oleh kepentingan politik untuk menggelar Pilkada di Tahun 2022 dan atau 2023.

Untuk kepentingan Pemilu dan Pilkada tetap berlangsung di tahun 2024 sesuai regulasi yang berlaku saat ini dan untuk mengantisipasi serta meminimalisir akibat negatifnya – mengingat pengalaman traumatik dalam Pemilu 2019 lalu – maka dalam kurang waktu yang tersisa, KPU dan Bawaslu bisa fokus untuk membuat mitigasi resiko dan skema-skema untuk pelaksanaan Pemilu dan Pilkada tersebut. Termasuk menyiapkan regulasi turunan UU Pemilu dan Pilkada yang ada sekarang untuk diberlakukan tahun 2024 nanti.

“Ini juga penting agar penyelenggara pemilu tak keteteran terus dalam mempertahankan Pemilu Pilkada, sebagaimana juga pengalaman selama ini,” pungkasnya. (Ryman)