Tiga Sudut Pandang “The New Normal” dalam Habitus Baru

oleh -
AM Putut Prabantoro menerima “Berkat Damai Untuk Bangsa Indonesia” yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus di Lapangan St. Petrus, Vatikan (16 Oktober 2019). (Foto: Ist)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID — Alumnus Lemhannas PPSA XXI,  AM Putut Prabantoro menegaskan bahwa New Normal yang oleh Presiden Joko Widodo disebut sebagai tatanan kehidupan baru di tengah pandemi Covid-19, hendaknya  dilihat sebagai habitus baru yang memengaruhi dan sekaligus memunculkan cara hidup, cara berpikir, berkomunikasi, bertindak dan sekaligus berperilaku baru (baca-berbeda) bagi masyarakat Indonesia. Habitus baru ini akan mendorong terjadinya efek domino pada kegiatan masyarakat lainnya.

Dalam keterangannya di Jakarta pada Senin (01/06/2020) dijelaskan, ada 3 (tiga) sudut pandang yang dapat digunakan untuk dapat melihat New Normal yakni; “Apa Yang Sesungguhnya Berubah”, “Apa Yang Seharusnya Berubah” dan “Apa Yang Sebaiknya Berubah”.

Mengingat Covid-19 ini mengancam kehidupan manusia, ketiga sudut pandang itu melihat New Normal sebagai habitus baru dalam interaksi antar manusia (New Normal Sesungguhnya), manusia dan kehidupannya termasuk ekonomi (New Normal yang seharusnya) serta manusia dan lingkungannya (New Normal Yang Sebaiknya) dan ketiganya saling terkait.

“New Normal Yang Sesungguhnya ditandai dengan habitus yang sama sekali baru dalam interaksi antar manusia seperti physical distancing (jaga jarak) atau social distancing (pembatasan sosial). Bentuk kegiatan yang terkait dengan kerumunan seperti sekolah, pelaksanaan ibadah, festival-festival, mall, hotel, ataupun transportasi akan berubah. Perubahan dari padat karya ke padat teknologi dalam dunia usaha dimungkinkan terjadi percepatan. Emirates Airlines, sebagai contoh, sudah mengeluarkan protokol  New Normal dalam penerbangannya. Protokol ini akan terus digunakan hingga pandemi berakhir,” kata Putut Prabantoro, yang juga Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) ini.

(Alumnus Lemhannas PPSA XXI,  AM Putut Prabantoro. Foto: ist)

Sedangkan “New Normal Yang Seharusnya”, demikian dijelaskan Putut Prabantoro lebih lanjut, dipengaruhi oleh Desentralisasi Global (DG)  yang merupakan kondisi dimana setiap negara termasuk Indonesia dipaksa untuk hidup mandiri dan harus fokus pada persoalan domestiknya. Setiap negara harus mandiri  tanpa dapat berharap bantuan dari negara lain yang ternyata juga memiliki masalah serupa. Dalam konteks ini, New Normal akan merupakan habitus baru yang akan mendorong pemerintah dan masyarakat Indonesia  segera mewujudkan ketahanan pangan, air dan energi termasuk energi baru terbarukan mengingat ketiganya merupakan modal utama dalam menjalankan kehidupan ekonomi lainnya.

Sebagai konsekuensinya, pemerintah Indonesia harus mereview kembali kebijakan ekonominya dan kembali ke amanat Pasal 33 UUD 1945 yakni Usaha Bersama yang berdasar pada asas kekeluargaan sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pemimpin bangsa dahulu. Desentralisasi global di Indonesia mendorong munculnya kesadaran gotong royong dalam pembangunan bidang ekonomi. Tidak menutup kemungkinan, ditegaskannya, desentralisasi global ini akan mendorong terbentuknya Indonesia Raya Incorporated (IRI), yakni pembangunan ekonomi nasional terintegrasi demi pemerataan kemakmuran untuk mewujudkan ketahanan nasional.

Putut Prabantoro, penggagas konsep Indonesia Raya Incorporated (IRI) ini mengingatkan, meskipun 505 dari 514 kabupaten dan kota di Indonesia menggunakan unsur pangan dalam lambang daerahnya ternyata ketahanan pangan di Indonesia tidak mudah untuk diwujudkan.  Artinya harus terjadi habitus baru dalam pemerintah daerah dan bersama pemerintah pusat untuk dapat mewujudkannya.  Yang perlu diingat adalah, pembangunan ekonomi Indonesia harus  bersumber dari  kekuatan ekonomi masing-masing daerah yang bertumpu pada letak geografis dan sumber kekayaan alam yang dimilikinya untuk kemakmuran sebesar-besarnya seluruh rakyat Indonesia

“Ada atau tidak pandemi, pembangunan ekonomi seharusnya untuk melaksanakan amanat UUD 1945. Dalam konteks ini, desentralisasi global harus dijadikan momentum bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang mandiri dan kuat. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan habitus baru dalam pembangunan ekonomi dan sendi kehidupan lainnya,” tegas Putut Prabantoro.

Dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta,  Putut Prabantoro menambahkan, Indonesia harus optimistis dalam mewujudkan ketahanan pangan, air dan energinya termasuk energi baru terbarukan serta ketahanan ekonomi lainnya.

Sedangkan “New Normal Yang Sebaiknya” terbentuk karena pemerintah dan masyarakat Indonesia dihadapkan pada persoalan pilihan antara “New Normal Yang Sesungguhnya” atau  “New Normal Yang Seharusnya”. Pilihan ini merupakan hasil kompromi berdasarkan kondisi ideal dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari terkait  hubungan antara manusia dan lingkungannya. Habitus Baru dalam New Normal ini ditandai dengan tercapainya kompromi harmoni antara “New Normal Yang Seharusnya” dan “New Normal Yang Sesungguhnya”.

“Belajar dari pandemi Covid-19, lingkungan bersih dan sehat sangat penting. Oleh karena itu, sikap abai masyarakat Indonesia terhadap lingkungan hidupnya akan diganti dengan habitus baru yang akan berujung pada terwujudnya Indonesia sebagai rumah bersama atau sebagai periuk nasi bersama, yang harus dipelihara. Apa yang dilakukan Ibu Risma terhadap Kota Surabaya, misalnya, merupakan contoh yang baik dari habitus baru,” ujar Putut Prabantoro, yang juga Ketua Presidium Bidang Komunikasi Politik ISKA (Ikatan Sarjana Katolik Indonesia).

Putut mengatakan, memang dibutuhkan waktu untuk berubah hingga memiliki habitus baru. Pada akhirnya masyarakat Indonesia menyadari membutuhkan lingkungan hidup yang sehat dan bersih. “Sisi positif dari dampak Covid-19, masyarakat terpaksa menjaga kelestarian lingkungan hidupnya,” pungkasnya. (Very)