Tuhan Itu Pilih Kasih! Refleksi Tahun Baru 2019

oleh -
Hidup adalah pilihan. (Foto; Ilustrasi)

Oleh: Ater Tjaja*)

Pena lebih tajam dari pedang. Sebuah peribahasa lama yang kerap jadi gambaran ketajaman analisis dunia jurnalis terhadap realitas. Analisis itu bisa dibungkusi dengan kritikan pedas pada apa yang menjadi pokok masalah dan berdampak bagi publik. Lambat laun peribahasa ini diplesetkan pada wilayah yang lebih luas dan umum selain jurnalis, yaitu mulut lebih tajam dari pedang. Hal ini menggeser makna dari peribahasa tersebut pada lazimnya, dan memosisikan makna penyebaran fitnah melalui ucapan seseorang.

Kini dalam era digital peribahasa itu lagi-lagi diplesetkan menjadi; jari lebih tajam dari pedang. Penggunaan kata-kata dalam media sosial memungkinkan plesetan jari lebih tajam dari pedang mendapat posisi istimewa dan hasil dari permainan kata-kata itu tidak sekadar viral tetapi melukai. Luka, tapi untuk sementara waktu belum berdarah. Karena bila dibiarkan, maka luka itu menganga, dan ibarat bom waktu dapat meledakan suasana. Hasilnya? Luka itu bisa membunuh kemanusiaan, berdarah-darah.

Dengan jari seseorang bisa sebebasnya membuat status tanpa meminta ijin dan atau konfirmasi kepada pihak tertentu untuk menyemaikan virus kebencian, dendam, iri hati, fitnah, kekejian dan apapun yang menumbuhsuburkan kepanikan massa atas hidup. Bahkan tidak tanggung-tanggung melibatkan serta seolah mengatasnamakan Tuhan. Sampai pada taraf ini, media sosial menjadi ladang api yang menakutkan sehingga benarlah apa yang disampaikan oleh Jovito R. Salonga; media and politics can be the best of friend or the worst of enemies.

Dalam keadaan seperti itulah, kajian terhadap penggunaan media dalam politik (identitas) sering mendapat sorotan. Media tidak lagi menjadi papan selancar aktor politik, melainkan media sendirilah aktor utama dalam bidang politik seperti yang disebutkan Judith Lichtenberg dalam bukunya Democracy and the Mass Media.

Media memiliki kemampuan mumpuni membuat karir seseorang gemerlap dan di sisi lainnya membuat seseorang terjerumus dalam gelap. Walau demikian, sejatinya saat media dipersoalkan, maka aktor utama sesungguhnya adalah penggunanya.

Contoh paling nyata adalah situasi politik nasional bangsa Indonesia.

(kemungkinan) sebagai warisan dari propaganda politik sebelum-sebelumnya, politik identitas bermuatan SARA, ucapan kebencian, hoax dan dendam kesumat, makin menajam jelang pemilu tahun 2019. Semua issu dan pemberitaan berkonten demokrasi dan politik di tahun 2018-2019 tersentral pada pemilihan presiden, kendati nantinya hajatan itu selain menghasilkan 1 presiden dan 1 wakil presiden, juga memproduksi 575 anggota DPR-RI, 136 anggota DPD, 2.207 anggota DPR Propinsi dan 17.610 anggota DPRD kota/kabupaten.

Lantas apakah yang menjadi pokok keheranan sehingga tulisan ini hadir seolah hendak menjadi tajam seperti jari-jari yang lainnya? Setelah diverifikasi serta ditetapkan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, saling serang dengan mengatasnamakan agama terjadi antara dua kubu dari level nasional sampai pada aras lokal. Padahal dari calon pasangan itu, tidak ada calon pasangan yang beragama lain selain Islam. Namun mengapa “perang” ide dan gagasan berubah menjadi cacian yang kerap menarik dan memaksa Tuhan untuk terlibat dalam dagangan politik dan merubah nuansa demokrasi kita menjadi demokrasi hasutan? Padahal hampir setiap kepercayaan religi justru menyematkan pekerjaan hasut-menghasut itu pada si jahat yang biasanya disapa iblis, setan dan beragam istilah lainnya. Namun kenyataannya berbanding terbalik dengan penceritaan versi kitab-kitab suci dan akhirnya setiap agama yang ada di Indonesia, terhisab dalam kancah politik nasional yang buram.

Merpati sebagai simbol damai telah dilepaskan oleh para calon presiden dan wakil presiden beserta tim pendukung saat arak-arakan pesta demokrasi dimulai. Namun ujaran kebencian, dendam, dan penyebaran berita bohong seolah memanggil merpati itu jatuh ke bumi dan berubah wujud menjadi burung pemakan bangkai saat semua yang terlibat dalam pesta demokrasi keracunan makanan dan minuman yang mereka buat sendiri.

Bila narasi politik seperti ini terus menerus dibiarkan dan dimainkan lewat mulut dan jari pengguna media sosial di Indonesia, maka sesungguhnya kita tidak sekadar merubah nuansa demokrasi bangsa kita, melainkan juga merubah wajah substansi dari agama. Padahal agama mestinya menjadi sumber moral atau etika yang memungkinkan terjadinya politik etis, politik menatalayani, politik yang menata keadaan kisruh menjadi sentosa dan melayani segenap anak bangsa tanpa terkecuali!

Sejatinya dalam hal penegakan demokrasi yang lebih bermartabat dan mampu menciptakan politik etis, Judith Lichtenberg dalam bukunya Democracy and the Mass Media mengutip usulan Gurevitch dan J.G. Blumler, mengharapkan media berperan untuk; pertama, mengawasi lingkungan sosial-politik dengan melaporkan perkembangan realitas masyarakat yang sebenarnya. Kedua, melakukan agenda setting dengan mengangkat isu-isu kunci yang perlu dipikirkan dan dicarikan jalan keluarnya. Ketiga, menjadi platform dalam rangka menciptakan forum diskusi antara elit politik terhadap kelompok kepentingan dan kasus lainnya. Keempat, membangun mekanisme sehingga tercipta emansipasi partisipatoris yang kemudian dari sini terlaksana peran, kelima, peran masyarakat/rakyat untuk belajar, memilih dan melibatkan diri, dan tidak semata pengikut arus proses politik dan akhirnya, keenam, menolak upaya dalam bentuk campur tangan pihak-pihak tertentu agar media merdeka dari kungkungan politik hasutan yang mencederai demokrasi sehingga kembali pada peran dan fungsinya sebagai bagian dari layanan publik. Ketujuh, dari sanalah tumbuh potensi masyarakat/rakyat untuk peduli dengan lingkungan politiknya.

Peran di atas tidak hanya dialamatkan pada yang empunya media saja, melainkan juga pengguna media sosial. Hanya dengan menyebarkan virus baik dalam wilayah media sosial lewat pengguna media sosial sebanyak mungkin, maka virus kebencian dengan sendirinya tidak mendapatkan ruang untuk berkembang dalam media sosial. Dengan begitu, politik hasutan lambat laun akan mati dan memurnikan wajah demokrasi kita yang kusut. Bila tidak, maka hal yang sebaliknya akan terjadi.

Lalu, hubungan judul tulisan ini dengan isinya di mana? Begini, bila pemilihan umum nanti berlangsung dengan semaraknya politik hasutan dan disertai nama Tuhan di dalamnya, berarti Tuhan ikut memilih. Lalu apa, siapa yang Tuhan pilih? Tuhan pilih kasih! Tuhan tidak memilih dendam, ucapan kebencian, cerita kebohongan dan usaha menjatuhkan martabat manusia lainnya. Tuhan pilih kasih! Karena di atas kemanusiaanlah Tuhan bertahta, bukan di atas dendam, ucapan kebencian, pemberitaan tentang kebohongan. Apapun yang akan berlangsung dan terjadi nanti di tahun politik 2019 ini, Tuhan itu pilih kasih!

Selamat mengisi kehidupan di tahun 2019.

*) Ater Tjaja Center of China & Indo-Pacific Strategic Studies (CHIPS)