Tumpas Radikalisme, Bangun Masyarakat Pancasila yang Adil dan Sejahtera

oleh -
Diskusi Ngopi Pas, oleh Forum Jurnalis Merah Putih bertajuk “Pahlawan Anti Radikal untuk Indonesia Maju” di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Jumat (8/11). (Foto: JN)

Jakakarta, JENDELANASIONAL.ID — Radikalisme itu muncul karena adanya ketidakadilan di tengah masyarakat. Karena itu, untuk menumpas radikalisme, maka pemerintah harus membangun masyarakat Pancasila yang adil dan sejahtera.

“Karena radikalisme itu muncul jika ada tidak keadilan. Ketidakadilan itu muncul bila tidak ada hukum yang berkeadilan. Hukum yang tidak berkeadilan itu bisa terjadi jika rakyat tidak berdaulat. Dan rakyat tidak berdaulat berarti tidak ada demokrasi dalam masyarakat dan negara tersebut,” ujar Bambang Sulistomo dalam acara Ngopi Pas, oleh Forum Jurnalis Merah Putih bertajuk “Pahlawan Anti Radikal untuk Indonesia Maju” di Bakoel Koffie, Jakarta Pusat, Jumat (8/11).

Diskusi tersebut juga dihadiri oleh narasumber lain yaitu pegiat Anti Radikalisme, Haidar Alwi, Ketua PB PMII, Alfi Hafidz Ishaqro, dan Ketua Pemuda Bravo 5 Ali (Panser) Marasabessy.

Putera Bung Tomo ini mengatakan akhir-akhir ini muncul istilah radikal-radikalisme. Namun, katanya, istilah itu belum jelas dialamatkan kepada siapa. Kita pun, katanya, masih meraba-raba akar penyebab masalahnya.

“Jangan-jangan karena bangsa ini tidak mampu mewujudkan masyarakat Pancasila. Karena itu jangan heran muncul ide tentang radikalisme, khilafah dan lain-lainya,” ujarnya.

Karena itu Bambang mengatakan, hal pertama yang harus dilakukan yaitu merumuskan radikalisme secara benar, sehingga kita tidak mudah menuduh seseorang sebagai radikal.

Haidar Alwi yang menyebutkan dirinya sebagai tokoh antiradikal mengatakan, kita perlu melakukan kampanye untuk memberantas radikalisme. Pasalnya, saat ini, kita sedang dalam kondisi yang berbahaya. “Radikalime sedang mengancam dan mengintip NKRI untuk kemudian diluluhlantakkan dan dihancurkan,” ujarnya.

Menurut Haidar, Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dan strategis karena itu menjadi incaran banyak pihak, termasuk kaum penganut ideologi kekerasan.

Karena itu, katanya, kaum radikal tersebut terus mengampanyekan bahwa pemerintah Indonesia tidak becus mengurus ekonomi. Hal itu dilakukan mereka hanya untuk mengalihkan isu saja.

“Kaum radikal selalu mengatakan bahwa pemerintah tidak becus mengurus ekonomi karena itu mereka hanya ingin mengalihkan isu saja. Karena itu, jika kita sayang NKRI, sayang pada pemerintah ini, maka kita harus memberangus radikalisme, jangan menyisahkan satu orangpun,” ujarnya.

Haidar mengatakan, pola rekrutmen yang digunakan oleh Hizbuth Tahrir Indonesia (HTI) saat ini bukan lagi menggunakan media sosial, tapi sudah menggunakan pendekatan door to door, dari pintu ke pintu.

“Jadi kalau target mereka adalah satu orang merekrut dua anggota dalam waktu satu bulan, maka dikalihkan saja. Kalau 1 juta anggota HTI merekrut masing-masing 2 orang, maka dalam waktu satu tahun sudah ada 24 juta anggot HTI,” ujarnya.

Dia mengatakan, orang HTI itu tidak rela Presiden Joko Widodo berkuasa dan sukses. Karena itu mereka akan berusaha merecokinya. “Itu terjadi karena Jokowi sudah membubarkan HTI. Jadi tugas kita sekarang adalah harus ceritakan ke setiap orang bahwa Indonesia saat ini adalah darurat terorisme, sehingga harus dihancurkan,” ujarnya.

Ali (Panser) Marasabessy mengatakan bahwa paham radikal itu ada dua macam, yaitu radikal negatif yaitu yang selalu mengatakan bahwa apa yang dilakukannya itu selalu benar. Kedua, radikal positif, yaitu apa yang dilakukannya itu ada manfaatnya untuk dirinya dan kelompoknya.

Ali mengatakan sebagai anggota relawan pendukung Presiden Jokowi, pihaknya selalu berada di garda terdepan untuk membela Presiden dan segala kebijakannya, termasuk kebijakan memilih Menteri Agama Fahrul Razi.

“Kami mengawal semua kebijakan Presiden, mengawal semua kebijakan Menteri Agama, mengawal semua kebijakan strategis Menteri Fahrul Razi yaitu terutama terkait dengan terorisme,” ujarnya.

Sementara itu, Alfi mengaku lirih dengan kondisi bangsa dan negara, dengan para pemuda yang dimilikinya saat ini. Padahal, pemuda merupakan pemegang kendali negara ini di masa yang akan datang.

“Kitalah yang memegang kendali di negeri ini di masa yang akan datang. Saya mempertanyakan pemuda kita saat ini. Jika kita hidup pada masa perang kemerdekaan, maka mungkin kita tidak akan pernah merdeka seperti saat ini,” pungkasnya. (Ryman)