Umat Islam Diminta Tidak Dikotomikan Pemerintah dari ‘Pihak Kami atau Mereka’

oleh -
Direktur Nasional LPPDSDM BKPRMI, H. Nanang Mubarok (kanan) dalam Webinar Anti Radikalisme, Penanggulangan Bahaya dan Penyebaran Paham Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme pada Lingkungan Kerja, yang diselenggarakan oleh PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (PT JIEP) di Jakarta, beberapa waktu lalu. (Foto: Humas PT JIEP)

Jakarta, JENDELANASIONAL.ID —  Indonesia merupakan negara berpenduduk Islam terbesar di dunia. Namun, Republik Indonesia sangat beruntung karena memiliki umat Islam yang Wasathyiyah, yang setia pada NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Itu juga berarti bahwa Islam Indonesia memberikan legasi yang sangat besar bagi negara Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan seperti IPOLEKSOSBUD HANKAMRATA dan lingkungan hidup.

“Karena itu, umat Islam diminta agar tidak membuat dikotomi antara ‘minna’(dari pihak kami) versus ‘minhum’ (dari pihak mereka) dengan pemerintah,” ujar Direktur Nasional LPPDSDM BKPRMI, H. Nanang Mubarok dalam Webinar Anti Radikalisme, Penanggulangan Bahaya dan Penyebaran Paham Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme pada Lingkungan Kerja, yang diselenggarakan oleh PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung (PT JIEP) di Jakarta, beberapa waktu lalu. Seminar ini sekaligus untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober 2021.

Selain Ustadz Nanang, webinar tersebut juga menghadirkan narasumber lain yaitu Kasatgas Foreign Terorrist Fighter Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Kombes Pol Dr Didik Novi Rahmanto, dan Dosen Universitas Pancasila, Dr. Ricca Angraini Lee. Webinar tersebut juga dihadiri oleh Dewan Komisaris dan Direksi PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung serta para Pimpinan perusahaan di Kawasan  Industri Pulogadung, unsur Muspiko dan aparat keamanan baik di lingkungan Kecamatan Cakung, Kelurahan Jatinegara dan Rawaterate, dan anggota Apindo DPK Jakarta Timur dan pimpinan perusahaan/ tenant-tenant di Kawasan Industri Pulogadung (KIP).

Dalam pemaparannya Deputy Director Leadership School Bibit Samad Riyanto Center ini mengatakan, Islam dan agama lainnya di Indonesia telah menerima nasionalisme Indonesia sejak masa pergerakan dalam dasawarsa 1910-an. Bahkan, para penganut agama menjadi salah satu tulang punggung utama gerakan nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan.

Penerimaan UUD 1945, Pancasila, NKRI, Bhinneka Tungga Ika, katanya, merupakan bukti komitmen kebangsaan para tokoh, pemimpin dan penganut agama-agama.

“Karena itu, Indonesia dalam fiqih siyasah NU-Muhammadiyah adalah Dar Al-mitsaq atau Da Al’Ahd Wa AL-Syahadah, Presiden Indonesia adalah ‘Amir al-Mu’minin atau Waliyu I-Amri Dharuri bi al-Syaukah,” ujar Mubaliq Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama itu.

Menurutnya, nasionalisme Indonesia sangat kompatible dan tidak bertentangan dengan agama karena Indonesia merupakan negara yang bukan sekuler dan bertentangan (unfriedly) dengan agama.

Bahkan, nasionalisme Indonesia memberikan tempat terhormat kepada agama, Pancasila dan UUD 1945. Sila Pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa dan sila-sila lain merupakan dasar negara/platform negara bangsa yang religiously frendly basis atau ideologi of the state.

“Meski demikian, Pancasila adalah ‘De-confenssional basis of the Indonesian State – dasar negara yang tidak terikat eksplisit dengan agama tertentu, khususnya Islam yang dianut mayoritas mutlak penduduk Indonesia,” ujar kader penggerak NU tersebut.

Indonesia, katanya, berdasarkan Pancasila sebagai Common Platform di antara komunitas dan kelompok warga yang sangat majemuk. Dengan Pancasila sebagai dasar negara, Indonesia bukan Confenssional’ State (negara berdasarkan agama) juga bukan negara murni (Secular State). Agama menjadi Part and Parcel of Public Life (Bagian dan Paket dari Kehidupan Publik).

“Mayoritas mutlak warga pemimpin Indonesia menerima Pancasila sebagai final dasar negara. Multikultural, pluralitas atau kemajemukan juga diakui negara lewat prinsip Bhinneka Tunggal Ika (Diversity in Unity),” ujarnya.

 

Revitalisasi Nasionalisme Indonesia

Nanang mengatakan dalam relasi agama dan negara muncul persoalan yang ditimbulkan oleh dua hal tersebut.

Pertama, yaitu oleh adanya radikalisme sekuler, yaitu kelompok yang mudah menuduh bahwa umat beragama adalah pelaku anti kebhinnekaan. Umat beragama dituduh sebagai gerakan anti Pancasila, pro makar, dan melawan pemimpin negara. Kelompok radikal-sekuler ini selain bercirikan otoriter, dan hegemonik, berupaya mendelegitimasi peran agama tetapi juga berupaya mengaburkan tradisi luhur dan lanskap tata kawasan warisan nenek moyang Nusantara.

Kedua yaitu kelompok ekstremisme beragama. Kelompok ini ditandai oleh munculnya pemikiran dan perilaku beragama yang gemar mengkapling surga atas stempel khilafah. Mereka menggunakan teknik hoaks atas nama agama, mudah menghalalkan darah dan nyawa kelompok lain yang tidak sepaham dengannya serta gemar menyalahkan dan mengafirkan aliran lainnya sebagai telah keluar dari tuntutan Qur’an dan Sunnah.

“Ekstremisme beragama menodai ruh beragama yang hanif, moderat, dan toleran. Sementara radikalisme sekuler adalah pemberontakan terhadap prinsip negara religius yang menjunjung tinggi nilai-nilain gotong-royong, toleransi, kolektivitas, permusyawaratan, dan dialogis,” ujarnya.

Polarisasi keduanya, katanya, nyata-nyata memberi kesempatan kepada kelompok the invisible hand, propagandis, pengadudomba anak-anak bangsa antara kaum religius dan nasionalis yang sejatinya sama-sama memiliki komitmen untuk saling menghormati, mau bekerja sama membangun negeri tercinta, dan berkomitmen terhadap keutuhan NKRI dan tegaknya Pancasila dan UUD 1945.

Menurutnya, ada dua macam relasi antara Islam dan kebangsaan. Pertama, relasi segregatif-separatif. Dalam realasi model ini, Islam dan komitmen kebangsaan diposisikan secara diametral sebagai dua kutub yang berbeda domain. Islam adalah akidah, sementara kebangsaan berada di luar urusan akidah. Komitmen kebangsaan tidak memiliki landasan baik sakral ataupun profan. Bahkan kebangsaan juga diposisikan sebagai bentuk bida’ah (human create).

Kedua yaitu relasi mutualistik. Dalam relasi model ini Islam dan kebangsaan dalam konteks NKRI berdasarkan Pancasila tidak bersifat atas-bawah, tidak segregatif, melainkan sejiwa, senafas, saling membutuhkan, dan beriringan baik sebagai fondasi maupun cara menuju tujuan cita-cita nasional bangsa Indonesia yang sesuai dengan Al-Qur’an berupa baidatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Islam tidak mungkin bisa diaktualisasikan tanpa komitmen kebangsaan, demikian pula kebangsaan akan absurd jika tidak ada peran dan partisipasi nilai-nilai Islam di dalamnya.

Karena itu, dalam hubungan antara agama dan negara bangsa yang demikian itu maka perlu dilakukan revitalitasi harmoni antara keduanya.

Revitalisasi nasionalisme Indonesia misalnya dilakukan melalui penguatan simbol-simbol nasionalisme dan negara bangsa; Penguatan kebersamaan, solidaritas dalam waktu senang dan susah; Revitalisasi/rejuvenasi/resosialisasi Pancasila; Resosialisasi/reedukasi tentang integrasi agama dan negara bangsa melalui keluarga, sekolah dan masyarakat; dan penguatan Islam wasatiyah untuk menangkal ekstremisme, radikalisme dan terorisme.

Juga penting melakukan revitalisasi harmoni agama dan negara dalam kaitannya dengan konsolidasi demokrasi dan good governance. Hal ini misalnya dilakukan dengan konsolidasi demokrasi, penguatan good governance, pemberantasan korupsi, dan penegakkan hukum; Pemberdayaan religious-bassed civil society untuk penguatan komitmen pada negara-bangsa; Pengurangan/penghilangan disparitas cita kebangsaan dan Pancasila dengan realitas; Peningkatan peran kepemimpinan agama, sosial dan politik dalam penguatan/pemberdayaan harmoni agama dan negara-bangsa; dan pemberdayaan jaringan dan sinergi agama dan negara-bangsa.

Revitalisasi harmonisasi bertujuan demi terbangunnya kewaspadaan nasional yaitu adanya suatu sikap dalam hubungan dengan nasionalisme yang dibangun dari rasa peduli dan tanggung jawab serta perhatian seorang warga negara terhadap kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegaranya dari suatu potensi ancaman.

Hal itu dilakukan demi terbangunnya satu komunitas nasional yang senantiasa tetap terjaga dengan menggunakan 4 konsesus dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. ***