,

Umat Katolik Harus Punya Sensitivitas

oleh -
Franz Magnis Suseso. (Foto: Ist)

JAKARTA – Pakar etika dan filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Franz Magnis Suseno mengatakan, umat Katolik Indonesia sebagai kelompok minoritas harus bisa menjalin hubungan yang baik dengan siapa pun, terutama umat Muslim yang menjadi penganut mayoritas di Indonesia. Hal itu dilakukan tidak hanya dalam rangka melawan kaum ekstrimis, tapi untuk memerangi ketidakadilan yang masih mewarnai kehidupan bangsa ini ke depan.

“Sebagai kelompok minoritas, umat Katolik harus punya sensitivitas dan terus menjalin komunikasi serta relasi yang baik dengan umat Muslim di Indonesia. Ini akan sangat baik untuk kemajuan bangsa dan kehidupan gereja,” kata Romo Magnis pada diskusi bertajuk “Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial”, yang digelar Presidium Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Katolik (DPP ISKA), di ISKA Center, Jakarta, Jumat pekan lalu. Diskusi tersebut dimoderatori oleh Prasetyo Nurhardjanto dan dihadiri oleh lebih dari 60 peserta yang datang dari berbagai komunitas Katolik di Jakarta dan sekitarnya.

Menurut Franz Magnis, sistem demokrasi adalah pilihan terbaik bagi Indonesia, meskipun di sini perjalanannya tak pernah sepi dari sikap pro dan kontra. “Satu-satunya cara untuk hidup tidak lapar, ya demokrasi,” tegas guru besar STF Driyarkara itu.

Meski demikian, Romo Magnis tidak menampik adanya ancaman terhadap demokrasi, yakni bahaya kediktatoran mayoritas. Itulah makanya ia menekankan betapa pentingnya penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM). “Konstitusi dan HAM sudah memuat dengan jelas tentang prinsip-prinsip demokrasi. Sekarang masalahnya bagaimana kita harus bersama-sama mengawal dan mem-presure-nya terus menerus,” tandas Magnis Suseno.

Salah satu mata pisau dari pelaksanaan demokrasi yang baik dan benar, kata pakar etika dan filasat itu lebih jauh, yakni harus memasukkan keadilan sosial di dalamnya. Sebab, kalau tidak demikian, mereka yang kuat akan menindas yang lemah.

“Bagaimanapun, demokrasi, pada ujungnya harus bisa menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, tak terkecuali mereka yang miskin dan berpenghasilan rendah,” ungkap Magnis.

Tentang posisi gereja Katolik? Prof. Franz Magnis Suseno mengungkapkan, gereja sudah selayaknya berani berbicara dan bersuara tentang penegakan demokrasi untuk terciptanya kesejahteraan dan keadilan bagi semua. Ini sesuai dengan pesan Konsili Vatikan II yang monumental itu, sebagaimana tertuang dalam dokumen Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan), bahwa gereja harus meluaskan cakupan pelayanan dan kegiatan penyelamatannya, bukan hanya bagi umatnya, tapi juga seluruh umat manusia.

Menurut Magnis Suseno, perjuangan bagi kesejahteraan dan keadilan sosial tidak tergantung dari rasa adil semata, tapi sangat tergantung dari struktur yang berlaku. Karena itu, Gereja dan umat Katolik Indonesia bersama komponen masyarakat lainnya harus hadir dan sama-sama berjuang untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat.

“Gereja harus hadir di tengah masyarakat. Terciptanya kedaulatan rakyat tetap takkan saingi kedaulatan Tuhan,” demikian Romo Franz Magnis Suseno.

Diskusi “Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial” merupakan seri ke-4 dari rencana 10 seri pertemuan jumatan dengan mengusung sebuah tema besar: “Melihat Ajaran Sosial Gereja dalam Politik Zaman Now.”

Menurut Ketua Umum DPP ISKA Hargo Mindirahardjo, pemilihan tema tersebut adalah penting untuk menambah wawasan bagi sarjana Katolik dalam memahami demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan sosial dari sudut pandang Gereja Katolik.

“Kita berharap, dengan diskusi-diskusi yang diselenggarakan selama sepuluh jumatan itu, para sarjana Katolik yang adalah awam di tengah masyarakat, akan selalu tergugah untuk tidak ragu berpartisipasi dalam panggilan Gereja, sebagai pelayan dan pembawa lilin kebenaran bagi masyarakat, bangsa dan negara,” jelas Hargo Mindirahardjo. (AD)